Jumat, 28 Juni 2013

KELAS INSPIRASI. SEHARI MENGAJAR, SEUMUR HIDUP BELAJAR

“Apa cita-citamu?”
Masih ingatkah Anda kapan mendapatkan pertanyaan tersebut terakhir kali? Masih ingatkah jawaban Anda saat itu? Sudah terwujudkah cita-cita tersebut? Saya yakin tak banyak diantara kita yang masih ingat dengan jelas kapan ditanyai tentang cita-cita. Yang jelas ketika masih kecil. Jawaban apa cita-citanya pasti bervariasi. Tapi Saya jamin tak jauh-jauh dari jawaban klasik seperti dokter, insinyur, polisi, tentara atau menteri. Dan sekali lagi Saya yakin hanya secuil diantara kita yang mampu mewujudkan cita-cita klasik tersebut sekarang.
DSC_0135DSC_0081DSC_0072
Pertanyaan lagi. Siapakah dan dalam momen apa pertanyaan tersebut dilontarkan? Kalau ini Saya masih ingat. Oleh guru dalam kelas. Sekarang, bayangkan apa yang terjadi jika kita menjadi si bapak atau ibu guru tadi. Itulah yang Saya alami bersama beberapa rekan relawan pengajar Kelas Inspirasi Depok beberapa waktu yang lalu. Dalam program Kelas Inspirasi yang diadakan oleh Gerakan Indonesia Mengajar, kami sebagai relawan (dengan ikhlas) ditugaskan mengajar, atau lebih tepatnya menceritakan kepada adik-adik siswa SD tentang profesi yang kami lakukan sehari-hari. Tujuannya memberikan sekilas gambaran kepada wajah-wajah polos itu bahwa profesi bukan hanya seperti jawaban klasik tadi, sehingga mereka bisa lebih terinspirasi dan bervariasi dalam menanamkan ke otak mereka tentang ingin seperti apa ketika dewasa nanti. Itu kenapa program ini diberi nama Kelas Inspirasi.
IMG_6438IMG_6466IMG_6528IMG_6384
Bersama Evie, seorang pegawai bank, Novan, sales engineer, Monde, pemain teater, Rahmi, analis bisnis, Iqbal, akuntan, Femmy, pekerja tambang, Endang, pegawai bea cukai, Yanti, geologis, Luvie, penulis, dan Dian, pembuat dan penjual kue online, merasakan sendiri energi luar biasa dari sekumpulan anak-anak lugu yang penuh semangat ini. Beralih profesi menjadi guru sehari menjadi pengalaman tersendiri yang melelahkan, menyenangkan sekaligus membuat ketagihan. Saya sendiri bersama satu rekan lagi, Leni, sebenarnya relawan yang khusus ditugaskan untuk mengabadikan momen-momen Kelas Inspirasi ini. Meskipun tidak mengajar, tapi Saya bisa ikut merasakan aura menakjubkan yang belum pernah Saya rasakan sebelumnya. Niat awalnya memberikan adik-adik ini inspirasi. Tapi yang terjadi kamilah yang terinspirasi dengan keceriaan, semangat, antusiasme, kepolosan dan energi mereka. Satu hari itu juga  layaknya sebuah proses mengenang lagi masa kecil. Oh, seperti itu tho ternyata Saya ketika kecil. Nakal, susah diatur, dan sering membuat jengkel. Oh seperti ini rasanya para guru SD Saya dulu menghadapi kelakuan Saya. Satu hari yang lebih dari cukup bagi kami para relawan untuk sangat menghargai profesi guru, terutama guru SD.
IMG_6522IMG_6548IMG_6664IMG_6732IMG_6714IMG_6694
Anak-anak ibarat kertas putih polos yang bisa dilukis dengan warna apa saja. Adalah tanggung jawab besar bagi si pelukis untuk menyapukan kuasnya dengan warna-warna cerah. Karena cerah atau tidaknya masa depan bangsa ini sudah dimulai dari sekarang, dari bibit-bibit polos ini. Dan mereka para orang dewasa yang paling bertanggung jawab dalam hal ini siapa lagi kalau bukan orang tua dan guru. Saya jadi berkesimpulan, jika ada satu profesi yang pantas dinomorsatukan untuk dimajukan hak-hak dan kewajibannya, maka jawabannya hanya satu, guru.
IMG_6569DSC_0307DSC_0276DSC_0271DSC_0263IMG_6578
Dan ketika Kelas Inspirasi berakhir, tiba-tiba Saya didaulat untuk menjadi guru dadakan oleh sekumpulan anak yang terinspirasi menjadi fotografer. Dan di tengah kelas (yang terjadi di luar kelas) ini terjadilah sebuah percakapan dengan salah satu fotografer wannabe cilik :
-“Om, Laras pengen jadi fotografer kayak om. Caranya gimana, Om?”
-“Oh,  Laras sudah punya kamera belum?”
-“Ga punya, Om. Tapi Laras suka pinjam hape kamera ayah buat motret, Om”
-“Oh, itu juga bisa kok. Nah sekarang Laras sering-sering motret ya. Tiap hari walaupun hanya sekali, Laras usahakan selalu motret. Gunanya untuk melatih keahlian memotret Laras. Dan seringlah memotret apa yang Laras suka, yang Laras anggap indah, bagus atau cantik. Laras suka apa?”
-“Wah pas itu Om. Laras tiap hari motret kok. Lebih dari sekali malah. Laras suka motret diri sendiri, Om”
-“………………………………” Hening
IMG_6840DSC_0335DSC_0354DSC_0245DSC_0229DSC_0215DSC_0197DSC_0188DSC_0174DSC_0170DSC_0158DSC_0150IMG_6869
sumber : aansmile.wordpress.com

Senin, 24 Juni 2013

Menjadi Guru Inspiratif

Judul : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : April 2013
Halaman : 303 halaman
Masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.
Sejak diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005, khalayak Indonesia mengenal konsep profesionalisme atas guru. Bersamaan dengan itu pula, muncul paradigma baru terhadap guru, sebagai tenaga profesional. Demi meraihnya, profesi berciri khas keteladanan itu kini mesti berhadapan dengan sejumlah persyaratan untuk mencapai profesionalitasnya.
Paling tidak, UU meminta guru untuk memenuhi kualifikasi akademik serta beragam kompetensi pendukungnya. Seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang disahkan dalam selembar sertifikat. Untuk menjamin ketercapaiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menciptakan rumusan jitu: sertifikasi dan pendidikan profesi guru.
Program yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 itu dijadikan senjata pamungkas dalam menjawab kebutuhan akan profesionalitas guru. Sebab, jalur menuju profesi guru ikut berubah bersama lahirnya agenda ini. Sehingga tidak boleh ada guru yang alpa mengikutinya. Bila terpaksa itu terjadi, resiko ditanggung sendiri. Ia dinyatakan tidak profesional dan tak mendapat gaji tambahan.
Ingin segera menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu, persiapan dan penyelenggaran program tersebut dilakukan. Kementerian menyediakan jalur sertifikasi untuk mereka yang sudah lima tahun mengajar di sekolah. Iming-iming uang tunjangan sebagai imbalan profesionalitas pun disambut baik oleh sebagian besar guru. Maklum sudah puluhan tahun guru Indonesia hidup dalam belenggu kemelaratan.
Namun, kabar ini segera ditolak oleh Y. Sumardiyanto, pengajar di SMA Kolese John De Britto Jogjakarta. Bagi guru yang sudah 20 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan ini, masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.
Lewat buku perdananya Guru Gokil Murid Unyu, guru yang menggunakan nama pena J. Sumardianta ini mengatakan seberapa pun tinggi kompetensi guru, ia tidak akan mendapat perhatian murid bila tidak bisa menjadi inspirasi dengan menjadi teladan. Bagaimana seorang guru bisa menjadi sumber inspirasi? Minimal, ia tidak mendominasi kelas dengan berceramah sepanjang hari. Senantiasa menjadikan murid sebagai subjek pada kegiatan belajar mengajar.
Untuk memosisikan murid sebagai subjek, Sumardianta mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak dapat terlaksana selama guru-guru masih mengikuti kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah. Sebab, sarat dengan otoritas kelompok dominan yang jelas-jelas bertujuan menunadayakan siswa bukan membebaskan.
Hal ini dapat ditinjau dari pelaksanaan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Kurikulum yang mengklaim diri memiliki semangat pemberian otonomi kepada guru dalam mengembangkan bahan ajar terbukti hanya bualan. Sebab, pemerintah masih memberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Maka, guru dan murid perlu untuk membongkar muatan ideologis yang ada dalam kurikulum dengan melakukan pendidikan yang membebaskan.
Sebagai konklusi atas pendidikan yang membebaskan, Sumardianta kemudian berpulang pada gagasan Paulo Freire. Pedagog asal Brazil yang mengajukan pola pendidikan pemberdayaan manusia melalui pertumbuhan kesadaran. Freire sendiri membagi kesadaran ke dalam tiga ranah. Kesadaran magis, naif, dan kritis.
Manusia berkesadaran magis tidak dapat menemukan kaitan antara ketidakberdayaan dengan struktur sosial ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melingkunginya. Pandangan ini bercorak fatalistis, dengan memosisikan sesuatu yang ada di luar diri manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Seorang fatalis menganggap seluruh hal yang tidak mampu dilakukannya merupakan kodrat Tuhan yang tidak bisa diubah.
Dalam kesadaran naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri bila terjebak dalam situasi keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Sedangkan manusia berkesadaran kritis akan mampu membongkar penyebab keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang terselubung oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagai tindak lanjut, guru punya tugas utama untuk menuntun tiap siswanya menapaki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan kesadaran kritis, mesti dilangsungkan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan murid. Kondisi yang sepenuhnya lepas dari pengendalian satu sama lain. Maka, dalam situasi seperti ini, guru sudah bertransformasi menjadi pendengar yang senantiasa memperhatikan, bukan guru berwatak konvensional yang terus menerus memberi instruksi yang mampu mengubur kreativitas dan karakter murid. Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang kritis sebelum menularkannya kepada para murid.
Poin utama dalam rangka menumbuhkan kesadaran kritis serta karakter yang kuat dalam diri tiap murid adalah dengan memberikan mereka pengajaran yang bermakna atau lebih dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual. Mewujud hal ini, guru mestilah senantiasa memperkaya diri dengan beragam pengetahuan agar bisa merumus pengetahuan yang baru. Hingga pada tingkatan selanjutnya mampu mengaitkan pengajaran yang diberikan kepada kebutuhan hidup sehari-hari.
Dicontohkan oleh J. Sumardianta, sekolah tempatnya mengajar selalu mengadakan program live-in bagi murid-muridnya. Daerah-daerah berpenduduk miskin biasa jadi tujuan. Disana lah murid-murid SMA Kolese John De Britto–yang sebagian besar berasal dari kelas menengah atas–diasah karakternya dengan membiarkan mereka belajar langsung dengan hidup bersama penduduk setempat selama beberapa waktu. Dengan begitu, murid akan mendapatkan pelajaran dari langsung dari kehidupan yang mampu memberikan mereka lebih dari inspirasi.
Buat Sumardianta, untuk menciptakan pendidikan yang ideal, penekanannya terletak pada guru. Dalam hal ini, ia memercayakan perubahan dari dalam diri guru itu sendiri. Yakni dimulai dengan mengubah paradigma mengajar bukan sekadar untuk bekerja mencari nafkah melainkan belajar untuk meraih gelar S-4 (Sukses Sekolah Sejahtera Selamanya). Maka, dibutuhkan guru berkarakter altruis, yang sepenuhnya mengabdi kepada murid.
Perihal inspirasi juga menduduki posisi penting dalam gagasan yang dikemukakan Sumardianta. Oleh karena itu, guru mesti rajin membaca untuk mendapatkan referensi yang menginspirasi dan menuliskannya sebagai bentuk pengejawantahan pengetahuan yang sudah didapat.
Kemampuan menulis memang menjadi andalan guru yang satu ini. Melalui tulisan-tulisannya, ia menunjukkan kepada para murid bahwa dirinya merupakan sosok yang mampu menginspirasi. “Masing-masing guru harus punya nilai lebih. Kalau kita menjadi guru yang datar-datar saja, mohon maaf, tidak bakal ditengok siswa,” tulis Sumardianta di bagian akhir bukunya.
Saking gandrung dan percayanya pada hal-hal yang menginspirasi, Sumardianta membuka seluruh tulisan yang ada di buku ini dengan beragam kutipan dan kisah inspiratif. Baik yang bersumber dari dalam negeri, luar negeri, tokoh-tokoh dunia, hingga kisah-kisah yang diambil dari kitab suci lintas agama. Menjadi satu karakter yang menarik bila dikemudian hari J. Sumardianta menjadikan hal ini sebagai ciri khas tulisannya.
Buku ini cocok dibaca untuk siapa saja, terutama para guru dan calon guru yang haus inspirasi. Lewat tulisan-tulisannya, Sumardianta berhasil membuat pembaca terinspirasi untuk menjadi guru yang bijaksana dan mengabdi kepada murid.

Minggu, 23 Juni 2013

Teori Kecerdasan Jamak Gadner dan Gaya Belajar

Teori Kecerdasan Jamak Gadner dan Gaya Belajar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gardner cs, ditemukan bahwa seseorang yang mengalami kecelakaan dan ternyata ada pengaruhnya terhadap otaknya. Misalnya, seseorang yang rusak ‘bagian’ depan otaknya, maka kecerdasan linguistiknya rusak, sehingga ia sukar berbicara, membaca, dan menulis, namun ia masih bisa melakukan matematika, menyanyi menari, dan berhubungan dengan orang lain. Gardner menyimpulkan bahwa ada paling tidak tujuh daerah yang otonom dalam sistem otak dan masing-masing mempengaruhi satu macam kecerdasan dan mempengaruhi keberadaan anak ’super’.
Pada seseorang jika ada satu perangkat kecerdasan yang sangat tinggi membuat orang itu lemah dalam beberapa kecerdasan lainnya. Misalnya, seseorang yang tinggi logika-matematikanya, lemah dalam berkomunikasi, fungsi berbahasanya. Setiap kecerdasan pada anak usia dini muncul pada saat tertentu sesuai irama perkembangannya seperti yang dikemukakan oleh Piaget (1971) yang merentang dari fase sensorimotor (0-2 tahun), fase praoperasional (2-7 tahun), fase operasi kongkrit (7-12 tahun) dan fase operasi formal (12 sampai usia dewasa).
Fakta sejarah yang menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan jamak ditunjang oleh hasil penelitian yang menemukan bahwa sejak zaman dahulu manusia telah menggunakan kecerdasan jamak. Hal ini dapat dilihat dari gambar-gambar di gua-gua kuno. Selain alasan tersebut di atas temuan psikometrik menunjang keberadaan intelligensi jamak hal ini dapat dilihat dari materi menggali informasi dan kosa kata di dalam tes baku IQ.
Selain fakta sejarah di atas alasan selanjutnya adalah berbagai temuan penelitian yang berkaitan dengan psikologi eksperimental yang mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan khusus dalam membaca belum tentu dapat mentransfer kemampuan tersebut ke dalam logika matematika. dengan baik. Selain hal tersebut terdapat adanya operasi inti atau seperangkat operasi masing-masing intelegensi., seperti pada kecerdasan musik, kecerdasan ini ditunjang oleh kepekaan dalam membedakan berbagai struktur irama. Selanjutnya kecerdasan bodily kinesthetic, ditunjang oleh kemampuan meniru gerakan tubuh orang lain, kemampuan membangun rutinitas gerakan motorik halus.
Lazaer (2000:7) mengemukakan bahwa kecerdasan jamak (multiple Inteligences) merupakan perkembangan mutakhir dalam bidang intelligensi yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan jalur-jalur yang digunakan oleh manusia untuk menjadi cerdas.
Dari segi terminologi jamak berarti banyak atau lebih dari satu. Berarti kecerdasan jamak itu kecerdasan yang lebih dari satu. Dalam bahasa aslinya kecerdasan jamak dikenal dengan istilah Multiple Intellegence (MI). Ada juga yang menerjemahkannya sebagai kecerdasan majemuk. Teori tentang Multiple Intellegence ini berasal dari Howard Gardner. beliau menuliskan teorinya ini dalam buku yang ramai dibicarakan oleh kalangan umum saat itu (1983) berjudul Frames of Mind. Gardner pada awalnya menyebutkan ada tujuh kecerdasan dalam bukunya itu. Selanjutnya Gardner menambahkannya menjadi 8 kecerdasan.
Sebelum berangkat lebih jauh kita kembali ke definisi intelegensi (kecerdasan). Menurut Woolfolk (2009) kemampuan atau berbagai kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan dunia sekitar. Para penulis dan ahli lainnya juga banyak berpendapat hampir sama, menurut Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan) adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.Cara mengukur intelegensi ini menggunakan sebuah test yang dikenal dengan tes IQ, yang dipelepori oleh Alfred Binet.
Rupanya beberapa pihak dan para ahli ini pun ada yang tidak sreg dengan skor tunggal dari tes IQ ini. Tes ini dianggap hanya menggambarkan kemapuan intelektual atau kognitif saja dan mengabaikan kemampuan lain dalam diri manusia. Yaitu Gardner tahun 1983 tentang teori kecerdasan jamak berusaha mengungkapkan kemampuan mental lain dalam diri manusia dari pengalamannya dalam penelitian orang-orang yang mengalami kerusakan otak (Gardner, 2003). Carrol, 1997 seperti yang dinyatakan oleh Woolfolk (2009) mengenalkan tiga tingkat intelegensi , yaitu kemampuan umum, beberapa kemampuan luas (termasuk intelegensi cair dan intelegensi terkristal) dan beberapa kemampuan spesifik (ada sekitar 70). Lalu Stenberg seperti yang dikutip oleh Santrock 2008 dan Jamaris 2010 mengatakan dalam Triartic Theory of Intellegence bahwa ada 3 jenis intelegensi yaitu intelegensi analitis, kreatif, intelegensi kreatif dan intelegensi praktis. Tahun 1990 Mayor dan Salovey memulai konsep mengenai Emotional Intellegence. Dan kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman tahun 1995 dengan bukunya Emotional Intellegence. Kemudian Zohar dan Marshall tahun 1997 mengungkapkan istilah spiritual intelligence (SQ).
Jadi akhir-akhir ini orang mulai mempertanyakan mengenai konsep IQ, terutama hubungannya dengan prestasi di sekolah dan kesuksesan dalam dunia kerja nantinya. Orang dengan IQ tinggi belum tentu berprestasi di sekolah karena banyak juga anak-anak berkategori gifted dengan IQ di atas 130 masuk dalam kategori gifted underachiever yaitu tidak berprestasi. Demikian pula bahwa anak yang dulu berprestasi akademik bagus di sekolah belum tentu sukes dalam bisnis dan pekerjaannya. Bagitu pula orang tua yang merasa kurang puas dengan hasil skor tes IQ anaknya di sekolah namun merasa anaknya mempunya potensi terutama di bidang-bidang tertentu, mulai tertarik dengan konsep kecerdasan jamak ini.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan beberapa permaslahan sebagai berikut :
1.      Apa pengertian kecerdasan Jamak ?
2.      Apa saja macam-macam kecerdasan Jamak ?
3.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecerdasan ?
4.      Apa Kebutuhan Pokok Untuk Mengembangkan Kecerdasan ?
5.      Bagaimana Cara Merangsang Kecerdasan Jamak ?
6.       Bagaimana Penerapan Multiple Intelligence dalam Pembelajaran?
7.      Bagaimana cara Mengembangkan Kecerdasan Jamak dalam Kegiatan Pembelajaran

1.3  Tujuan penulisan
Sesuai dari permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian kecerdasan Jamak
2.      Mengetahui macam-macam kecerdasan Jamak
3.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecerdasan
4.      Mengetahui kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan jamak
5.      Mengetahui cara merangsang kecerdasan jamak
6.      Mengetahui Penerapan Multiple Intelligence dalam Pembelajaran
7.     Mengetahui cara mengembangkan kecerdasan jamak dalam kegiatan pembelajaran

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalh ini mencakup beberapa yang terkait diantaranya sebagai berikut :
•  Bagi Mahasiswa : Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kecerdasan anak dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang kecerdasan jamak
•  Bagi masyarakat Umuu : makalah ini dapat digunkan untuk menambah pengetahuan tentang kecerdasan jamak

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Kecerdasan Jamak
Dari segi terminology jamak berarti banyak atau lebih dari satu. Berarti kecerdasan jamak itu kecerdasan yang lebih dari satu. Dalam bahasa aslinya kecerdasan jamak dikenal dengan istilah Multiple Intellegence(MI).
Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk  mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik. Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang.
Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Kecerdasan MI adalah berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain verbal-linguistik (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat,presentasi pidato,diskusi,tulisan), logical-mathematical (kemampuan logika-matematik dalam memacahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (keterampilan gerak,menari,olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dan bunyi, nada, melodi, irama), intrapersonal (kemampuan memahami dan kengendalikan diri sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), naturalist ( kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan).
Kecerdasan jamak yaitu pandangan baru tentang kecerdasan yang dikemukakan Gadner (seperti yang dituliskan Thomas Amstrong “Menerapkan Multiple Intelligences di Sekolah” Kaifa 2004 hal 2), meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan natural.

2.2    Macam-Macam kecerdasan Jamak
a.  Kecerdasan Linguistik (Word Smart)
Kecerdasan linguistik merupakan kecerdasan dalam menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan ini memiliki empat ketrampilan yaitu menyimak, membaca, menulis dan berbicara.
Berikut kiat-kiat mengembangkan kecerdasan linguistik pada anak sejak usia dini :
•    Mengajak anak berbicara sejak bayi
•    Membacakan cerita atau mendongeng sebelum tidur atau kapan saja sesuai situasi dan kondisi
•    Berdiskusi tentang berbagai hal yang ada di sekitar anak
•    Bermain peran
•    Memperdengarkan dan memperkenalkan lagu anak-anak


b.   Kecerdasan Logika Matematika (Number / Reasoning) Smart)
Kecerdasan logika matematika merupakan kecerdasan dalam menggunakan angka dan logika.
Cara mengembangkan kecerdasan logika matematika pada anak antara lain dengan cara :
•    Bermain puzzle, permainan ular tangga, domino dll
•    Mengenal bentuk geometri
•    Mengenalkan bilangan melalui sajak berirama dan lagu
•    Eksplorasi pikiran melalui diskusi dan olah pikir ringan
•    Memperkaya pengalaman berinteraksi dengan konsep matematika
c.   Kecerdasan Visual Spasial (Picture Smart)
Kecerdasan visual spasial merupakan kemampuan untuk memvisualisasikan gambar untuk memecahkan sesuatu masalah atau menemukan jawaban.
Cara mengembangkan kecerdasan visual spasial pada anak adalah sebagai berikut :
•    Mencorat coret
•    Menggambar dan melukis
•    Kegiatan membuat prakarya atau kerajinan tangan
•    Mengunjungi berbagai tempat dapat memperkaya pengalaman visual anak
•    Melakukan permainan konstruktif dan kreatif
•    Mengatur dan merancang
d.   Kecerdasan Kinestetik (Body Smart)
Kecerdasan kinestetik adalah suatu kecerdasan dimana saat menggunakannya seseorang mampu atau terampil menggunakan anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan seperti berlari, menari, membangun sesuatu, melakukan kegiatan seni dan hasta karya. Cara menstimulasi kecerdasan kinestetik pada anak antara lain sebagai berikut :
•    Menari
•    Bermain peran / drama
•    Latihan ketrampilanfisik
•    Olahraga
e.   Kecerdasan Musikal(MusicalSmart)
Kecerdasan musikal adalah kemampuan memahami aneka bentuk musikal dengan cara mempersepsi (penikmat musik), membedakan (kritikus musik), mengubah (composer) dan mengekspresikan (penyanyi).
Cara mengembangkan kecerdasan musikal anak antara lain sebagai berikut :
•    Beri kesempatan pada anak untuk melihat kemampuan yang ada pada diri mereka,buat mereka lebih percaya diri
•    Pengalaman empiris yang praktis, buatlah penghargaan terhadap karya-karya yang dihasilkan anak
•    Ajak anak menyanyikan lagu-lagu dengan syair sederhana dengan irama dan birama yang mudah diikuti

f.    Kecerdasan Interpersonal (People Smart)
Kecerdasan interpersonal adalah berpikir lewat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Kegiatan yang mencakup kecerdasan interpersonal yakni memimpin, mengorganisasi, berinteraksi, berbagi,menyayangi, berbicara, sosialisasi, menjadi pendamai, permainan kelumpok, klub, teman-teman, kelompok dan kerjasama.
Cara mengembangkan kecerdasan interpersonal pada anak, yakni :
•    Mengembangkan dukungan kelompok
•    Menetapkan aturan tingkah laku
•    Memberi kesempatan bertanggungjawab dirumah
•    Bersama-sama menyelesaikan konflik
•    Melakukan kegiatan sosial di lingkungan
•    Menghargai perbedaan pendapat antara anak dan teman sebaya
•    Menumbuhkan sikap ramah dan memahami keragaman budaya lingkungan social
•    Melatih kesabaran menunggu giliran
•    Berbicara serta mendengarkan pembicaraan orang lain terlebih dahulu
g.      Kecerdasan Intrapersonal (Self Smart)
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara reflektif yaitu mengacu kepada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan proses pemikiran diri sendiri. Ada pun kegiatan yang mencakup kecerdasan ini adalah berpikir, meditasi, bermimpi, berdiam diri, mencanangkan tujuan, refleksi, merenung, membuat jurnal, menilai diri, waktu menyendiri, proyek yang dirintis sendiri dan menulis instropeksi.
Cara mengembangkan kecerdasan intrapersonal pada anak sebagai berikut :
•    Menciptakan citra diri positif, “aku anak baik”, “saya anak yang rajin membantu ibu”, dll
•    Ciptakan suasana serta kondisi yang kondusif di rumah yang mendukung pengembangan kemampuan intrapersonal dan penghargaan diri
•    Menuangkan isi hati dalam jurnal pribadi
•    Bercakap-cakap memperbincangkan kelemahan, kelebihan dan minat anak
•    Membayangkan diri di masa datang, lakukan perencangan dengan anak semisal anak ingin seperti apa bila besar nanti
h.     Kecerdasan Naturalis (Natural Smart)
Kecerdasan naturalis adalah kecerdasan untuk mencintai keindahan alam melalui pengenalan terhadap flora fauna yang terdapat di lingkungan sekitar dan juga mengamati fenomena alam dan kepekaan/kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Stimulasi bagi pengembangan kecerdasan naturalis yakni :
•    Jalan-jalan di alam terbuka
•    Berdiskusi mengenai apa yang terjadi di alam sekitar
•    Kegiatan ekostudi agar anak memiliki sikap peduli pada alam sekitar


i.    Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam memandang makna atau hakikat kehidupan ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berkewajiban menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-nya.
Cara mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak usia dini antara   lain :
•    Melalui teladan dalam bentuk nyata yang diwujudkan dalam perilaku baik lisan, tulisan maupun perbuatan
•    Melalui cerita atau dongeng untuk menggambarkan perilaku baik buruk
•    Mengamati berbagai bukti-bukti kebesaran Sang Pencipta seperti beragam binatang dan aneka tumbuhan serta kekayaan alam lainnya
•    Mengenalkan dan mencontohkan kegiatan keagamaan secara nyata
•    Membangun sikap toleransi kepada sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan
2.3    Faktor- factor yang mempengaruhi Kualitas Kecerdasan
Kecerdasan multipel dipengaruhi 2 faktor utama yang saling terkait yaitu faktor keturunan (bawaan, genetik) dan faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengembangkan berbagai kecerdasan jika mempunyai faktor keturunan dan dirangsang oleh lingkungan terus menerus.
Orangtua yang cerdas anaknya cenderung akan cerdas pula jika faktor lingkungan mendukung pengembangan kecerdasaannnya sejak didalam kandungan, masa bayi dan balita. Walaupun kedua orangtuanya cerdas tetapi jika lingkungannya tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk pengembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orangtua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (belum tentu mereka tidak cerdas, mungkin karena tidak ada kesempatan atau hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas jika dicukupi kebutuhan untuk pengembangan kecerdasan sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja.
Tingkat kecerdasan seseorang berbeda-beda karena dalam perkembangan kecerdasan ada beberapa faktor-faktor kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor Bawaan
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2. Faktor Minat dan Bawaan yang Khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar, sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3. Faktor Pembentukan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelengensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.
4. Faktor Kematangan
Dimana organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak-anak belulm mampu mengerjakan atau memecahkan soal-soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal-soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.

2.4    Kebutuhan Pokok Untuk Mengembangkan Kecerdasan
Tiga kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan antara lain adalah kebutuhan FISIK-BIOLOGIS (terutama untuk pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik), EMOSI-KASIH SAYANG (mempengaruhi kecerdasan emosi, inter dan intrapersonal) dan STIMULASI DINI (merangsang kecerdasan-kecerdasan lain).
1. Kebutuhan FISIK-BIOLOGIS terutama gizi yang baik sejak di dalam kandungan sampai remaja terutama untuk perkembangan otak, pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan, dan ketrampilan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Kebutuhan EMOSI-KASIH SAYANG : terutama dengan melindungi, menimbulkan rasa aman dan nyaman, memperhatikan dan menghargai anak, tidak mengutamakan hukuman dengan kemarahan tetapi lebih banyak memberikan contoh-contoh dengan penuh kasih sayang.
3.   Kebutuhan STIMULASI meliputi rangsangan yang terus menerus dengan berbagai cara untuk merangsang semua system sensorik dan motorik. timulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi/balita. misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam kendaraan, menjelang tidur.
Stimulasi untuk bayi 0 – 3 bulan dengan cara : mengusahakan rasa nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda berwarna mencolok (lingkaran atau kotak-kotak hitam-putih), benda-benda berbunyi, mengulingkan bayi kekanan-kekiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan
Umur 3 – 6 bulan ditambah dengan bermain ‘cilukba’, melihat wajah bayi dan pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, telentang bolak-balik, duduk.
Umur 6 – 9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih berdiri berpegangan.
Umur 9 – 12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mama-papa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas, menggelindingkan bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.
Umur 12 – 18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana (puzzle) memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya, bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, sapu, lap. Latihlah berjalan tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola, melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana (mana bola, pegang ini, masukan itu, ambil itu), menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
Umur 18 – 24 bulan ditambah dengan menanyakan, menyebutkan dan menunjukkan bagian-bagian tubuh (mana mata ? hidung?, telinga?, mulut ? dll), menanyakan gambar atau menyebutkan nama binatang & benda-benda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang kegiatan sehari-hari (makan, minum mandi, main, minta dll), latihan menggambar garis-garis, mencuci tangan, memakai celana – baju, bermain melempar bola, melompat.
Umur 2 – 3 tahun ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil, panas-dingin, tinggi-rendah, banyak-sedikit dll), menyebutkan nama-nama teman, menghitung benda-benda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan, menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri di satu kaki, buang air kecil / besar di toilet.
Setelah umur 3 tahun selain mengembangkan kemampuan-kemampuan umur sebelumnya, stimulasi juga di arahkan untuk kesiapan bersekolah antara lain : memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana (buang air kecil / besar di toilet), dan kemandirian (ditinggalkan di sekolah), berbagi dengan teman dll. Perangsangan dapat dilakukan di rumah (oleh pengasuh dan keluarga) namun dapat pula di Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak atau sejenisnya.
Ketiga kebutuhan pokok tersebut harus diberikan secara bersamaan sejak janin didalam kandungan karena akan saling berpengaruh. Bila kebutuhan biofisik tidak tercukupi, gizinya kurang, sering sakit, maka perkembangan otaknya tidak optimal. Bila kebutuhan emosi dan kasih sayang tidak tercukupi maka kecerdasan inter dan antar personal juga rendah. Bila stimulasi dalam interaksi sehari-hari kurang bervariasi maka perkembangan kecerdasan juga kurang bervariasi.

2.5  Cara Merangsang Kecerdasan Jamak
Untuk merangsang kecerdasan berbahasa verbal ajaklah bercakap-cakap, bacakan cerita berulang-ulang, rangsang untuk berbicara dan bercerita, menyanyikan lagu anak-anak dll.
Latih kecerdasan logika-matematik dengan mengelompokkan, menyusun, merangkai, menghitung mainan, bermain angka, halma, congklak, sempoa, catur, kartu, teka-teki, puzzle, monopoli, permainan komputer dll.
Kembangkan kecerdasan visual-spatial dengan mengamati gambar, foto, merangkai dan membongkar lego, menggunting, melipat, menggambar, halma, puzzle, rumah-rumahan, permainan komputer dll.
Melatih kecerdasan gerak tubuh dengan berdiri satu kaki, jongkok, membungkuk, berjalan di atas satu garis, berlari, melompat, melempar, menangkap, latihan senam, menari, olahraga permainan dll.
Merangsang kecerdasan musikal dengan mendengarkan musik, bernyanyi, memainkan alat musik, mengikuti irama dan nada.
Melatih kecerdasan emosi inter-personal dengan bermain bersama dengan anak yang lebih tua dan lebih muda, saling berbagi kue, mengalah, meminjamkan mainan, bekerjasama membuat sesuatu, permainan mengendalikan diri, mengenal berbagai suku, bangsa, budaya, agama melalui buku, TV dll.
Melatih kecerdasan emosi intra-personal dengan menceritakan perasaan, keinginan, cita-cita, pengalaman, berkhayal, mengarang ceritera dll.
Merangsang kecerdasan naturalis dengan menanam biji hingga tumbuh, memelihara tanaman dalam pot, memelihara binatang, berkebun, wisata di hutan, gunung, sungai, pantai, mengamati langit, awan, bulan, bintang dll.
Bila anak mempunyai potensi bawaan berbagai kecerdasan dan dirangsang terus menerus sejak kecil dengan cara yang menyenangkan dan jenis yang bervariasi maka anak kita akan mempunyai kecerdasan yang jamak.

2.6 Penerapan Multiple Intelligence dalam Pembelajaran
Memperkenalkan multiple intelligence dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dalam tiga bentuk utama yakni; orientasi kurikulum, metodologi pengembangan pembelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran.

1.   Orientasi Kurikulum
Kompentensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep multiple intelligencei dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1)   Multiple intelligence berkenaan dengan kemampuan peserta didik dalam melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.

2)   Multiple intelligence menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi standart kompentensi.

3)   Multiple intelligence merupakan hasil belajar (leraning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran.

4)   Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

5)  Penyusunan standart kompetensi, kompetensi dan hasil belajar hendaknya didasarkan pada kecerdasan jamak yang ditetapkan secara proporsional, tidak melulu hanya apsek kognitif atau spritual belaka tetapi seimbang dan tepat sasaran.

2.    Pengembangan Metodologi Pembelajaran
1)   Metode bercerita, adalah salah satu bentuk untuk mengembangkan intelligence lingusitic, dimana siswa diajak menyenangi dan mencintai bahasa, dimana siswa dapat menikmati suara dari kata kata, menghargai dan memakai kekuatan dengan penuh tanggungjawab.

2)   Problem solving: Siswa dihadapkan pada masalah konkret. Misalnya adanya perkelahian antar pelajar, sering terlabat sekolah, prestasi kelas merosot, komunikasi dengan guru kurang lancar. Siswa diajak untuk memikirkan bersama, mendiskusikan bersama, dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Metode ini dapat mengasah kecerdasan interpersonal

3)  Reflective thinking/critical thinking, siswa secara pribaddi atau berkelompok dihadapkan pada suatu artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain sebagainya. Siswa diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan bahan-bahan tersebut. Bahan-bahan bisa diplih sendiri oleh siswa. Cara ini dapat mengembangkan kecerdasan bodily kenisthetic, juga inteersonal intligence.

