Jumat, 12 April 2013

Cerita Dari Tapal Batas : sebuah arti dari masyarakat perbatasan





Sebuah cerita harus dikatakan
Sebuah cerita harus di dengarkan
Sebuah cerita harus dituliskan

Sajak pembuka sebuah film dokumenter berjudul “Cerita dari Tapal Batas” membuat saya tersentuh, begitu menggelorakan jiwa saya ketika menontonnya. Sebuah karya anak bangsa yang wajib di Apresiasikan dengan tinggi, wajib dicermati dengan seksama, wajib dihayati dengan sempurna.
Film karya Sutradara Wisnu Adi yang baru 5 menit yang lalu selesai saya tonton sepertinya sudah menggeser film yang menjadi “my best favorite film”. Ya tentu saja, selama ini saya hanya mencari hiburan semata dari menonton film. Tidak membuat saya berpikir, merasakan dan membangkitkan semangat diri saya akan hal yang urgent dilakukan oleh kita-sebagai orang Indonesia yang menjunjung persaudaraan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika- dari Film dokumenter ini.
Cerita dari Tapal Batas, cerita dari masyarakat Indonesia di perbatasan...
Entikong, sebuah wilayah di paling utara Indonesia yang seakan tak bertuan, secara yuridis masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun hanya sampai batas yuridis saja wilayahnya diakui. kenyataannya? Pemerintah sama sekali tak menjamah wilayah terpelosok tersebut.
Sungguh miris melihat secara langsung potret wilayah perbatasan kita, wilayah perbatasan Indonesia yang diagung-agungkan sebagai beranda negara, tak lebih dari sekedar sebuah julukan.
Awal film ini menceritakan seorang Martini, guru sekolah dasar di kabupaten Badat Baru, kecamatan Entikong yang sehari-harinya mengajar demi sebuah harapan supaya anak-anak memiliki ilmu yang nantinya kelak akan mengantarkan  ke Cita-cita mereka. Mungkin Sangat sulit bagi masyarakat sekarang khususnya yang tinggal di perkotaan bisa mengharapkan anak-anak memiliki cita-cita dengan tinggal di tempat dengan pendidikan jauh dari standar seperti di kebupaten Bandat Baru ini, namun mereka, anak-anak tak pernah kehilangan semangat untuk belajar walaupun minim prasarana.
Sangat salut dengan perjuangan seorang guru bernama Martini yang masih mau mengabdikan diri pada bangsa dengan menularkan ilmu yang ia punya kepada anak-anak di kecamatan Bandat Baru, Entikong. Semata-mata agar anak-anak mendapat pendidikan “saya ingin menunjukan kepada mereka (masyarakat) bahwasanya pemerintah itu masih memperdulikan mereka”.
Martini bekerja sendiri pada sekolah, merangkap sebagai kepala sekolah, guru, administrator dan pesuruh secara bersamaan dengan jumlah murid dari kelas 1 hingga kelas 6 sekitar 100 murid, memegang kendali atas semuanya setiap harinya.
Sarana pendidikan disana sangat miris kalau tidak bisa dikatakan mengenaskan, satu bangunan memanjang dibuat sebagai ruang kelas yang terbagi menjadi tiga ruangan. Papan tulis yang sudah patah, lantai kayu berlubang, meja kursi jauh dari kapasitas dan kenyamanan. Seolah tak masalah bagi Martini, ia hanya berharap muridnya mampu menyerap pelajaran dengan baik.
Wawasan kebangsaan menjadi suatu pelajaran wajib setiap harinya, semata-mata untuk mengingatkan kembali murid-muridnya mengenai identitas mereka, Warga Negara Indonesia yang berbendera Merah Putih, berlagu Indonesia Raya dan bermata uang Rupiah.
“Sejauh mana pemerintah mengerti pendidikan salah satu jalan untuk merubah pemikiran bahwa mereka adalah Indonesia, dan mengerti di batas mana mereka berdiri sekarang”
Namun seolah tak bisa dielakkan, kemiskinan menjadi faktor utama yang menghambat pendidikan anak-anak di Bandat Baru, mereka rata-rata bersekolah hanya sampai SD saja, setelahnya bekerja mencari kayu atau bercocok tanam untuk mencari pundi-pundi uang. SMP memang tidak ada di Bandat Baru, hanya ada di kecamatan Entikong yang memakan waktu 12 jam untuk perjalanan. Akhirnya masyarakatpun tak hanya miskin harta, namun juga miskin akan harapan. Harapan untuk sekolah.
Realita tak pernah berbicara, namun selalu berwujud bukti...
Masyarakat cenderung apatis dengan pemerintahan sendiri, memang bukan salah mereka karena selama ini memang pemerintah yang lebih dulu bersikap apatis terhadap masyarakat Entikong. Tak ada bantuan dari pemerintah yang masuk sampai ke wilayah ini, bahkan listrik yang menjadi kebutuhan vital belum pernah masuk ke daerah ini. Alhasil masyarakat tak lagi menganggap ada pemerintah, mereka hanya menggantungkan pada kemampuan mereka, melakukan sebisa mereka . Sungguh miris...
Kusnadi salah satu tokoh yang masih rela mengorbankan diri menjadi mantri kesehatan di Kabupaten Bandat Baru. Ya, hanya dia sattu-satunya.. setiap harinya kusnadi berjalan melewati sungai mendaki gunung untuk memberikan obat bagi masyarakat yang sakit. Hal tersebut dilakukannya setiap hari semata-mata agar masyarakat bisa memperoleh fasilitas kesehatan dengan memadai. Sejauh yang kusnadi mampu.
Bicara Nasionalisme, mereka telah melakukannya lewat kerja dengan cara mereka sendiri.

di Entikong, simbol-simbol negara jadi tak ada artinya
pun arti negara hanya sebuah ungkapan saja...
Malaysia yang menjadi negara terdekat mereka seakan menjadi harapan baru bagi masyarakat Entikong untuk mencari kesejahteraan hidup. Mereka berbondong-bondong mencari lapangan pekerjaan ke Malaysia dengan pemerintah mereka yang menyambut dengan hangat, tak jarang banyak yang berganti Kewarganegaraan Malaysia karena sudah nyaman dengan kehidupan yang menjanjikan.
Jauhnya kekuasaan dan dekatnya kemiskinan membuat mereka tak ada pilihan
Berganti menjadi WN Malaysia bukan hal yang memberatkan lagi bagi masyarakat Entikong, mereka mengerti batas negara hanya sebagai ungkapan saja itupun sosial, budaya bahkan ekonomi jauh melebihi dari arti yang sebenarnya.
Siapa sudi hidup dalam kemiskinan di daerah terpencil ?
Ya, memang masalah perbatasan ini seharusnya sudah dari lama diangkat, agar mereka-mereka yang tengah duduk manis di kursi kekuasaan melihat dengan jelas potret masyarakatnya yang tak pernah mereka sentuh, yang lebih memilih untuk menggantungkan hidup pada negara lain.
Masihkan pemerintah peduli? Masihkah pemerintah mempunyai malu? Ini kita, sebuah bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”

Ironis,Mengajar dengan sarana yang jauh dari standar

Badat Baru,desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia

"Saya ingin anak-anak punya ilmu ! "

Rupiah ? saya tidak mengenalnya

Martini,Sosok teladan seorang guru

Bendera hanya sebuah lambang di perbatasan


ini yang namanya IRONIS

ada yang sudi?

salah siapa?



Tidak ada komentar: