Wajah Talang (60), warga Long Bawan, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, tak terlihat mengeluh ketika kami mengobrol mengenai nasib daerah perbatasan yang terisolasi. ”Ah, sejak kecil kami dipelihara Malaysia,” kata Talang tersenyum.
Seperti umumnya daerah perbatasan di Kalimantan sepanjang 2.004 kilometer, penduduk Long Bawan sangat bergantung pada negeri tetangga itu. Namun, di balik senyuman Talang, sesungguhnya tersimpan setumpuk ironi. Betapa tidak, Indonesia telah merdeka 67 tahun, tetapi penduduk Long Bawan tetap saja terisolasi dari negerinya sendiri.
Akses darat ke ibu kota kabupaten saja belum ada, apalagi ke kota-kota lain. Jalan darat yang dijanjikan antara Malinau dan Long Bawan rasanya tak mudah, mengingat harus memotong taman nasional di kelebatan hutan tropis Kalimantan.
Satu-satunya akses darat bagi penduduk Long Bawan adalah menuju Kampung Ba’kelalan di Sarawak, Malaysia. Meski berlumpur, terutama pada musim hujan, jalur Long Bawan-Ba’kelalan itu cukup ramai karena merupakan urat nadi perekonomian. Penduduk Long Bawan membeli barang-barang kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, semen, dan alat berat di Ba’kelalan. Setiap hari, puluhan hingga ratusan ojek hilir mudik di jalur itu sebagai moda transportasi pengangkut bahan pokok. Maka, sudah lumrah aneka makanan kemasan dan minuman kaleng di warung-warung di Long Bawan merupakan produk Malaysia.
”Harga bensin di sini Rp 10.000 per liter. Itu dibeli dari Ba’kelalan. Kalau bensin dibawa dari Tarakan, dijual dengan harga Rp 20.000 pun masih rugi,” kata Benyamin Musa, warga Long Bawan lain yang berprofesi sebagai guru SMAN 1 Krayan. ”Harga gula dari Malaysia Rp 12.000 per kilogram. Kalau ambil dari Tarakan, dijual di sini Rp 20.000 juga pasti rugi,” timpal Talang.
Contoh lain harga semen. Apabila didatangkan dari Tarakan, harga semen di Long Bawan setidaknya Rp 750.000 per zak. ”Kalau harganya Rp 600.000, ya, masih rugi,” kata Talang. Bandingkan dengan semen yang diimpor dari Malaysia, harganya hanya Rp 250.000 per zak.
Bagi penduduk Krayan, Ba’kelalan juga menjadi pasar bagi komoditas pertanian mereka, semisal beras adan yang khas dan garam gunung. Menjual hasil bumi ke Malaysia lebih menguntungkan ketimbang menjual ke pasar negeri sendiri. Misalnya, harga beras adan dijual Rp 100.000 per 15 kilogram di Ba’kelalan. Kalau dipasarkan ke Nunukan, untuk ongkos angkut saja Rp 15.000 per kilogram.
Ini tak lepas karena akses ke Krayan yang sangat sulit. Satu-satunya akses dari negeri sendiri melewati udara. Namun, itu pun terbatas karena daya angkut pesawat sejenis Cessna Grand Caravan cuma 12-14 penumpang. Tak mengherankan, penduduk Krayan pun harus antre untuk menggunakan pesawat. ”Pesan hari ini, biasanya untuk keberangkatan bulan depan,” kata Talang.
Karena subsidi, harga tiket dari Tarakan Rp 210.000, dari Malinau Rp 150.000, dan dari Nunukan Rp 280.000. ”Kami kalau ke luar negeri naik ojek, tetapi ke negeri sendiri malah naik pesawat,” ujar Talang yang disambut gelak tawa dua teman ngobrol-nya, Marten Yusak dan Benyamin Musa.
Tawa getir penduduk Long Bawan itu semestinya yang terakhir. Apalagi, Senin (28/5), dicanangkan Operasi Kartika Jaya yang merupakan bagian dari percepatan pembangunan di perbatasan. Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang juga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo pun terbang ke Long Bawan. Itulah kunjungan pejabat setingkat menteri ke Long Bawan untuk pertama kali.
Anggaran Rp 780 miliar
Pemerintah memang telah menyadari bahwa daerah perbatasan bukan lagi halaman belakang negeri ini yang tak pernah dilirik. ”Jangan lagi perbatasan menjadi belakang rumah kita, tetapi menjadi beranda depan rumah kita,” kata Gamawan. Pemerintah pun menyiapkan dana hampir Rp 780 miliar pada 2012 untuk mempercepat pembangunan di perbatasan Kaltim. Ada 17 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam proyek tersebut.
Porsi terbesar adalah proyek Pemprov Kaltim sekitar Rp 400 miliar, terutama untuk meningkatkan tiga bandara, yaitu Bandara Long Bawan, Bandara Long Ampung (Kabupaten Malinau), dan Bandara Datah Dawai (Kabupaten Kutai Barat), yang dikerjakan Zeni TNI AD. Porsi besar lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang ditangani Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 181,9 miliar.
Sehari sebelumnya, Gamawan mengunjungi Pulau Sebatik bersama Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Hermanto Dardak, dan Awang Faroek. Di depan masyarakat, mereka memberi janji manis, termasuk peluang untuk meningkatkan Pulau Sebatik menjadi kota agar bisa menyaingi gemerlap kota Tawau di Malaysia.
Gubernur Awang Faroek pun berjanji, kegiatan di perbatasan dilakukan berimbang antara kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment). Mengutip pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gamawan mengingatkan tiga hal yang mesti dimaksimalkan, yaitu pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan energi.
Janji telah diumbar, tetapi realitas di perbatasan selalu menyisakan kisah pilu. Misalnya, di pos polisi Lembudud, sekitar sejam menggunakan sepeda motor dari Long Bawan, Briptu Rudy SE Baru menjaga ”pintu depan” negeri ini sendirian, persis di garis batas dengan Malaysia. Dari Berbagai Sumber
Seperti umumnya daerah perbatasan di Kalimantan sepanjang 2.004 kilometer, penduduk Long Bawan sangat bergantung pada negeri tetangga itu. Namun, di balik senyuman Talang, sesungguhnya tersimpan setumpuk ironi. Betapa tidak, Indonesia telah merdeka 67 tahun, tetapi penduduk Long Bawan tetap saja terisolasi dari negerinya sendiri.
Akses darat ke ibu kota kabupaten saja belum ada, apalagi ke kota-kota lain. Jalan darat yang dijanjikan antara Malinau dan Long Bawan rasanya tak mudah, mengingat harus memotong taman nasional di kelebatan hutan tropis Kalimantan.
Satu-satunya akses darat bagi penduduk Long Bawan adalah menuju Kampung Ba’kelalan di Sarawak, Malaysia. Meski berlumpur, terutama pada musim hujan, jalur Long Bawan-Ba’kelalan itu cukup ramai karena merupakan urat nadi perekonomian. Penduduk Long Bawan membeli barang-barang kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, semen, dan alat berat di Ba’kelalan. Setiap hari, puluhan hingga ratusan ojek hilir mudik di jalur itu sebagai moda transportasi pengangkut bahan pokok. Maka, sudah lumrah aneka makanan kemasan dan minuman kaleng di warung-warung di Long Bawan merupakan produk Malaysia.
”Harga bensin di sini Rp 10.000 per liter. Itu dibeli dari Ba’kelalan. Kalau bensin dibawa dari Tarakan, dijual dengan harga Rp 20.000 pun masih rugi,” kata Benyamin Musa, warga Long Bawan lain yang berprofesi sebagai guru SMAN 1 Krayan. ”Harga gula dari Malaysia Rp 12.000 per kilogram. Kalau ambil dari Tarakan, dijual di sini Rp 20.000 juga pasti rugi,” timpal Talang.
