Kamis, 15 Desember 2011

Celoteh Siswa Sebuah Sekolah Pedalaman


sajak Irwan Sandza

/Celoteh tentang Kelas Setengah Spasi/
Kelasku setengah spasi. Tak pernah bertitik selalu berkoma. Berdinding lumut pilu.
Kelasku beratap angan hampa. Tak pernah berwujud. Menguap di bilik jendela tanpa kaca.
Kelasku beralas karpet bumi. Tempat bermukim bakteri. Yang menggerogoti pangkal ulu isi kepalaku.
Hingga aku tak pantas bermimpi.

/Celoteh tentang Guru Ber-Ibu Alam/
Guruku tidak lahir dari bangku pengetahuan. Berotak kumpulan rumus canggih dan kritis. Yang akan mengaduk silsilahku.
Guruku terlahir dari persilangan dua dimensi. Ibunya bernama alam. Ayahnya bernama hati nurani.
Guruku menopang ragaku. Menuntun tanganku mencakar awan. Namun sayang, guruku tak bisa terbang.
Hingga mimpiku sebatas lambaian tangan.

/Celoteh tentang Sekerat Mimpi Menjadi Guru/
Mimpiku menjadi guru pendonor ilmu. Akan aku transfusi setetes bara. Agar kelak akan lahir anak bangsa berkulit baja.
Mimpiku menjadi guru pemasak ilmu. Akan aku suguhkan sepiring angka. Agar kelak lahir pahlawan bersenjata intelektual.
Mimpiku menjadi guru penyulam ilmu. Akan aku untai sebait cerita. Tentang: “Sekolahku yang akan bermetamorfosis menjadi istana penjajah.”

Sumedang, Mei 2011










(telah ditampilkan dalam Bedah Puisi WR edisi 16 November 2011)

Jumat, 09 Desember 2011

THE PRESENT


Tiga Cara Untuk Memanfaatkan Masa Sekarang Hari Ini

BERADA PADA MASA SEKARANG

Jika Anda ingin lebih bahagia dan lebih sukses
Fokuslah pada apa yang ada pada Masa Sekarang
Responlah pada hal yang penting sekarang

BELAJAR DARI MASA LALU

Jika Anda ingin menjadikan Masa Sekarang lebih baik daripada Masa Lalu
Lihatlah apa yang telah terjadi pada Masa Lalu
Belajarlah sesuatu yang berharga dari hal tersebut
Lakukan hal yang berbeda pada Masa Sekarang

RENCANAKAN MASA DEPAN

Jika Anda ingin Masa Depan yang lebih baik daripada Masa Sekarang
Lihatlah Masa Depan seperti apa yang Anda inginkan
Buatlah rencana untuk mewujudkannya
Tindak lanjuti rencana itu pada Masa Sekarang

(dikutip dari Spencer “The Present” Johnson)

Jumat, 25 November 2011

Sejarah Hari Guru / PGRI


Sejarah Hari Guru/PGRI di Indonesia


Sejarah Hari Guru Indonesia 25 November 1945

PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.
Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”
Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Namun, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya , PGI kembali berkiprah. Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Repub-lik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.
Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan  yakni Mempertahan-kan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, dan membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Harapan Besar PGRI

Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.
Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Akan tetapi di Indonesia, Hari Guru bukan merupakan hari libur nasional sehingga sekolah, instansi pemerintah, dan perusahaan swasta tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hari Guru lebih banyak diperingati di sekolah-sekolah dengan cara mengadakan berbagai acara dan kegiatan sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih terhadap guru di Indonesia.
Tentu ada sebuah harapan besar di hari ulang tahun guru ini. Harapan besar itu adalah bersatunya para pendidik dalam satu wadah organisasi yang bernama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Suka atau tidak suka PGRI adalah salah satu organisasi pendidik terbesar yang diakui pemerintah, dan hari kelahiran PGRI kita peringati sebagai hari guru.
Mudah-mudahan para guru selalu mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. “Tidak ada guru, tidak ada pendidikan, tidak ada pendidikan mustahil ada proses pembangunan”. Hanya dengan sentuhan guru yang profesional, bermartabat, dan ditauladani, maka anak-anak bangsa akan menerima proses pembelajaran yang mendidik dan bermutu. Ada sebuah kalimat hikmah, “man yazra’ wa huwa yahsud”, artinya siapa yang menanam, dialah yang akan memanen. Jika kita menginginkan kebaikan bagi diri kita, maka mulailah dari diri kita untuk menebarkan kebaikan kepada orang lain. Dalam makna lain siapa yang menanam padi, dia akan memanen padi pula. Bahkan rumput pun akan tumbuh disekitar padi itu. Namun, siapa yang menanam rumput, jangan harap ada padi yang bisa tumbuh.
Oleh karena itu guru harus meningkat-kan customer service bagi anak didiknya. Karena jasa-jasa guru akan terpatri dan guru akan selalu hidup dalam setiap kenangan dan langkah kehidupan anak didiknya, sebagaimana sering dilantunkan peserta didik dalam lagu Hymne Guru.
Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Selamat Hari Guru Nasional dan Sukses untuk kita semua.
*Dikutip dari:Ganesha

Selasa, 18 Oktober 2011

IMPIANKU MENJADI GURU INSPIRATIF YANG DICINTAI MURID



Tidak terasa 12 tahun sudah saya menjadi guru. Menjadi guru itu gampang-gampang susah. Mengampu pelajaran tertentu yang telah ditekuni sekian lama dan terus berulang tentu bukanlah pekerjaan sulit. Namun menghadapi murid yang selalu berganti tiap tahun, memiliki karakter berbeda, dan tingkat penyerapan terhadap materi pelajaran yang tak sama, pasti membutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Guru yang tak sabar dan kurang telaten akan terkurung oleh frustasi. Profesi mulia sebagai guru terasa sebagai sebuah beban yang terus menghimpit. Bisa-bisa guru menjadi stres. Padahal guru dalam berbagai sisi menjadi ukuran nilai yang darinya murid bercermin untuk merangkai makna keteladanan.
Saya teringat dengan kalimat sakti dari Charlie Ward bahwa Guru yang biasa-biasa saja memberi tahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang bagus menunjukkan bagaimana caranya. Tetapi guru yang luar biasa menginspirasi murid-muridnya. Saya ingin mendapatkan level tertingi sebagai guru yaitu guru inspiratif. Angan saya untuk menjadi Guru inspiratif memang tidak dengan sendirinya muncul. Sebab, institusi pendidikan pencetak guru pun tak pernah membekali kemampuan seperti itu. Karenanya, guru inspiratif harus dibentuk. Salah satu faktor pemantiknya adalah menjaga komitmen untuk terus memberi spirit kreatif-inspiratif kepada para siswa. Dengan spirit ini, guru dapat menciptakan manusia unggul yang penuh dengan kreativitas dan kemampuan kompetitif.
Di sisi lain, dari unsur internal menjadi guru inspiratif harus memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya, menyukai tantangan dengan terus belajar. Perubahan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi begitu cepat semestinya segera direspons guru. Dengan terus belajar, guru inspiratif senantiasa memperbarui khazanah pengetahuannya. Dengan cara inilah ia memiliki kapabilitas dan kompetensi, baik secara personal maupun sosial yang mumpuni.
Hasrat terus belajar, kapabilitas, dan kompetensi personal-sosial masih perlu didukung dengan kreativitas guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang inspiratif. Jika cara mengajar dan apa yang kita ajarkan kepada murid-murid kita hari ini sama saja dengan yang kemarin, maka kita merampas masa depan anak didik kita tersebut. Dalam iklim demikian, guru dapat menarik minat siswa untuk senang terhadap pelajaran. Rasa senang inilah yang menjadi modal penting dalam diri siswa untuk menekuni dan menggeluti pelajaran secara lebih optimal. Selain itu, rasa senang juga akan menghilangkan kejenuhan dan kemalasan sehingga mereka akan bergairah dan senantiasa penuh semangat dalam belajar.
Saya sepakat orang yang bisa membuat semua hal yang sulit menjadi mudah dipahami, yang rumit menjadi mudah dimengerti, atau atau yang sukar menjadi mudah dilakukan, itulah pendidik yang sejati. Siswa tidak peduli betapa pintarnya seorang guru, yang mereka pedulikan adalah apakah guru tersebut juga peduli terhadap dirinya. Indikasi bahwa seseorang bisa disebut guru (pendidik) yang hebat bukanlah pada kemampuannya mengajarkan murid untuk pintar menjawab semua jenis pertanyaan, tetapi pada kemampuannya menginspirasi murid agar mengajukan pertanyaan yang dia sendirinya kesulitan untuk menjawabnya. Dengan kata lain, bila guru mengajar agar murid bisa sama pintarnya dengan dia, itu biasa saja. Guru yang bagus adalah yang bisa mendidik muridnya agar jauh lebih pintar dan lebih kritis daripada dirinya sendiri. Adalah suatu kemampuan luar biasa dalam diri guru bila ia mampu menggugah rasa cinta anak didiknya akan daya cipta kreatif dan ilmu pengetahuan.
Semoga saya tetap menjadi guru yang menginspirasi muridnya dan tetap dicintai muridnya. Terima kasih murid-muridku atas kado ulang tahun yang kalian berikan
.
sumber ::  ardansirodjuddin.wordpress.com

Selasa, 20 September 2011

Peran dan Tugas Kepala Sekolah


Dengan berjalan otonomi sekolah, maka peran seorang pimpinan dalam suatu organisasi akan semakin dominan, sehingga seorang pimpinan dituntut untuk dapat menggerakkan bawahannya agar mau dan mampu bekerja keras dalam mewujudkan tujuan organisasi, salah satunya dengan komunikasi yang efektif dan efisien.

Berkenaan dengan hal tersebut Masmuh (2008:279), mengatakan bahwa komunikasi kepemimpinan merupakan aktivitas penyampaian pesan, informasi, dan tugas (secara verbal ataupun non verbal) melalui media tertentu yang dilakukan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya dengan tujuan tertentu.

1. Peranan dan Tugas Kepala Sekolah

Kemampuan kepemimpinan kepala sekolah merupakan faktor penentu utama pemberdayaan guru dan peningkatan mutu proses dan produk pembelajaran. Kepala sekolah adalah orang yang bertanggung jawab apakah guru dan staf sekolah dapat bekerja secara optimal. Kultur sekolah dan kultur pembelajaran juga dibangun oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam berinteraksi dengan komunitasnya (Kepala sekolah, guru, dan staf).

Besarnya tanggung jawab kepala sekolah digambarkan oleh Sergiovani, Burlingame, Coombs, dan Thurston (1987) dalam Danim (2003:197), bahwa kepala sekolah untuk jenjang dan jenis sekolah apapun, merupakan orang yang memiliki tanggung jawab utama, yaitu apakah guru dan staf dapat bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Tugas-tugas kepala sekolah bersifat ganda, yang satu sama lain memiliki kaitan erat, baik langsung atau tidak langsung.

Tugas-tugas dimaksud adalah mengkoordinasi, mengarahkan, dan mendukung hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokoknya yang sangat kompleks, yaitu :
1. merumuskan tujuan dan sasaran-sasaran sekolah.
2. mengevaluasi kinerja guru.
3. mengevaluasi kinerja staf sekolah.
4. menata dan menyediakan sumber-sumber organisasi sekolah.
5. membangun dan menciptakan iklim psikologis yang baik antar komunitas sekolah.
6. menjalin hubungan dan ketersentuhan kepedulian terhadap masyarakat.
7. membuat perencanaan bersama staf dan komunitas sekolah.
8. menyusun penjadwalan kerja.
9. mengatur masalah-masalah pembukuan.
10. melakukan negosiasi dengan pihak eksternal.
11. memecahkan konflik antarsesama guru dan antarpihak pada komunitas sekolah.
12. merima referal dari guru-guru dan staf sekolah untuk persoalan-persoalan yang tidak dapat mereka selesaikan.
13. memotivasi guru dan karyawan untuk tampil optimal.
14. melakukan fungsi supervisi pembelajaran atau pembinaan profesional.
15. melaksanakan kegiatan lain yang mendukung operasi sekolah.

2. Peranan dan Tugas Guru 
Undang-undang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1, UUGD No. 14 tahun 2005).

Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok aristektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempuayai kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi seorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat diharapkan membangun dirinya dn membangun bangsa dan negara.

Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Syaiful Bahri Djamarah, menjelaskan bahwa tugas guru tidak hanya sebagai profesi, tetapi juga sebagai kemanusiaan dan kemasyarakatan. (Djamarah, 2000:37).

Tugas guru sebagai profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.

Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah pentingnya. Pada bidng ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral pancasila.

Kamis, 28 Juli 2011

[Nasionalisme di Tapal Batas] Ironi di Antara Simbol dan Realitas




KAPAL Perintis Meliku Nusa tiba di Pulau Miangas, Senin (3/8) pagi. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten Talaud, Melonguane, memakan waktu 30 jam, melewati sudut Samudra Pasifik yang bergelombang 4 meter.

Ini menyambung perjalanan 17 jam Manado-Melonguane. Hanya ada tiga kapal perintis sebagai sarana transportasi masyarakat di pulau-pulau di atas garis 4° Lintang Utara alias paling utara dari republik ini. Tak ada jadwal pasti karena angin dan gelombanglah yang menentukan.

Ombak 2 meter di perairan Miangas membuat kapal enggan bersandar. Biasanya ada perahu motor masyarakat yang menjemput manusia dan perbekalan, mulai dari bangku sekolah, semen, kasur, beras, hingga telur. Namun, sudah tiga jam tak ada tanda-tanda kedatangan perahu motor.

”Tidak ada bensin, solar, dan minyak tanah di Miangas ini. Sudah hampir setahun seperti itu. Penumpang kapal perintis dilarang bawa BBM (bahan bakar minyak), padahal tidak ada cara lain,” kata Agus Tege, Kepala Sekolah Dasar Negeri Miangas.

Pagi itu akhirnya beberapa warga patungan mengumpulkan 8 liter bensin agar keluarga dan perbekalan bisa diangkut ke darat.

Tidak ada perahu motor yang berani mengangkut BBM karena jarak dengan pusat kecamatan tetangga, Nanusa, sekitar 232 kilometer, sementara tinggi gelombang bisa mencapai 7 meter.

Akhirnya, cara satu-satunya adalah dengan menyembunyikan jeriken minyak ke dalam koper, dibungkus dengan baju-baju. Bensin dan minyak tanah ”selundupan” itu dijual dengan harga Rp 15.000 dan Rp 12.000 per liter.

”ABK (anak buah kapal) suka razia. Kalau ketahuan, yah jeriken ditinggal di pelabuhan,” cerita Kepala Desa Miangas DJ Namare.

Sekitar 790 jiwa warga Desa Miangas tinggal di pojok barat daya pulau ini.

Rumah-rumah di Desa Miangas terbagi di dua jalan utama yang sejajar, terbuat dari semen dengan lebar sekitar 4 meter.

Bagian pulau lainnya terdiri dari kebun kelapa dan rawa-rawa. Pulau berpantai pasir putih dengan bebatuan itu dapat ditelusuri dengan berjalan kaki dalam waktu sekitar tiga jam.

Kalau laut sedang todo alias teduh, nelayan yang mengail biasa pulang dengan ikan-ikan cakalang sepanjang 1 meter—yang ”terpaksa” dimakan sendiri atau dibagikan ke tetangga. Tak ada pasar di sana karena memang tak ada pembeli.

Kebutuhan air didapat dari sumur dan menampung hujan, sementara listrik mengalir pukul 17.30-23.30. Kalau mau menghitung jumlah motor, ya bisa dihitung dengan sebelah tangan saja.

Sementara soal bahasa, hanya orang-orang tua yang bisa berbicara Tagalog. Itulah sebabnya, walau bisa menangkap siaran radio Filipina—sementara sinyal RRI tak ada—sebagian warga masyarakat yang mampu lebih suka menonton televisi swasta nasional. Syaratnya harus membeli piringan penerima (antena) seharga Rp 3 juta.

Menjelang Hari Kemerdekaan RI bulan ini, setiap malam selama seminggu, ratusan warga berkumpul di Pendapa Miangas untuk menonton Miangas Idol dengan lagu wajib ”Sepasang Mata Bola”. Sorenya para siswa SD dan SMP setiap hari latihan baris-berbaris sejak pukul 15.00. ”Siaaaappppp...! Bisaaaaa...!” teriak anak-anak ini sekuat-kuatnya setiap diberi instruksi.

Sebagian besar penduduk asli yang terdiri dari 12 rumpun keluarga besar memiliki kebun kelapa. Ukurannya tidak terlalu besar karena telah dibagi-bagi sebagai warisan.

DJ Namere, misalnya, memiliki kebun kebun kelapa seluas 400 meter persegi. Dalam setahun ia bisa empat kali panen yang masing-masing menghasilkan 300 kilogram kopra seharga Rp 750.000. ”Padahal, semua mahal. Kalau angin sedang kencang, tidak ada ikan. Kami makan beras raskin dan telur, sebutir Rp 2.000,” katanya.

Karena tidak ada minyak, rumah-rumah kini memasak dengan tempurung dan kayu kelapa. Nelayan yang merupakan profesi 80 persen penduduk tidak bisa melaut karena angin selatan dan minim BBM.

Sebagian besar warga masyarakat pernah berhubungan dengan masyarakat atau produk Filipina, baik untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka sampai membeli Coca-Cola atau bekerja di perusahaan perikanan di Davao.

Namun, kondisi ekonomi bagian negara tetangga itu tidak dianggap masyarakat Miangas cukup menarik.

”Lebih parah di sana. Dan juga, di sinilah tanah kami,” kata Gusti Papea, tetua adat Mangkubumi I, yang juga menegaskan, pengibaran bendera Filipina tahun 2005 disebabkan emosi warga karena salah satu kerabat mereka tewas di tangan polisi.

Gagasan tentang keindonesia- an dibangun lewat simbol-simbol fisik. Di depan dermaga, Monumen Santiago—pahlawan setempat—yang beratnya lebih dari 1,5 ton sedang dibangun. Monumen yang rencananya akan diresmikan Panglima TNI ini akan menjadi tugu keempat setelah Tugu Perbatasan Negara yang diresmikan tahun 2008, Tugu NKRI yang ditandatangani LB Moerdani, dan sebuah tugu tak selesai yang disebut masyarakat Tugu Megawati.

Masalahnya, pengembangan nasionalisme lewat simbol-simbol monumen, tetapi tanpa dibarengi perhatian terhadap realitas sehari-hari, justru menimbulkan ironi. Dan masyarakat merasakan ironi seperti itu.

Sentuhan pada kebutuhan masyarakat oleh pemerintah mereka rasakan kesannya setengah hati. Lihat saja, selama 2004-2008 ada 10 motor tempel dan 7 perahu motor diberikan pemerintah ke kawasan itu. Namun, semuanya teronggok—sebab tanpa suplai BBM secara rutin ke kepulauan itu. Ironis, atau yang begini sudah jatuh menjadi tragis?

Tiga tangki minyak selalu kosong sejak dibangun setahun lalu. Demikian juga gudang Dolog (Depot Logistik) yang megah tetapi melompong sejak berdiri.

Pasar yang dibangun tanpa melihat budaya barter masyarakat kini tinggal reruntuhan. Satu lagi tambahan ironi....

SMK Kelautan Miangas sudah dibuat beberapa tahun lalu. Ideal sebenarnya, tetapi guru tak ada.

Bahkan, janji lima anggota DPR yang dipidatokan di Pendapa Miangas untuk mengangkat lima anak dan menyekolahkan mereka di Pulau Jawa lenyap ditelan angin.

Koneng Langu (20), yang tahun 2005 keluar dari SMA 1 Beo karena dipilih untuk program ini, bercerita, ia dan empat kawannya akhirnya hanya terkatung-katung tanpa kabar di Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe.

”Kami, masyarakat Miangas, mau percaya sama siapa lagi kalau terus dibohongi pemerintah,” kata Gusti Papea.

Hingga saat kami meninggalkan Miangas, gelombang laut masih tinggi di perairan itu. Kapal-kapal kecil takut masuk, melaut ke sana.... (Agus Susanto)

-- Jean Rizal Layuck dan Edna C Pattisina

Sumber: Kompas

Rabu, 08 Juni 2011

Masih Indonesiakah Mereka?


DALAM berbagai kesempatan, sejarawan Taufik Abdullah kerap mengkritik seruan yang sudah berubah jadi jargon Orde Baru: ”kepribadian nasional” dan ”jati diri bangsa”!

Tanpa disadari, seruan itu membawa alam pikiran kita sebagai bangsa ke saat ketika kerajaan tradisional masih berkuasa, di mana keraton atau pusat kekuasaan adalah segala-galanya. Semakin jauh dari pusat akan semakin tidak penting tempatnya dalam tatanan kenegaraan. Daerah yang jauh adalah wilayah pinggiran, bukan yang utama, dan tak pantas mendapat perhatian.

Merujuk ke alam pikir semacam ini, tidaklah terlalu sulit memahami kenyataan mengapa daerah-daerah perbatasan terus terabaikan. Sebutan wilayah perbatasan, atau istilah pulau-pulau terluar, itu sendiri secara tidak langsung juga semacam representasi alam pikiran kekuasaan yang memperlihatkan hubungan hierarkis: pusat-pinggiran.

Baru tatkala muncul bencana, atau ketika terjadi ketegangan dengan negara tetangga—termasuk saat nilai-nilai nasionalisme mereka mulai dipertanyakan lantaran (meminjam ungkapan Taufik Abdullah) ”rumput di seberang pagar kelihatan lebih hijau”—masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan sedikit mendapat perhatian. Itu pun kerap sebatas wacana.

Tak jarang ”perhatian” itu malah dirasakan sebagai gangguan. Masuknya peran negara dengan mengedepankan pendekatan keamanan justru dianggap menambah kompleksitas persoalan. Apalagi bila kehadiran negara, pertama-tama, atas nama integritas kedaulatan wilayah dan bukan demi kesejahteraan mereka.

”Kalau kami bisa menjual sebutir kelapa setara Rp 5.000 kepada orang-orang di seberang parit sana (baca: Malaysia), sementara di dalam negeri cuma dihargai Rp 2.000, lalu apa urusannya dengan nasionalisme kami?” kata Al Azhar, budayawan dari Riau, terkait adanya tudingan melunturnya rasa kebangsaan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.

Realitas sosial-budaya

Dalam Koentjaraningrat Memorial Lectures VI/2009, beberapa waktu lalu, realitas sosial-budaya di wilayah perbatasan menjadi isu sentral dalam diskusi. Muncul gugatan, sudah pahamkah pengambil kebijakan di negeri ini bahwa persoalan perbatasan memiliki kekhususan dari segi kemasyarakatan dan budaya? Sudahkah perencanaan pembangunan daerah perbatasan menghasilkan kebijakan yang memerhatikan kepentingan warga di sana, yang sudah hidup dengan realitas sosial di mana akses kultural maupun ekonomi dengan negara tetangga adalah suatu keniscayaan?

”Perbatasan bukan wilayah seragam. Juga bukan wilayah kosong,” ujar Dave Lumenta, peneliti pada Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia.

”Apa yang terjadi pada penduduk di wilayah perbatasan Sumatera bisa berbeda dengan pengalaman mereka yang ada di perbatasan Kalimantan, Kepulauan Sangir Talaud dan Miangas, juga yang saat ini bermukim di Papua atau Pulau Timor,” kata Riwanto Tirosudarmo dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menambahkan.

Memang tak bisa dimungkiri, dalam beberapa aspek kondisi wilayah perbatasan di negara tetangga jauh lebih mapan dalam hal pembangunan peradaban dan infrastruktur dasarnya. Sebaliknya, wilayah perbatasan di Indonesia pada umumnya masih tertinggal.

Tidak bisa dihindarkan bila kemudian tradisi pelintas batas marak kembali. Memanfaatkan jalur kultural dan sejarah, yang sudah tercipta jauh sebelum RI dan Malaysia menjadi negara berdaulat, masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan pun mencari penghidupan yang lebih baik ke negeri tetangga.

Di sinilah pentingnya memahami karakteristik suatu kawasan secara utuh, termasuk dari sudut pandang kebudayaan, sehingga tidak lahir pemahaman yang bersifat parsial.

Kepentingan warga sekitar perbatasan yang sudah hidup dengan realitas sosial mereka, di mana akses kultural dan ekonomi dengan negara tetangga adalah suatu keniscayaan, mestinya ikut dipertimbangkan dalam pengelolaan daerah perbatasan.

Karena perbatasan bukanlah wilayah kosong, juga tak seragam, forum Koentjaraningrat Memorial Lectures VI/2009 merekomendasikan agar pengelolaannya memerhatikan aspirasi lokal dan kebijakan negara tetangga.

Bagaimanapun, di balik selubung putih setelah garis merah di atas peta nasional kita, sesungguhnya terhampar daerah perbatasan negara tetangga yang sudah membangun peradaban dan infrastruktur yang mapan.

Ketika nasib mereka terus terpinggirkan dan kita sebagai bangsa masih saja abai, pantaskah rasa kebangsaan dan nasionalisme mereka digugat? Padahal, seperti dikemukakan antropolog Iwan Meulia Pirous, ”Justru mereka adalah pendekar yang menjaga dan berkorban agar Indonesia tetap ada.”(ken)

Sumber: Kompas

Sabtu, 28 Mei 2011

Cerita dari Perbatasan


Judul film: Batas
Genre: Drama
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Penulis skenario: Slamet Rahardjo
Pemain: Marcella Zalianty, Arifin Putra, Jajang C. Noer, Piet Pagau, Marcell Domits, Ardina Rasti, Otig Pakis
Produksi: Keana Production

Tonggak kayu setinggi setengah meter tertancap di dalam hutan. Inilah satu-satunya penanda batas wilayah Indonesia dengan Malaysia. Tak ada pagar kawat ataupun dinding beton. Tonggak kayu itu juga menjadi pembatas antara keterpurukan dan kenyamanan hidup di negeri seberang. Sebuah “surga” yang membuat banyak gadis dan pemuda mengadu nasib di sana meski dengan cara ilegal.


Inilah salah satu persoalan yang diangkat dalam film Batas. Film garapan sutradara Rudi Soedjarwo ini mencoba memotret kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan itu lewat tokoh Jaleswari (Marcella Zalianty). Perempuan muda asal Jakarta yang tengah berduka karena kematian suaminya itu datang ke sana dengan satu misi penting, menyelidiki mandeknya program corporate social responsibility bidang pendidikan perusahaannya. Dengan penuh percaya diri, Jales yang tengah hamil muda optimistis mampu menyelesaikan tugas yang diembannya itu dalam waktu dua minggu.


Adeus (Marcell Domits), satu-satunya guru di sana, mengira Jaleswari adalah guru yang diberi tugas menggantikan guru-guru kiriman sebelumnya yang tidak pernah mampu bertahan lama mengajar di wilayah tersebut. Meskipun awalnya berusaha menjelaskan ihwal apa tugas yang sebenarnya, Jaleswari merasa tidak tega melihat anak-anak perkampungan tersebut. Dengan bantuan Adeus, Jaleswari akhirnya mulai mengajar dan dekat dengan anak-anak kampung tersebut.


Namun, rupanya masalah yang dihadapi Jales tak semudah yang dibayangkan. Dia bukan saja menghadapi ruang kelas yang kosong ditinggal muridnya, tapi juga teror dari sejumlah warga yang merasa terganggu dengan kehadirannya. Otig, lelaki pemilik warung satu-satunya di kampung itu, khawatir kedatangan Jales dapat mengancam usahanya yang lain, yaitu mengirim tenaga kerja wanita ke Malaysia secara ilegal.


Jales sendiri bukan satu-satunya ancaman. Seorang perempuan tak dikenal yang tinggal di rumah yang sama juga jadi batu sandungan Otig. Ubuh (Ardina Rasti), demikian orang-orang kampung menyebutnya, adalah salah satu perempuan korban penipuan Otig dan komplotannya. Dikirim ke Malaysia secara ilegal, Ubuh di sana justru mengalami penyiksaan dan pemerkosaan. Di awal film, kita melihat bagaimana perempuan itu berusaha melepaskan diri dari kejaran sejumlah pria di tengah hutan hingga akhirnya bisa diselamatkan.


Teror yang dilancarkan Otig dan anak buahnya ini--termasuk meletakkan mayat seekor anak kera penuh darah di ranjang Jales--kemudian mengisi struktur cerita sekaligus menumbuhkan beberapa plot cerita tambahan. Di lain sisi, film ini juga menghadirkan bumbu-bumbu romantika kedekatan Jales dan Arif (Arifin Putra), seorang intel di perbatasan yang banyak membantu Jales.


Film ini menyuguhkan persoalan yang berkaitan dengan batas yang tak melulu bicara tentang fisik. Kisah mengenai masyarakat dari dua negara yang masih berasal dari satu rumpun dan suku yang sama, tapi terpisah karena ideologi politik dua negara hanya menjadi latar belakang. Ada kandungan filosofi yang hendak disampaikan.


Batas berbicara tentang daerah perbatasan, yang punya pola kehidupan sendiri, yang berbeda dengan pola pikir orang kota seperti Jales, seperti yang sering dikemukakan panglima Dayak (Piet Pagau). Tentang bagaimana masyarakat suku Dayak, yang tidak terlalu peduli pada batas negara dan memilih hidup dengan kesadaran wawasan budaya Dayak, yang tidak terpisahkan oleh patok-patok kayu.


Film yang penulisan skenarionya digarap Slamet Rahardjo ini juga bercerita tentang konflik batin Jales dan karakter-karakter lain yang hadir dalam film ini. Berdurasi hampir dua jam,Batas menghadirkan banyak konflik yang sayangnya tak tergarap maksimal. Beberapa kaliBatas, yang mengalir dalam ritme yang lamban serta dialog yang cenderung puitis, terlihat kehilangan fokus dalam penceritaannya. Terlepas dari itu semua, Batas menawarkan cerita dalam rangkaian gambar yang indah. Sesuatu yang tampaknya mulai menjadi tren dalam perfilman kita.

NUNUY NURHAYATI

Rabu, 20 April 2011

Sistem Pendidikan Indonesia


Meninjau sistem pendidikan kita perlu diarahkan kepada kompetensi profesional dan kecakapan tertentu membutuhkan kontribusi semua kalangan memperbaharui sistem pendidikan kita menghadapi persaingan global. Pendidik dan pemerintah sebagai pemegang amanah dalam mendidik generasi penerus sesuai kebutuhan masyarakat adalah mempersiapkan mereka memiliki ilmu agama dan teknologi untuk pembangunan sumber daya manusia handal agar mampu mengelola sumber daya alam tepat guna dan tepat sasaran. 

Pendidikan bukan warisan dan bukan tanpa arah, bahwa pendidikan diupayakan mampu melayani kebutuhan masyarakat masa depan perlu re-oreintasi berwawasan ke depan, "Didiklah anak-anakmu sesuai perkembangan masa depan karena mereka akan hidup berbeda dengan zamanmu", al-Hadist.

Sistem pendidikan kita diarahkan kepada empat tinjauan perencanaan strategi program pendidikan nasional. Yaitu;1). pemerataan pendidikan 2). Peningkatan mutu 3). Relevansi dan 4). Efisiensi.

Pertama, Persamaan sarana dan prasarana setiap sekolah negeri. (equal of medium and infrastructure), aksebilitas, dan keadilan. Persamaan, berarti bahwa setiap sekolah negeri sama-sama memperoleh sarana dan prasarana pendidikan setara, tidak membedakan letak geografis, kelengkapan SDM guru sama. Aksebilitas berarti setiap sekolah negeri memiliki akses dalam pendidikan. Kkeadilan mengandung implikasi pemenuhan kebutuhan menurut jenjang sekolah, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan jurusan. Sedangkan Persamaan, Bila semua kriteria sama, maka mereka berhak menghadapi ujian sama setara—yang berlebel SBI harus dengan yang SBI dan seterusnya, baik secara regional atau ujian nasional—dan punya peluang sama dalam berkompetisi memasuki perguan tinggi.

Kedua, Peningkatkan mutu—berpangaruh pada seleksi input—PBM yang efektif ditunjang oleh kualitas SDM guru, sehingga mampu berkompetensi di setiap kecakapan sesuai tuntutan masing-masing mata pelajaran, mampu mengembangkan PBM yang memakai logika, rasio, penalaran—reasoning—argumen. Pengalaman ini dapat dilihat ketika renainsance lahir di Eropah pada abad pertengahan, mereka menemukan kembali jati diri yang hilang dengan cara mengembangkan sistem belajar rasional logika dan penalaran. Seiring dengan tuntututan zaman peningkatan mutu pendidikan terus dicari solusi dengan diterapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) dan kurikulum berbasis kompetensi ( KBK ) yang dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) memberi peluang kepada sekolah, siswa untuk saling berkompetensi dalam PBM mengembangkan silabus sendiri. Pada tahap lanjutan akan sangat logis kalau dikembangkan dengan memakai kurikulum sistem kredit semester setiap pelajaran seperti sistem perkuliahan—yang mampu—tidak musti harus tiga tahun di bangku SLTA. Penerapan sistem belajar seperti ini perlu permisif terlebih dahulu dari departemen pendidikan nasional.

Dalam PBM semacam ini menuntut SDM guru mampu mengelola kelas menguasai berbagai kecerdasan siswa mendapatkan pendidikan dari sekolah. Bahwa manusia memiliki kecerdasan multi atau multiple intelligences. Gardner dalam Agus Nggermanto (2003:49) mengatakan, Multiple intelligences meliputi kecerdasan logis, matematis, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinesthetic, kecerdasan emosional, (intrapersonal-dan interpersonal), kecerdasan naturalistik, kecerdasan spritual dan lain-lain. Kecerdsan matematik dan linguistik biasanya diklasifikasikan sebagai IQ. Sedangkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dimasukkan EQ dan kecerdasan spritual (SQ).

Proses pembelajaran di kelas adalah aktivitas yang terjadi antara guru dengan siswa. Setiap siswa membawa kecerdasan masing-masing, guru berkewajiban melayani semua ragam kecerdasan dan semua gaya belajar siswa, guru dapat mendesain sistem pembelajaran di kelas dengan metode, strategi atau model-model pembelajaran tertentu agar materi yang disampaikan dapat diterima oleh siswa dengan mudah dan menyenangkan. Di kelas, guru dapat merencanakan sekolah sebagai pusat sumber daya masyarakat. Misalnya, menerapkan PBM sistem ingury dimana para siswa diberi kebebasan berkarya dan kemudian dipurnakan dalam diskusi di kelas secara terjadwal, dan mengambil kesimpulannya.

Ke-tiga; Relevansi pendidikan adalah menyesuaikan dengan sistem pendidiakn yang berlaku,l misalnya penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diharapkan dapat memberikan kontribusi secara inovatif terhadap pengembangan pusat-pusat keunggulan yang sesuai dengan ciri dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Untuk Nangroe Aceh Darussalam kurikulum bernuansa Islam memadukan kurikulum pelajaran umum dengan pelajaran agama adalah pilihan yang tepat. Seperti, King khalid Islamic college di Australia atau Al-Azhar di Cairo-Mesir. Sehingga, lulusannya tidak kalah saing dengan pendidikan luar negeri bertarap International. Perlu mengembangkan kurikulum berstandar Internasional seperti Standar International Beccalaureate (IB) yang telah diakui oleh lebih 100 negara, ijazah yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan standar IB dapat diterima di sekolah-sekolah favotire di dunia. Seperti, Harvard University, MIT, Stanford, Oxford atau London school of economic, atau Deutausch akademisher Dienst di Jerman.

Sekolah masa depan memiliki tawaran program kompentatif mampu menawarkan kurikulum memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat. Sehingga, Setiap lulusan pada sekolah/madrasah tertentu menjadi standar bagi masyarakat menentukan pilihan. Peran kepala sebagai menejer di sokolah/madrasah dan kontrol masyarakat memberi solusi arah pendidikan masa depan. Semoga kerja sama tiga pusat pendidikan, orangtua, sekolah (pemerintah, yudikatif dan legislatif) dan masyarakat (sebagai kontrol sosial).

Ke-empat; peningkatan efisiensi pelaksanaan pendidikan nasional. Menejer sekolah/madrasah mempunyai nilai strategis—kebijakan pengembangan pendidikan menyesuaikan kebutuhan pendidikan masa depan, dan pemanfaatan keuangan tepat guna—mampu menghasilkan outcome para lulusan sesuai kebutuhan pasar sebagai aset inverstasi SDM kita, tidak mungkin prestasi instan dapat menjamin pendidikan masa depan, pendidikan orang tua sudah berlalu, pendidikan anak-anak adalah pendidikan yang sekarang programkan. 

Dari empat landasan tinjauan pendidikan di atas tentu tidak asing, namun melalui berbagai gerakan kebangkitan nasional ini kiranya menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam merencanakan dan menentukan sistem pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Di sinilah political will bagi legislatif dan yudikatif jadi pertimbangan peninjauan dan penyesuaian kebutuhan sistem pendidikan masa depan.

Sabtu, 26 Maret 2011

Link Download Lengkap Silabus dan RPP Berkarakter SMK!! GRATIS!!


Kumpulan SILABUS dan RPP KTSP untuk SMK UMUM meliput kelas X, kelas XI, dan kelas XII
  1. SILABUS DAN RPP KTSP SMK MATEMATIKA 
  2. SILABUS DAN RPP KTSP SMK PAI 
  3. SILABUS DAN RPP KTSP SMK PENJASKES 
  4. SILABUS DAN RPP KTSP SMK IPA 
  5. SILABUS DAN RPP KTSP SMK PKN 
  6. SILABUS DAN RPP KTSP SMK SENI BUDAYA 
  7. SILABUS DAN RPP KTSP SMK BAHASA INGGRIS 
  8. SILABUS DAN RPP KTSP SMK BAHASA INDONESIA 
  9. SILABUS DAN RPP KTSP SMK IPS 
  10. SILABUS DAN RPP KTSP SMK KEWIRAUSAHAAN 
  11. SILABUS DAN RPP KTSP SMK MATEMATIKA (english version)
Untuk yang di bawah ini, RPP dan SILABUS SMK Kejuruan:
I. TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan)
1. Kelas X
2. Kelas XI
3. Kelas XII

II. AKUNTASI
Tergabung dalam 1 folder.
SILABUS DAN RPP KTSP KEJURUSAN AKUNTANSI 

Contoh RPP Berkarakter Teknik Mesin SMK  
RPP Mesin Bubut Berkarakter SMK Kelas XI

Link lainnya, walau Silabus dan RPP tidak lengkap!
  1. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
  2. BAHASA INDONESIA
  3. BAHASA INGGRIS
  4. MATEMATIKA
  5. MATEMATIKA BISNIS MANAJEMEN
  6. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN)
  7. KKPI
  8. PJOK
  9. IPA
  10. IPS
  11. FISIKA
  12. KIMIA
  13. BIOLOGI
  14. KEWIRAUSAHAAN
  15. SENI BUDAYA
  16. MULOK
  17. PRODUKTIF DASAR KOMPETENSI KEJURUAN
  18. PRODUKTIF KOMPETENSI KEJURUAN
Contoh RPP dan Silabus SMK Berkarakter Kelas X, Kelas XI dan Kelas XII Diatas diambil dari berbagai blog dan forum.

Sumber : http://blogbintang.com/silabus-rpp-berkarakter-sm