4)  Group dynamic, siswa dibimbing untuk kerja kelompok secara kontinyu dalam mengerjakan suatu proyek tertentu. Metode ini dapat diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan logical mathematical, dan kecerdasan interpersonal.

5)   Community bulding, siswa satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini dengan aturan, tugas, hak, dan kewajiban yang mereka atur sendiri secara demokratis. Cara ini dapat dikembangkan untuk membangun kecerdasan intrapersonal.

6)   Responsibility building, siswa diberi tugas yang konkret dan diminta membuat laporan pertanggungjawaban secara jujur. Cara ini juga dapat dikembangkan untuk membangun kecerdasan intapersonal.

7)  Picnic, siswa merancang kegiatan santai di luar sekolah, tidak harus ke tempat jauh dan biaya mahal. Untuk menggali nilai-nilai social, spritual, keindahan, dsb. Ini adalah cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan spatial, dan kecerdasan musical.

8)  Camping study, siswa di ajak melakukan kegiatan kamping dalam rangka belajar. Kegiatan ini juga tidak harus jauh, bisa di halaman sekolah. Seperti hal di atas, ini dapat diterapkan guru untuk membangun kecerdasan spatial, juga intrapersonal.

9)  Kerja individu dan kelompok, proses pembelajaran pada intinya adalah pemberian layanan kepada setiap individu siswa agar mereka berkembang segara maksimal sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Pelayanan secara individual bukan berarti mengajari anak satu persatu secara bergantian, melainkan dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk memperoleh pengalaman belajar sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaktifkan siswa baik secara individu maupun beregu. Satu dari cara yang paling biasa untuk mendorong kerja-regu adalah meminta siswa-siswa untuk bekerja dalam suatu regu atau kelompok untuk mencari jawaban-jawaban pada pertanyaan-pertanyaan, untuk memecahkan suatu masalah, untuk melaksanakan suatu eksperimen atau meneliti suatu topik proyek. Namun, guru harus berhati-hati agar harapan akan kerjasama, toleransi, semangat regu dan pengertian tentang hakikat pekerjaan hendaklah realistis mengingat ketrampilan dan pengalaman siswa-siswa. Cara cara seperti di atas dapat dikembangkan oleh guru untuk membangun kecerdasan siswa dalam bidang interpersonal, juga kecerdasan bodlily kinesthetic.

10) Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental, banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEM’. Cara seperti ini dapat mengembangkan berbagai kecerdasan seperti kecerdasan lingustic, kecerdasan bodily kinethetic, dan bahkan kecerdasan interpersonal.

11) Pertanyaan efektif, jika siswa diminta untuk mengerti dan bukan sekedar mengingat informasi yang ditemukannya di dalam buku pelajaran, bahan rujukan, surat kabar dan sebagainya, maka mereka haruslah aktif mengumpulkan informasi. Pengajuan suatu pertanyaan menggunakan kata-kata dan ungkapan yang tidak mudah ditemukan di dalam teks atau naskah. Sehingga mendorong siswa berpikir dan berpendaat tidak hanya  untuk menyalin jawaban. Ketrampilan ini sangat tepat bila digunakan guru untuk mengasah kecerdasan linguistic.

12) Membandingkan dan mensintesiskan informasi, Pemahaman informasi yang dikumpulkan dari sumberdaya dapat ditingkatkan jika siswa-siswa bekerja dalam kelompok dan setiap anggota kelompok diberi sumber data yang berbeda untuk digunakan dalam mencari jawaban atas pertanyaan yang sama. Dengan demikian, siswa-siswa harus membandingkan dan mendiskusikan jawaban-jawaban yang sudah mereka tuliskan, sehingga, sebagai hasilnya, mereka akan mampu memberi satu jawaban yang memuaskan. Ini sering merupakan strategi yang efektif untuk dipakai oleh kelompok-kelompok pakar ketika pendekatan (jigsaw) terhadap proyek penelitian digunakan. Cara ini juga dapat dikembangkan untuk melatih anak dalam hal kecerdasan linguistic dan juga kecerdasan logical mathematical.

13) Mengamati (mengawasi) aktif, Sering siswa-siswa tidak berpikir dan belajar aktif pada waktu menonton video. Beberapa orang guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa-siswa untuk dijawab pada waktu mereka menonton video. Biasanya pertanyaan-pertanyaan itu disajikan dengan susunan dimana jawaban-jawaban akan muncul didalam video dan ungkapan-ungkapan kunci didalam pertanyaan-pertanyaan juga terjadi didalam video, sehingga menunjuk pada jawaban. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mudah dijawab dan jarang menuntut keterlibatan aktif. Cara ini dapat digunakan guru untuk melatih anak mengemangkan kecerdasan linguistic, kecerdasan musical.

14) Peta akibat, metode ini dapat digunakan sebelum atau sesudah siswa-siswa mempelajari sesuatu topik. Hal itu dapat digunakan untuk menemukan seberapa tuntas siswa-siswa dalam memikirkan sesuatu isu atau peristiwa, atau dapat digunakan untuk menemukan apakah mereka sudah mampu menerapkan informasi yang sudah dipelajarinya dalam menganalisis situasi baru. Siswa-siswa diminta untuk mempertimbangkan semua hasil atau akibat yang mungkin dari suatu tindakan atau perubahan dan kemudian hasil-hasil dan akibat-akibat sesudah itu. Mereka juga didorong untuk berpikir tentang akibat-akibat positif dan negatif. Cara ini juga dapat digunakan guru untuk melatih anak anak dalam mengembangkan kecerdasan linguistic.

15) Keuntungan dan kerugian, suatu tugas analisis yang kurang rumit dapat melibatkan siswa-siswa untuk memeriksa informasi yang mereka temukan tentang keputusan, sikap atau tindakan yang kotroversial (menjadi sengketa). Siswa-siswa bekerja sebagai satu kelas keseluruhan atau dalam kelompok-kelompok untuk menggolong-golongkan informasi yang mereka kumpulkan apakah untung atau rugi bagi mereka sendiri, keluarganya, desa atau masyarakat umumnya. Sesudah klasifikasi atas keuntungan dan kerugian sudah dirampungkan, siswa-siswa dapat diminta untuk memutuskan. Ini adalah salah satu cara guru untuk mengembangkan kecerdasan logical mathematical.

16) Permainan peranan/ konferensi meja bundar, strategi-strategi ini meliputi permainan peranan atau advokasi untuk kepentingan kelompok komunitas tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk membantu siswa-siswa mengenali bahwa biasanya terdapat suatu rentang sudut pandang mengenai sesuatu isu dan suatu rentang cara menafsirkan informasi tentang isu itu. Pandangan-pandangan ini biasanya ditentukan oleh pengalaman, harapan dan cita-cita, nilai pendidikan, gaya hidup dan peranan di dalam masyarakat dari orang yang mengungkapkan pandangan itu. Guru bertindak sebagai fasilitator (pemberi kemudahan), memastikan bahwa semua siswa diperkenankan mengemukakan pandangan sesuai peranan yang diterimanya, bahwa setiap diskusi berlangsung tertib dan mendorong peran serta yang jika perlu dengan mengajukan pertanyaan.Pada akhir konperensi meja bundar, siswa-siswa hendaklah didorong untuk memperhatikan semua sudut pandang dan tiba pada suatu keputusan pribadi tentang isu itu. Metode ini dapat dikembangkan untuk untuk meransang anak agar terlahit kecerdasan interpersonalnya dengan baik.

3.    Pengembangan Evaluasi Hasil Pembelajaran

1) Evaluasi dikembangkan dengan prinsip untuk memberikan informasi kemajuan belajar siswa dalam berbagai bidang intelligensi (kecerdasan jamak). Hal ini sudah harus tergambar sejak dalam perencanaan pembelajaran pengembangan kegiatan pembelajaran.

2) Bentuk evaluasi harus dikembangkan dengan berbagai macam yang dapat mengakomodir kecerdasan yang sangat kompleks, baik itu kecerdasan dalam lingusiti, logical mathematical, interpersonal dan lain sebagainya. bentuk tes soal ujian harus diiringi dengan tugas, jadi nilai praktek dan nilai sehari hari sangat besar perannya dalam penentuan keberhasilan belajar.

3) Proses penilaian benar benar berbasis kelas dan berangkat dari potensi apa yang dimiliki anak, kemudian kecerdasan apa yang tepat untuk dikembangkan pada dirinya. Artinya kompetensi yang ditetapkan oleh guru dalam tujuan pembelajaran juga harus diiringi dengan pertimbangangan lain dimana masing masing anak memiliki keunikan yang khas, sehingga pengukuran kecerdasannyapun membutuhkan ciri khas.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Multiple intelligence kini telah banyak dikembangkan dari sejak kajian teoretis sampai pada berbagai praktek kegiatan pendidikan dan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Kajian kajian tentang pengembangan kemampuan anak berdasarkan multiple intelligence ini diharapkan memberikan satu nuansa baru bagaimana sebenarnya hakikat manusia dari sisi potensi, bakat dan kemampuannya dapat dikembangkan secara optimal. Tentu kajian ini tidak berhenti sampai di sini saja. Lebih dari itu, masih terlalu dini untuk mengungkapkan bahwa multiple intelligence adalah yang terbaik dalam pengembangan kepribadian seorang anak.
Namun yang pasti memberi kesempatan bagi guru dan peserta didik sejak awal, khususnya tentang multiple intelligence kiranya dapat memberikan satu motivasi yang kuat, bahwa kegiatan pendidikan dan pembelajaran perlu dikaji lebih jauh. Tulisan ini diharapkan menjadi nilai nilai inspirasi bagi upaya peningaktan kemauan dan kemampuan dalam memahami multile intelligence tersebut.

Daftar  Pustaka

Anita Woolfolk, Educational Psychology Active Learning Edition , edisi bahasa Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009). Hlm. 168
John W. Santrock, Educational Psychology, third edition (Boston : Mc. Graw Hill, 2008) hlm. 115
Woolfolk. loc.cit. hlm 170
Santrock, Op. cit. hlm. 118
Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Penamas Murni, 2010) hlm. 122-125.
Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, alih bahasa Alexander Sindoro (Batam: Interaksara, 2003) hlm.

Penerapan Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Anak Sekolah Dasar

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul  “Penerapan Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Anak Sekolah Dasar ”
Dalam penyelesaian tugas ini, tentu tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada  semua pihak yang selalu memberikan motivasi kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Walau demikian kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang berdifat membangun sangat kami harapkan agar makalah kami berikutnya lebih sempurna.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya, pemerhatikan pendidikan pada umunya, serta merupakan sebuah pengabdian kepada Allah Swt.

Jakarta, 09 Desember  2012



    Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    i
DAFTAR ISI    ii
BAB I PENDAHULUAN    1
1.1 Latar Belakang    1
1.2 Rumusan Masalah    2
1.3 Tujuan Penulisan    3
BAB II PEMBAHASAN    4
2.1 pengertian teori belajar Behavioristik    4
2.2 Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi anak Sekolah Dasar    14
2.3 Penerapan Teori Behavioristik Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Bagi Anak Sekolah Dasar    25
BAB III PENUTUP    29
3.1 Kesimpulan    29
3.2 Saran    30
DAFTAR PUSTAKA    31


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dunia berkembang begitu pesatnya. Segala sesuatu yang semula tidak bisa dikerjakan, mendadak dikejutkan oleh orang lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Agar kita tidak tertinggal dan tidak ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka kita sadar bahwa pendidikan itu sangat penting.
Banyak negara yang mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang amat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa.
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antarmanusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.
Untuk berinteraksi sangat dibutuhkan bahasa yang mampu menghubungkan kontak kita. Salah satu bahasa yang kita gunakan adalah bahasa Indonesia. Salah satu tujuan utama pengajaran bahasa adalah mempersiapkan siswa untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah. Agar interaksi dapat bermakna bagi siswa, perlu didesain secara mendalam program pembelajaran bahasa Indonesia. Desain yang bertumpu pada kontekstual, konstruktif, komunikatif, intergratif, dan kuantum yang didasari oleh kompetensi dasar siswa.
Kemampuan berbahasa Indonesia berarti siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Menghayati bahasa dan sastra Indonesia berarti siswa memiliki pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia, dan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengangkat tiga rumusan masalah. Antara lain :
1.2.1 Apakah pengertian teori belajar Behavioristik?
1.2.2 Bagaimanakah proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi anak Sekolah Dasar.
1.2.3 Bagaimanakah penerapan teori behavioristik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia bagi anak sekolah dasar?


1.3 Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini penulis mengangkat tiga tujuan masalah. Antara lain :
1.3.1 Menjelaskan pengertian teori belajar Behavioristik.
1.3.2 Mengetahua proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi anak Sekolah Dasar?
1.3.3 Mendeskripsikan penerapan teori behavioristik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia bagi anak sekolah dasar.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 pengertian teori belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1)    Reinforcement and Punishment;
(2)    Primary and Secondary Reinforcement;
(3)    Schedules of Reinforcement;
(4)    Contingency Management;
(5)    Stimulus Control in Operant Learning;
(6)    The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni:
(1)    hukum efek;
(2)    hukum latihan dan
(3)    hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.
“Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku”.(Slavin, 2000).
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
• Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
• Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
• Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

2.2 Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi anak Sekolah Dasar
Salah satu tujuan utama pengajaran bahasa adalah mempersiapkan siswa untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah. Agar interaksi dapat bermakna bagi siswa, perlu didesain secara mendalam program pembelajaran bahasa Indonesia. Desain yang bertumpu pada kontekstual, konstruktif, komunikatif, intergratif, dan kuantum yang didasari oleh kompetensi dasar siswa.
Kemampuan berbahasa Indonesia berarti siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Menghayati bahasa dan sastra Indonesia berarti siswa memiliki pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia, dan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

Pengertian Metodologi Pembelajaran Bahasa
Strategi pembelajaran merupakan aspek penting dalam kemajuan pendidikan di sekolah. Apalagi saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam pelaksanaan pendidikan bagi warganya mulai diversifikasi kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Guru diharapkan menjadi seorang yang kaya akan teknik pembelajaran dan mampu menerapkan kapan, di mana, bagaimana, dan dengan siapa diterapkan metode tersebut. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya aspek yang juga paling penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah penguasaan metode pembelajaran.
Strategi meliputi pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Teknik adalah cara konkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Pendekatan komunikatif menekankan pada bahasa sebagai alat berkomunikasi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah agar siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Komunikasi tidak selalu bersifat formal atau resmi tetapi juga mungkin bersifat tidak formal. Karena itu bahan pengajaran tidak hanya ditekankan kepada ragam baku tetapi juga ragam lainnya. Bahan pengajaran bahasa harus sesuatu yang bermakna bagi siswa. Hal ini diwujudkan antara lain dalam pemilihan bahan pengajaran yang berkaitan dengan ragam-ragam komunikasi seperti tersebut di atas.
Guru bahasa Indonesia harus menyadari sungguh-sungguh bahwa keterampilan menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi akan tercapai bila siswa diberi kesempatan: memahami teori, mempraktikkan teori, serta berlatih menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Metode adalah cara-cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem tertentu. Hakikat metode pengajaran bahasa berdasarkan pendapat Basennang sesungguhnya tidak lain adalah persoalan pemilihan bahan yang akan diajarkan, penentuan cara-cara penyajiannya, dan cara mengevaluasinya. Orientasi pada tujuan pengajaran yang ingin dicapai.
Teknik merupakan satu rancangan menyeluruh untuk menyajikan secara teratur bahan-bahan pengajaran bahasa, tidak ada bagian-bagian yang saling bertentangan dan semuanya berdasarkan pada asumsi pendekatan (Parera,1993:93). Menurut Parera, sebuah metode ditentukan oleh:
1) Hakikat bahasa
2) Hakikat belajar mengajar bahasa
3) Tujuan pengajaran bahasa
4) Silabus yang digunakan
5) Peran guru, siswa, dan bahan pengajaran.
H.G. Tarigan (1989:18) menyatakan bahwa “Metodologi adalah ilmu mengenai metode, dan istilah metode ini mencakup: silabus, pendekatan, strategi/teknik, materi, dan gaya guru. Jadi dalam setiap pengajaran diperlukan suatu metode untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut”.
Setiap metode pengajaran bahasa pada dasarnya menginginkan hasil yang sama yaitu agar para siswa dapat membaca, berbicara, memahami, menerjemahkan, dan mengenali penerapan-penerapan tata bahasa yang dipelajari.
Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai strategi yang di dalamnya terdapat pendekatan, metode, dan teknik secara spesifik.

Jenis-Jenis Metode Pengajaran Bahasa Indonesia
Proses belajar mengajar mencakup sejumlah komponen. Komponen proses belajar mengajar tersebut adalah siswa, guru, tujuan, bahan, metode, media, dan evaluasi. Salah satu kelemahan dalam pengajaran, termasuk pengajaran bahasa, di SD adalah dalam komponen metode. Guru cenderung mengajar secara rutin, kurang bervariasi dalam menyampaikan bahan pengajaran.
Cara mengajar guru sangat berpengaruh kepada cara belajar siswa. Bila guru mengajar hanya dengan metode ceramah maka dapat diduga siswa belajar secara pasif dan hasilnya pun berupa pemahaman materi bersifat teoritis. Belajar melalui pengalaman semakin jauh dari kenyataan.
Untuk mengatasi hal itu maka setiap guru, juga guru bahasa Indonesia, di SD harus mengenal, memahami, menghayati, dan dapat mempraktikkan berbagai metode pengajaran bahasa. Minimal ada 14 metode yang pantas dikuasai oleh guru. Metode yang dimaksud adalah:
1.    metode penugasan
2.    metode eksperimen
3.    metode proyek
4.    metode diskusi
5.    metode widyawisata
6.    metode bermain peran
7.    metode demonstrasi
8.    metode sosiodrama
9.    metode pemecahan masalah
10.    metode tanya jawab
11.    metode latihan
12.    metode ceramah
13.    metode bercerita, dan
14.    metode pameran
Mungkin sekali tidak semua metode tersebut di atas cocok digunakan sebagai metode pengajaran bahasa Indonesia di SD. Tetapi sebagian di antaranya dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa Indonesia di SD.Proses pembelajaran bahasa Indonesia harus bertumpu ke siswa sebagai subjek belajar. Materi pembelajaran bahasa Indonesia terintegrasi dengan penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini. Pembelajaran diarahkan ke pemakaian sehari-hari baik lisan maupun tulis dalam konteks bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa indonesia tersebut di antaranya melalui wacana tulis dan lisan. Wacana tulis berkembang melalui buku pengetahuan, surat kabar, iklan, persuratan, dan lainnya. Sedangkan wacana lisan berkembang melalui percakapan sehari-hari, radio, televisi, pidato, dan sebagainya. Dengan begitu, siswa pembelajar bahasa Indonesia dapat mengikuti zamannya.
Yang belajar dalam kelas adalah siswa bukan guru. Siswa hendaklah diarahkan ke pengembangan potensi diri sendiri. Artinya, segala masalah kebahasaan yang perlu dimainkan di sekolah haruslah juga sesuai dengan zamannya. Kata, kalimat, paragraf, bahkan tulisan harus bernuansa kekinian. Sumber kebahasaan yang digunakan oleh guru juga harus mengacu ke minat dan harapan siswa. Dengan begitu, siswa dapat tertarik dengan pembelajaran bahasa Indonesia.



Aplikasi Teknik Pengajaran Bahasa Indonesia di SD
Bahasa Indonesia diajarkan pada setiap jenjang sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar, menengah, sampai ke perguruan tinggi. Walaupun pengajaran bahasa Indonesia sudah dilaksanakan secara ekstensif dalam lembaga pendidikan formal, hasilnya belum memuaskan. Kemampuan berbahasa Indonesia para siswa lulusan SD, SMP, ataupun SMA belum memadai. Bahkan para dosen pembimbing skripsi di perguruan tinggi pun sering mengeluh karena kemampuan berbahasa mahasiswanya kurang memuaskan.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas dan diperkuat lagi oleh pentingnya bahasa bagi manusia maka wajarlah apabila guru membenahi dan memantapkan kembali pengajaran bahasa Indonesia. Pemantapan pengajaran ini harus berlangsung serempak pada setiap jenjang pendidikan pengajaran bahasa harus menghasilkan siswa-siswa yang terampil menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. Terampil berbahasa bermakna terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Pengajaran bahasa di SD memiliki nilai strategis. Pada jenjang inilah pertama kalinya pengajaran bahasa Indonesia dilaksanakan secara berencana dan terarah. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk menanamkan tiga hal. Pertama, guru dapat menanamkan pengetahuan dasar bahasa Indonesia. Kedua, guru dapat menumbuhkan rasa memiliki, mencintai, dan bangga akan bahasa Indonesia pada diri siswanya. Ketiga, guru dapat meningkatkan keterampilan berbahasa para siswa-siswanya.
Siswa yang sudah dibekali dengan landasan yang kuat mengenai pengetahuan sikap positif terhadap pengajaran bahasa Indonesia, dan keterampilan berbahasa yang bersangkutan akan lebih mudah menyelesaikan studinya.
Langkah awal yang harus dilalui oleh guru sebelum merencanakan dan melaksanakan pengajaran bahasa Indonesia di SD adalah memahami benar-benar pedoman petunjuk atau karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Pedoman ini dapat kita baca pada kurikulum dengan perangkatnya, buku-buku pengajaran bahasa, dan buku-buku mengenai bahasa dan sastra Indonesia.
Sebagian besar dari siswa SD tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Melalui kegiatan belajar mengajar di SD mereka diperkenalkan dengan bahasa Indonesia. Melalui kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia ini pula dapat ditumbuhkan nasionalisme untuk mencintai Indonesia terhadap anak-anak daerah berlangsung secara formal.
Melalui pengajaran bahasa di SD diharapkan siswa mendapat bekal yang mantap untuk mengembangkan dirinya dalam pendidikan berikutnya dan hidup bermasyarakat.
Dalam bidang pengetahuan siswa memiliki pemahaman dasar-dasar kebahasaan terutama bahasa baku. Dalam bidang afektif siswa harus diarahkan agar mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

Teknik Pengajaran Menyimak
Menyimak atau mendengarkan adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Menyimak berkaitan erat dengan berbicara, membaca, dan menulis. Namun hubungan antara menyimak dan berbicara lebih erat bila dibandingkan dengan hubungan antara menyimak dan membaca ataupun menyimak dan menulis. Komunikasi lisan tidak akan berjalan bila menyimak tidak disertai berbicara atau sebaliknya berbicara mestilah disertai kegiatan menyimak.
Guru bahasa Indonesia di SD harus berupaya agar pengajaran menyimak disenangi oleh siswa. Hal ini dapat terlaksana apabila guru benar-benar menguasai materi dan cara atau metode pengajaran menyimak. Khusus dalam metode pengajaran menyimak tersebut guru harus mengenal, memahami, menghayati, serta dapat mempraktikkan berbagai cara pengajaran menyimak. Teknik pengajaran menyimak yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, antara lain:

Teknik Pengajaran Berbicara
Keterampilan berbicara menunjang keterampilan bahasa lainnya. Pembicara yang baik memberikan contoh yang dapat ditiru oleh penyimak yang baik. Pembicara yang baik memudahkan penyimak untuk menangkap pembicaraan yang disampaikan. Keterampilan berbicara menunjang pula keterampilan menulis sebab pada hakikatnya antara berbicara dan menulis terdapat kesamaan dan perbedaan. Dua-duanya bersifat produktif. Dua-duanya berfungsi sebagai penyampai, penyebar informasi. Bedanya terletak dalam media. Bila berbicara menggunakan media bahasa lisan maka menulis menggunakan bahasa tulisan. Namun keterampilan menggunakan bahasa lisan akan menunjang keterampilan bahasa tulis. Begitu juga kemampuan menggunakan bahasa dalam berbicara jelas pula bermanfaat dalam memahami bacaan. Apalagi dalam cara mengorganisasikan isi pembicaraan hampir sama dengan cara mengorganisasikan isi bahan bacaan.
Keterampilan berbicara bersifat mekanistis. Semakin sering dilatihkan atau digunakan semakin lancar orang berbicara. Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara harus melalui pendidikan atau pengajaran berbahasa. Hal ini dapat berlangsung di dalam dan di luar sekolah.
Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbicara siswa di sekolah menjadi tanggung jawab guru-guru bahasa Indonesia. Mereka harus dapat menciptakan suasana dan kesempatan belajar berbicara bagi siswa-siswa. Mereka harus sabar dan tekun memotivasi dan melatih siswa berbicara. Karena itu guru bahasa Indonesia harus mengenal, mengetahui, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai teknik, teknik atau cara mengajarkan keterampilan berbicara, sehingga pengajaran berbicara menarik, merangsang, bervariasi, dan menimbulkan minat belajar berbicara bagi siswa. Teknik pengajaran berbicara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, antara lain:

Teknik Pengajaran Membaca
Keterampilan membaca perlu sekali dikuasai oleh setiap siswa. Pertama, saat siswa dalam proses penyelesaian studinya keterampilan membaca diperlukan dalam mempelajari setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran pasti memiliki buku teks yang harus dicerna oleh siswa. Kedua, bila siswa nantinya terjun dalam kehidupan bermasyarakat di luar sekolah keterampilan membaca itu tetap sangat diperlukan. Misalnya membaca koran, majalah, dsb. Bahkan dalam keadaan santai pun keterampilan ini tetap diperlukan. Misalnya membaca menu di restoran saat beristirahat, membaca teks film, dsb.
Pengembangan keterampilan membaca tersebut pertama-tama dibebankan kepada guru bahasa Indonesia di SD. Melalui pengajaran bahasa Indonesia, pokok bahasan membaca, guru harus mengarahkan siswanya agar dapat:
1)    membaca atau melek huruf,
2)    memahami pengertian dan peranan membaca,
3)    memahami teori dasar membaca,
4)    memiliki minat baca,
5)    memiliki keterampilan membaca.
Jenis kegiatan membaca ada bermacam-macam. Namun yang terpenting diantaranya adalah kegiatan membaca pemahaman. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang diikuti siswa semakin tinggi pula tuntutan penguasaan Keterampilan membaca pemahaman tersebut. Aktivitas siswa dalam membaca pemahaman selalu mengacu kepada pengecekan pemahaman siswa terhadap isi bacaan. Termasuk di dalamnya pemahaman kata, ungkapan, kalimat, isi paragraf, bacaan. Termasuk di dalamnya pemahaman kata, ungkapan, kalimat, isi paragraf, dan isi wacana dan akhirnya siswa dapat menceritakan kembali isi bacaan.
Guru harus berupaya agar pengajaran membaca disukai oleh siswa. Hal ini dapat terlaksana apabila guru telah menguasai materi dan cara penyampaian materi. Dalam segi penyampaian materi guru harus sudah mengenal, mamahami, menghayati, dan dapat menerapkan berbagai teknik pengajaran membaca.

Teknik Pengajaran Menulis
Di sekolah pihak yang paling berkompeten menumbuhkan keterampilan menulis ini adalah guru bahasa Indonesia. Mereka harus melatih anak didiknya agar terampil menulis. Lebih-lebih guru bahasa Indonesia di SD harus dapat menumbuhkan keterampilan menulis ini pada setiap siswanya.
Menulis berarti mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa itu akan dimengerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti.
Keterampilan mengekspresikan pikiran melalui bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti itulah yang harus dilatih oleh guru bahasa Indonesia pada siswanya. Hal ini bisa dicapai melalui latihan menulis terarah dan berencana. Misalnya latihan menulis dalam bentuk yang paling sederhana, biasa, dan sukar.

Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra
Pengajaran apresiasi sastra di SD pada dasarnya ingin menanamkan hakikat apresiasi itu pada tingkat yang paling dasar. Itulah sebabnya materi pelajaran kadang-kadang diambil dari puisi atau prosa yang isinya sejalan dengan perkembangan jiwanya.Sastra diajarkan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai sekolah menengah atas. Materi pengajaran sastra untuk ketiga jenjang pendidikan tersebut di atas tersusun secara lengkap dan utuh.
Apresiasi adalah pengenalan terhadap tingkatan pada nilai-nilai yang lebih tinggi. Artinya, seseorang yang memiliki apresiasi terhadap sesuatu, mampu menetapkan dengan tepat bahwa sesuatu itu baik, kurang baik, atau buruk. Meningkatkan apresiasi siswa berarti meningkatkan kemampuan memahami, menikmati, dan menilai suatu karya sastra. Dengan kata lain, kemampuan berapresiasi, dapat pula ditafsirkan sebagai tingkat kepekaan siswa terhadap nilai-nilai karya satra.
Teknik Pengajaran Kebahasaan
Pengajaran kebahasaan adalah salah satu aspek pengajaran bahasa Indonesia di SD yang meliputi: struktur kata, bentuk-bentuk kata, cara pembentukan kata, susunan kata dalam kelompok kata dalam klausa dan dalam kalimat, serta seluk beluk dalam kalimat. Tujuan pengajaran kebahasaan adalah agar siswa memahami struktur dasar bahasa serta dapat menerapkannya dalam kalimat baik secara lisan maupun tulisan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengajaran kebahasaan tidak boleh berhenti pada pemahaman teori atau struktur dasar bahasa saja tetapi harus dilanjutkan sampai keterampilan menggunakan struktur itu. Mereka harus diberi kesempatan luas bagaimana menggunakan bahasa. Siswa belajar memahami makna kata serta penggunaannya dalam kalimat. Jadi siswa diberi kesempatan mempelajari aturan bahasa dan penerapan aturan itu dalam kegiatanberbahasa.

2.3 Penerapan Teori Behavioristik Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Bagi Anak Sekolah Dasar
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Oleh karena teori behavioristik ini lebih menekankan pada hasil yang dicapai dan proses yang dilakukan. Maka proses untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia bagi anak sekolah dasar itu sendiri lebih cocok pada metode pembelajaran yang lebih mementingkan hasil yang dicapai. Seperti post test dan evaluasi hasil belajar yang bisa juga disebut ulangan atau ujian. Selain itu juga dengan wawancara juga mampu mengetahui hasil berbicara siswa. Namun juga tidak dapat menghilangkan pendekatan, metode, serta teknik pengajaran guru terhadap murid. Karena hal tersebut sangat diperlukan untuk memberi pengetahuan atau stimulus pada murid unruk belajar dan mendapat ilmu pengathuan yang baru dan murid juga akan berusaha belajar dengan sendirinya.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah hasil dari ujian itu sendiri harus memenuhi aspek kelulusan murid ata peserta didik, antara lain berbicara, menyimak, menulis, membaca, dan kebahasaannya. Menurut penulis yang lebih cocok teknik pengajaran dalam bahasa Indonesia anak sekolah dasar itu adalah dengan teknik pengajaran menulis. Karena kebanyakan pada era masa kini dalam proses ujian adalah teknik menulis.
Adapun uraian teknik pengajaran menulis antara lain dijelaskan dibawah ini.
Di sekolah pihak yang paling berkompeten menumbuhkan keterampilan menulis ini adalah guru bahasa Indonesia. Mereka harus melatih anak didiknya agar terampil menulis. Lebih-lebih guru bahasa Indonesia di SD harus dapat menumbuhkan keterampilan menulis ini pada setiap siswanya.
Menulis berarti mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa itu akan dimengerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti.
Keterampilan mengekspresikan pikiran melalui bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti itulah yang harus dilatih oleh guru bahasa Indonesia pada siswanya. Hal ini bisa dicapai melalui latihan menulis terarah dan berencana. Misalnya latihan menulis dalam bentuk yang paling sederhana, biasa, dan sukar. Berikut ini disajikan beberapa contoh dalam bentuk kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran menulis di Sekolah Dasar.

a.    Teknik Menggambar Garis
Menggambar garis digunakan dalam pengajaran pra-menulis. Tujuannya melatih otot-otot tangan agar terbiasa melakukan gerak dalam menulis. Garis-garis yang digambar adalah garis lurus, melengkung, membulat, dsb.
Contoh kegiatan guru dan siswa pada saat menggambar garis tegak lurus:
Guru : Anak-anak lihat baik-baik garis berikut!
Siswa : (Melihat cara membuat garis dan gambar garis).
Guru : Sekarang anak-anak meniru Ibu menggambar garis lurus. Masing-masing menggambar di udara atau di awang-awang dahulu. Lihat baik-baik gerak tangan Ibu.
Siswa : Mengikuti dan meniru gerak tangan dari atas ke bawah membentuk garis lurus.
Guru : Sekarang lakukan hal tadi dalam bukumu masing-masing.
Siswa : (Menggambar garis-garis tegak di bukunya masing-masing).
Guru : (Berkeliling kelas memperhatikan siswa menggambar garis serta menolong siswa yang mengalami kesulitan).
b.    Teknik Menyalin Huruf
Mengarahkan siswa agar dapat menyalin huruf harus berencana, terarah, selangkah demi selangkah. Mula-mula guru memperlihatkan gambar huruf yang cukup besar. Gambar itu dapat ditempelkan pada papan tulis. Atau setiap siswa mendapat kartu huruf tersebut.
Setelah mengamati gambar huruf siswa mengikuti garis-garis gambar dengan ujung pensil atau ujung jarinya. Petunjuk garis mana yang pertama diikuti dan arahnya ke mana sangat membantu siswa. Langkah berikutnya menghubungkan titik-titik pada gambar huruf yang sebagian garisnya dihilangkan. Setelah langkah pertama dan kedua dilakukan berulang-ulang siswa siap dan dapat menyalin huruf itu secara utuh. Begitu juga dengan huruf-huruf lainnya yang sama dilakukan oleh siswa. Akhirnya siswa dapat menuliskan huruf.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Oleh karena teori behavioristik ini lebih menekankan pada hasil yang dicapai dan proses yang dilakukan. Maka proses untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia bagi anak sekolah dasar itu sendiri lebih cocok pada metode pembelajaran yang lebih mementingkan hasil yang dicapai. Seperti post test dan evaluasi hasil belajar yang bisa juga disebut ulangan atau ujian. Selain itu yang harus diperhatikan adalah hasil dari ujian itu sendiri harus memenuhi aspek kelulusan murid ata peserta didik, antara lain berbicara, menyimak, menulis, membaca, dan kebahasaannya. Menurut penulis yang lebih cocok teknik pengajaran dalam bahasa Indonesia anak sekolah dasar itu adalah dengan teknik pengajaran menulis. Karena kebanyakan pada era masa kini dalam proses ujian adalah teknik menulis.



3.2 Saran
1. pembaca harus lebih banyak belajar tentang teori behavioristic, karena teri belajar behavioristic merupakan teori belajar yang sangat berpengaruh hingga masa kini dalam dunia pembelajaran.
2. Guru harus lebih bisa memberikan motivasi dan stimulus yang baik, agar siswa atau peserta didik mampu menyerap ilmu pengetahuan dengan maksimal di samping dengan usaha siswa itu sendiri.






DAFTAR PUSTAKA

Nurhadi, Agus Gerrad Senduk. 2003.Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Surabaya: Universitas Negeri Malang.
Purwanto, Ngalim dan Djenian Alim. 1997. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Bandung: PT Rosda Jaya Putra,
http//google.com/teoribehavioristik, diakses, 15 Oktober 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, diakses, 15 Oktober 2010
http://madziatul.blogspot.com/2009/07/teori-belajar-behavioristik-dan.html, diakses,
15 Oktober 2010