Contoh lain harga semen. Apabila didatangkan dari Tarakan, harga semen di Long Bawan setidaknya Rp 750.000 per zak. ”Kalau harganya Rp 600.000, ya, masih rugi,” kata Talang. Bandingkan dengan semen yang diimpor dari Malaysia, harganya hanya Rp 250.000 per zak.
Bagi penduduk Krayan, Ba’kelalan juga menjadi pasar bagi komoditas pertanian mereka, semisal beras adan yang khas dan garam gunung. Menjual hasil bumi ke Malaysia lebih menguntungkan ketimbang menjual ke pasar negeri sendiri. Misalnya, harga beras adan dijual Rp 100.000 per 15 kilogram di Ba’kelalan. Kalau dipasarkan ke Nunukan, untuk ongkos angkut saja Rp 15.000 per kilogram.
Ini tak lepas karena akses ke Krayan yang sangat sulit. Satu-satunya akses dari negeri sendiri melewati udara. Namun, itu pun terbatas karena daya angkut pesawat sejenis Cessna Grand Caravan cuma 12-14 penumpang. Tak mengherankan, penduduk Krayan pun harus antre untuk menggunakan pesawat. ”Pesan hari ini, biasanya untuk keberangkatan bulan depan,” kata Talang.
Karena subsidi, harga tiket dari Tarakan Rp 210.000, dari Malinau Rp 150.000, dan dari Nunukan Rp 280.000. ”Kami kalau ke luar negeri naik ojek, tetapi ke negeri sendiri malah naik pesawat,” ujar Talang yang disambut gelak tawa dua teman ngobrol-nya, Marten Yusak dan Benyamin Musa.
Tawa getir penduduk Long Bawan itu semestinya yang terakhir. Apalagi, Senin (28/5), dicanangkan Operasi Kartika Jaya yang merupakan bagian dari percepatan pembangunan di perbatasan. Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang juga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo pun terbang ke Long Bawan. Itulah kunjungan pejabat setingkat menteri ke Long Bawan untuk pertama kali.
Anggaran Rp 780 miliar
Pemerintah memang telah menyadari bahwa daerah perbatasan bukan lagi halaman belakang negeri ini yang tak pernah dilirik. ”Jangan lagi perbatasan menjadi belakang rumah kita, tetapi menjadi beranda depan rumah kita,” kata Gamawan. Pemerintah pun menyiapkan dana hampir Rp 780 miliar pada 2012 untuk mempercepat pembangunan di perbatasan Kaltim. Ada 17 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam proyek tersebut.
Porsi terbesar adalah proyek Pemprov Kaltim sekitar Rp 400 miliar, terutama untuk meningkatkan tiga bandara, yaitu Bandara Long Bawan, Bandara Long Ampung (Kabupaten Malinau), dan Bandara Datah Dawai (Kabupaten Kutai Barat), yang dikerjakan Zeni TNI AD. Porsi besar lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang ditangani Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 181,9 miliar.
Sehari sebelumnya, Gamawan mengunjungi Pulau Sebatik bersama Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Hermanto Dardak, dan Awang Faroek. Di depan masyarakat, mereka memberi janji manis, termasuk peluang untuk meningkatkan Pulau Sebatik menjadi kota agar bisa menyaingi gemerlap kota Tawau di Malaysia.
Gubernur Awang Faroek pun berjanji, kegiatan di perbatasan dilakukan berimbang antara kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment). Mengutip pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gamawan mengingatkan tiga hal yang mesti dimaksimalkan, yaitu pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan energi.
Janji telah diumbar, tetapi realitas di perbatasan selalu menyisakan kisah pilu. Misalnya, di pos polisi Lembudud, sekitar sejam menggunakan sepeda motor dari Long Bawan, Briptu Rudy SE Baru menjaga ”pintu depan” negeri ini sendirian, persis di garis batas dengan Malaysia. Dari Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar