Minggu, 12 September 2010

Mengungkap Fakta, Meluruskan Informasi Soal Semunying




Pada hari ini, Minggu 29 Agustus 2010 pukul 13.00 wiba - selesai bertempat di Aula Gedung PSE KAP Jalan WR. Supratman Nomor 100, telah dilangsungkan Konferensi Pers mengenai kasus Semunying Jaya dan Pelurusan Informasi oleh warga Semunying Jaya terkait penayangan acara OASIS bertajuk "Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan"

Mengungkap Fakta,
Meluruskan Informasi Soal Semunying
(Pers Release)
Sifat: Untuk disiarkan segera

Perjalanan panjang kasus yang menimpa anak negeri di sekitar Perbatasan yakni warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang propinsi Kalimantan Barat terkait dengan ekspansi PT. Ledo Lestari anak perusahaan Duta Palma Group yang sejak awal hadir tanpa permisi kepada warga, belum menemukan penyelesaian. Penyerobotan atas lahan dan kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya untuk perkebunan sawit PT. Ledo Lestari yang mulai beroperasi sejak Maret 2005 itu telah menimbulkan dampak destruktif berupa konflik dan keresahan warga. Bahkan dua orang tokoh masyarakat yang berjuang bersama warganya dalam mempertahankan kedaulatan dan hak-hak (atas hutan-tanah-air) warga setempat sempat dikriminalisasi hingga masuk wisma prodeo (bui) dengan tuduhan pemerasan dan perampasan.

Peran pihak Pemerintah kabupaten Bengkayang dan pihak terkait lainnya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Namun faktanya, tidaklah demikian. Pemerintah Daerah lamban dan bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaian polemik yang terjadi. Dengan memahami duduk persoalan yang dialami warga Desa Semunying Jaya, seharusnya pemerintah Bengkayang yang sesungguhnya memiliki kompetensi malah tidak punya ”taring” dalam memberi solusi bagi warga. Akibatnya, persoalan yang dihadapi warga yang berjuang dan bahkan pernah membawa kasus ini ke Komnas HAM dan sejumlah instansi terkait lainnya malah tak kunjung tuntas. PT. Ledo Lestari sendiri telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 sebagaimana ditegaskan surat pejabat Bupati Bengkayang.

Kondisi dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat Semunying Jaya yang cenderung menimbulkan gejolak dan sejumlah potensi kerawanan sosial oleh karena dampak dari pembangunan perkebunan sawit (PT. Ledo Lestari) yang merusak kawasan kelola warga dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Singkat kata, kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat sejak dibukannya perkebunan monokultur di daerah Semunying Jaya masih ”jauh panggang dari api”. Masih jauh dari harapan dan janji manis (kesejahteraan) seperti yang selama ini diwacanakan oleh para pendukung investasi perkebunan skala besar. Fakta dan realita seperti ini menjadi penting dipahami secara bersama sebagai bentuk kegagalan dari kebijakan pembangunan investasi yang mendapat restu dari pejabat daerah. Namun demikian, fakta dan realita yang terjadi dan dialami warga setempat bisa saja menjadi kabur bila dalam proses penyampaian informasi kepada publik jika mengabaikan nilai objektifitas dan rasa keadilan bagi warga.

Hadirnya suguhan informasi di media massa elektronik swasta nasional (Metro Tv) melalui acara OASIS dengan judul “Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” yang ditayangkan beberapa waktu terakhir (5 Agustus 2010) terasa menyayat hati. Bahkan dapat menambah kian kompleksnya persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya. Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan warga Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan dengan hadirnya perusahaan sawit selayaknya dikritisi karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, keprihatinan mendalam memang sepantasnya dirasakan oleh warga Semunying Jaya khususnya dan oleh warga negeri ini pada umumnya atas penayangan berita tersebut yang justeru berpotensi memicu kian menguatnya polemik (baru) di masyarakat. Penayangan berita dalam program OASIS tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas dengan menapikkan kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya.

”Sebagai Kades Semunying Jaya, saya yang tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami di sana. Apa yang disebutkan seakan telah sejahtera itu tidak benar karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya saat ini sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus kami alami sejak masuknya PT. Ledo Lestari yang belum tuntas hingga saat ini. Kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui permbukaan hutan untuk areal perkebunan PT. Ledo Lestari,” ungkap Momonus, Kades Semunying Jaya.

Pernyataan lainnya juga disampaikan Jamaludin, Nuh Rusmanto dan Abulipah. ”Kami merasa dilecehkan dan merasa malu dengan penayangan soal Semunying Jaya itu. Banyak orang yang menganggap kami telah sejahtera dengan hadirnya PT. Ledo Lestari, tetapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini berpotensi memicu konflik antar warga di daerah kami. Media kiranya dapat menyajikan berita yang sesuai dengan fakta dan realita di lapangan,” jelas Jamaludin warga Desa Semunying Jaya yang juga sebagai Wakil BPD.

“Apa yang di tayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya,” sambung Nuh Rusmanto yang juga Ketua BPD Semunying Jaya. Sedangkan Abulipah yang juga Sekdes Semunying Jaya mengatakan; “Kami sebagai masyarakat sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan tersebut, karena kenyataannya tidak demikian. Justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah kami,” ungkapnya.

Sebagai manusia yang dianugerahi naluri, pernyataan warga Desa Semunying Jaya ini sungguh naluriah sebagai bentuk kegelisahan. Terlebih bila peliputan video tayangan program OASIS di Metro Tv itu tanpa sepengetahuan pemerintah di Desa. Tanpa harus dijelaskan, bila kita berada pada posisi sebagai warga Semunying Jaya pun perasaan prihatin dengan pemberitaan yang tidak sesuai kenyataan pasti akan dialami.

Tentu saja harus diakui bahwa hadirnya sejumlah penayangan dan pemberitaan oleh media massa selama ini telah banyak membantu khususnya dalam menyuguhkan berbagai informasi kepada khalayak ramai. Namun demikian, masyarakat umum pun kiranya perlu dididik dan dicerdaskan melalui penayangan maupun pemberitaan media massa yang ada dengan menyajikan fakta maupun realita secara objektif dan bukan malah ”mengarang” sebuah pemberitaan tendensius dan “menyesatkan”.

Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan atas fakta dan realita dimaksud, maka kami memandang perlulah kiranya meluruskan informasi terkait dengan kondisi yang dialami warga Semunying Jaya seperti yang ditayangkan oleh Metro Tv melalui acara OASIS tersebut dengan sejumlah argumentasi sebagai berikut;

1. Bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Dan bukan berada di Desa Semunying Jaya. Perlu diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia 3 tahun tanam (belum produktif).
2. Perlu diketahui bersama bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih, Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari.
3. Bahwa jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv tersebut, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
4. Bangunan Masjid yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani.
5. Bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang diliput bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
6. Bahwa usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS tersebut merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
7. Bahwa tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
8. Bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Masih ada 6 KK yang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka.
9. Pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam 1 Minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu 2 jam” adalah tidak mendasar. Karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang saat ini bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama ± 5 jam.

Sejumlah poin argumentasi ini hendaknya dapat menjadi catatan penting untuk meluruskan informasi yang cenderung mengaburkan fakta dan realita yang sejatinya dialami warga Semunying Jaya. Hendaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dan ”peringatan” bersama semua pihak, khususnya kalangan perusahaan media massa agar dapat lebih objektif dan profesional menyajikan informasi yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat.

Dengan demikian, kiranya berbagai pihak terkait (Pemerintah, legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Forum RSPO, lembaga keuangan yang mendanai investasi perusahaan, pembeli CPO/buyer, pihak penegak hukum, dll) diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan serius sesuai peran maupun kewenangannya atas kondisi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Pusat juga selayaknya mengkaji mega proyek sawit perbatasan yang pada realitanya justeru cenderung mendiskriminasi seperti yang dialami warga Desa Semunying Jaya.

Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya yang berkompeten hendaknya dapat segera menuntaskan masalah yang di hadapi warga. Kondisi Semunying Jaya kini tak se ”jaya” namanya. Masyarakat Semunying Jaya adalah bagian dari anak negeri ini yang ingin tetap berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan dihargai seperti warga negara lainnya. Kembalikan kejayaan dan kedaulatan warga Semunying Jaya!

Pontianak, 29 Agustus 2010

Warga Semunying Jaya:

Sabtu, 04 September 2010

KETIKA AKU SUDAH TUA


Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah,bersabarlah sedikit terhadap aku.

Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu,
ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau
dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.

Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu
kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru, jangan
mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk
mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai
belajar menjalani kehidupan.

Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang
temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa
syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.


Kamis, 19 Agustus 2010

KISAH SEEKOR BELALANG


Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak.
Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya
tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya.
Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain.
Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya,
“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh,
padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk
tubuh ?”.
Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan,
“Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang
yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang
aku lakukan”.
Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak
itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi
belalang lain yang hidup di alam bebas.
Renungan :
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah
juga mengalami hal yang sama dengan belalang.
Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan
yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga,
seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai
mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita
tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai
mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa
Anda bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau Anda
mau menyingkirkan “kotak” itu?
Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai
sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan
Anda?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan
untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa
yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai
apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang,
tapi bila Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan
itu pasti akan terbayar.
Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup
pilihan Anda. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan
untuk Anda.

Minggu, 08 Agustus 2010

Buku: Sekolah Bukan Pasar



Judul : Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru
Penulis : St. Kartono
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan I : Juni 2009
Tebal : 222 hlm.

"SEKOLAH ladang potensial mendulang keuntungan." Betapa tidak, mekanisme pasar lebih mendominasi irama sekolah sepanjang tahun ajaran berlangsung. Bahkan, dikatakan sekolah tidak beda dengan suasana pasar tradisional. Semua bentuk transaksi pelaku pasar terjadi di sekolah, mulai jual beli ijazah, tawar-menawar biaya sumbangan, promosi bagi anak pejabat dan konglomerat, hingga hitung-hitungan untung untuk satu kursi belajar.

Pejabat Departemen Pendidikan, kepala sekolah, guru lebih mengambil peran sebagai pedagang, calo, makelar, belantik, rentenir daripada sebagai agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan. Mereka malah menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birokrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru. Pada gilirannya sekolah menjadi pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan (hal 5).

Budaya semacam ini sudah saatnya ditinggalkan. Sekolah sudah saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan siapa pun terlebih oleh birokrat pendidikan nasional, kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apa pun. Karena menjadikan sekolah sebagai ladang mencari keuntungan lewat kain seragam, buku paket pelajaran, biro wisata, atau lembaga kursus, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan. Mekanisme demikian itu mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin.

Tepat apa yang dikatakan Friere, bahwa pendidikan pada tataran ini harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana yang sering terjadi pada dunia ketiga, yaitu pendidikan sering dijadikan alat untuk melegitimasi kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa. Untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk mengubah realitas yang menindas. (Friere : 2001).

Sebab itulah St. Kartono melalui bukunya yang berjudul Sekolah Bukan Pasar menyampaikan berbagai pesan brilian, wawasan dan penyadaran kepada kita semua, sekaligus memberikan nutrisi nalar kritis yang selama ini terpasung oleh mitologi birokrasi pendidikan negeri ini. Sebuah pesan yang terangkum indah dalam catatan otokritik seorang guru ini sungguh layak dibaca bagi orang tua, guru, kepala sekolah, pengambil kebijakan, pengamat pendidikan, birokrat, mahasiswa dan siapa pun yang ingin "membebaskan", mencerdaskan, dan memajukan pendidikan.

Sekolah Bukan Pasar mengajari kita kaya "perspektif" bagaimana menafsirkan realitas persoalan pendidikan di lapangan menjadi lebih berarti. Values atau nilai-nilai keutamaan disajikan dalam potret yang utuh dalam konteks pendidikan di zaman kini. Nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, kesahajaan, pengorbanan, kepedulian terhadap hak-hak anak, empati dan cinta kasih antarsesama menggerakkan para pembaca untuk menghidupkan kembali pendidikan negeri ini yang sedang mati suri.

Bagi guru jadilah manusia "pembebas". Tidak sekadar menjadi personifikasi intelektual an sich, tetapi mampu melakukan transinternalisasi nilai-nilai budi pekerti. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Caracter How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, transinternalisasi dapat dikembangkan melalui tiga dimensi secara terpadu yaitu: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).

Guru sebagai aktor utama dalam mengajarkan keutamaan tidak sekadar membebaskan dalam ranah pengetahuan saja. Lebih penting dari itu, yang mestinya dibekalkan adalah kebiasaan membentuk sikap hidup dan pilihan nilai-nilai keutamaan. Itu akan mungkin terjadi jika sejak dini guru membiasakan berfikir kritis-reflektif dari setiap persoalan dan pengalaman di lapangan. Pada gilirannya guru menjadi aktor utama memanusiakan manusia dan memberi suara lantang pada yang bisu.

Fakta yang tertuang dalam buku ini bisa dianggap sebagai penyemai benih kesadaran, bahwa sudah saatnya sekolah terbebas dari suasana "pasar". Pencampuradukan peran-peran pendidik dengan blantik akan merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat berjual-beli, termasuk jual beli gelar (hal 7).

Akhirnya, buku ini patut diapresiasi sebagai usaha kritis seorang guru yang menyuarakan yang bisu di lapangan agar bisa terdengar oleh para penguasa pengambil kebijakan. Sekaligus sebagai upaya membuka wawasan dan penyadaran bagi masyarakat luas, khususnya para guru, kepala sekolah, pejabat Departemen Pendidikan agar usaha-usaha peningkatan pendidikan tidak lepas dari konteks kekinian dan proyeksi masa depan.

Jika insan pendidik semakin kaya perspektif sebagaimana yang disumbangkan penulis buku ini, dengan sendirinya akan lahir pemikiran-pemikiran illuminatif yang mampu menjawab problem riil pendidikan di zamannya.

Pandi Kuswoyo, Guru SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Salsabila Al Muthi'in, Bantul, Yogyakarta

Sumber: Lampung Post

Selasa, 20 Juli 2010

Success is Not Forever


Pengertian mengenai sukses cukup beragam. Ada bermacam pendapat mengenai apa arti sukses. Tetapi saya berpendapat bahwa sukses adalah proses pencapaian tujuan-tujuan hidup jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain, pencapaian suatu prestasi bukan merupakan akhir dari segalanya. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa sukses bukan selamanya.

Pendapat demikian bertolak pada banyaknya fakta yang menyebutkan orang-orang yang sudah berhasil merengkuh kejayaan atau posisi karir yang strategis, namun mereka hancur tidak lama kemudian. Di antara mereka ada yang dari kalangan politikus, artis, pebisnis, atlit, dan lain sebagainya. Kesuksesan mereka tidak berlaku selamanya sebab mereka tidak lagi sanggup menghadapi tekanan-tekanan atas tuntutan-tuntutan hidup sehari-hari.

Kehidupan ini terus berubah. Ibaratnya kehidupan ini adalah suatu olimpiade, tiada hari tanpa bertanding. Seiring dengan perkembangan waktu, tantangan hidup yang harus kita hadapi juga terus menerus berkembang. Karena itu kita harus siap secara mental dan emosional untuk menyesuaikan diri agar mampu bertahan ataupun menciptakan prestasi-prestasi baru yang lebih baik.

Dengan apa kita berusaha mencapai cita-cita, mempertahankan ataupun meningkatkan cita-cita tersebut? Kita harus melakukan beberapa hal, diantaranya adalah mencari potensi dari dalam diri yang paling kita butuhkan. Setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda untuk dapat dioptimalkan fungsinya, entah dalam bentuk kecerdasan, keahlian, ataupun kemampuan-kemampuan lainnya. Saint Francis de Sales mengatakan, “Bersabarlah terhadap segala sesuatu, tetapi terutama bersabarlah kepada Anda sendiri. Jangan patah semangat karena ketidaksempurnaan Anda, tetapi mulailah untuk mengatasinya – setiap hari mulai dengan tantangan baru.” 

Langkah berikutnya adalah mengasah potensi dari dalam diri kita tersebut dan mengerahkan seluruh energi dengan berusaha keras untuk mencapai target jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu lakukanlah aktifitas-aktifitas yang dapat meningkatkan kemampuan. Jangan berhenti melakukan aktifitas-aktifitas tersebut, jadikanlah kebiasaan hidup sehari-hari hingga kita berhasil membantuk masa depan yang kita inginkan.

Humor memang senantiasa diperlukan, dalam pergaulan, bisnis, produk, dan lain sebagainya. Perhatikan bahwa perhatian kita akan lebih besar terhadap hal-hal yang mengandung unsur humor. Misalnya bila kita mengikuti seminar yang dibawakan dengan penuh humor, maka kita akan mengikuti seminar tersebut dengan sepenuh hati sampai selesai. Padahal mungkin seminar tersebut sudah berlangsung 5 jam. Bahkan ketika pulang dari seminar tersebut kita masih tersenyum, dengan membawa perasaan senang dan semangat yang lebih besar.

Sebenarnya terdapat banyak sekali cara yang menjadi sumber humor dan menyebabkan kita tertawa, misalnya memberi nama lucu kepada benda-benda yang kita punya, lebih banyak memberi daripada menerima, menonton acara-acara, suara-suara dan wajah yang lucu, membaca cerita humor dan lain sebagainya. Tetapi kita harus memperhatikan apakah humor itu sehat ataukah tidak. Humor yang sehat mampu mengurangi stres, memberikan perspektif baru dan perasaan lebih baik. Sedangkan humor yang menyakiti bisa menyinggung perasaan orang lain, meningkatkan ketegangan, dan menjadikan suasana perasaan lebih buruk.

Secara umum target humor mengarah kepada diri sendiri itu lebih menyehatkan. Sebab pada saat kita mentertawakan diri sendiri, maka orang di sekitar kita akan merasa lebih aman karena mereka merasa bukan merupakan target dari humor tersebut dan mereka menjadi terhibur. Misalnya ketika saya menceritakan pengalaman sewaktu mengunjungi Eropa Timur, tepatnya saat berada di Jerman.

Waktu itu saya ingin ke toilet. Ada dua pintu, yang satu bertuliskan dumen, dan yang satunya lagi bertuliskan herren. Saya berspekulasi bahwa dumen adalah toilet pria. Tetapi setelah saya buka, dibalik pintu itu ternyata semuanya wanita. Saya malu sekali waktu itu. Banyak orang tertawa saat saya menceritakan pengalaman lucu tersebut. Setidaknya saya telah menyebabkan orang lain senang dan merasa nyaman serta lebih dekat dengan saya. Saya yakin telah mendapatkan keuntungan dari aktifitas humor tersebut dari segi kesehatan, emosional dan hubungan sosial. 
Jadi jangan selalu menganggap segalanya terlalu serius. Sangatlah penting menciptakan humor di tengah tekanan persoalan atau pekerjaan yang harus kita hadapi dan persaingan yang begitu ketat. Manfaat humor bagi kehidupan sosial, kesehatan dan emosional, sebagaimana diuraikan diatas, cukup menjelaskan bahwa humor merupakan mekanisme yang sangat potensial. Bukan sekedar humor bila saya kemudian menganjurkan Anda untuk mengasah dan mencoba menggunakan kemampuan Anda dalam menciptakan humor untuk membangun kesuksesan yang Anda dambakan. Karena kehidupan kita sebenarnya jauh lebih menyenangkan dibandingkan pekerjaan dan persoalan yang harus kita selesaikan.

Minggu, 20 Juni 2010

Rich Dad Poor Dad


“Formal education will make you a living, self-education will make you a fortune. – Pendidikan formal akan memberimu kehidupan, sedangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman akan memberimu keberuntungan.”
Jim Rohn 

Robert T. Kiyosaki saat ini semakin populer saja. Tulisannya berjudul Rich Dad Poor Dad, telah menjadi inspirasi banyak orang untuk mendapatkan kebebasan keuangan. Sementara dalam buku lainnya, Robert T. Kiyosaki mengungkapkan teori Cashflow Quadrant. Ia menyarankan dan mengungkapkan tips bagaimana berpindah kuadran, dari kuadran E (pegawai) dan kuadran S (pekerja lepas) ke kuadran B (pebisnis) dan kuadaran I (investor).

Dalam tulisannya Kiyosaki mengungkapkan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebebasan waktu dan keuangan. Sementara pendidikan bukanlah syarat mutlak untuk mendapatkan kebebasan waktu maupun keuangan. Inti pesan dalam buku-buku tersebut telah mengilhami optimisme banyak orang yang tidak berpendidikan dalam meraih kesuksesan.

Tetapi bagi sebagian orang, tulisan Robert T. Kiyosaki itu telah memicu pertanyaan. Bila pendidikan bukan faktor penentu kesuksesan atau mendapatkan kekayaan, lalu apakah pendidikan tidak penting? Saya sering mendapatkan pertanyaan seperti itu, di radio maupun dalam seminar (public talk).

Saya berpendapat bahwa kekayaan yang diungkapkan oleh Robert T. Kiyosaki tidak dapat diartikan dari segi materi saja. Kekayaan meliputi ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang. Saya sendiri mengapresiasikan ‘Ayah miskin’ dalam buku Kiyosaki sebenarnya adalah orang kaya dan sukses.

Memang ‘Ayah miskin’ dalam tulisan Kiyosaki tidak sekaya ‘ayah kaya’ dari segi materi. Namun dari segi ilmu pengetahuan dan karir, ‘ayah miskin’ tergolong orang kaya dan sukses. Gelar Ph.D yang telah diraih ‘ayah miskin’ menunjukkan bahwa ia kaya ilmu pengetahuan, sehingga mampu meraih gelar yang cukup tinggi di dunia pendidikan. Dengan ‘kekayaannya’ yaitu ilmu pengetahuan dan pendidikan, ‘ayah miskin’ berhasil meraih posisi sebagai kepala Departemen Pendidikan di negara bagian Hawaii. Prestasi ‘ayah miskin’ itu menunjukkan bahwa selain kaya ia juga sukses dalam karir.

Berdasarkan uraian diatas, saya bermaksud menegaskan bahwa pendidikan di sekolah sangat penting. Pendidikan sekolah memang tidak menjamin seseorang pasti berhasil meraih kesuksesan atau kekayaan. Tetapi sistem, kedisiplinan dan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah melatih para pembelajar bertindak disiplin dan bijaksana, bersikap positif, serta memiliki cara berpikir logis. Ketiga faktor itu sangat berpengaruh terhadap prospek kesuksesan seseorang dalam karir maupun keuangan. 
Salah satu contoh pendidikan yang hanya ada di sekolah adalah strategi belajar. Strategi yang diajarkan kepada siswa-siswi di sekolah tersebut sangat membantu mereka memperbaiki kualitas pemikiran dan sikap. Semakin baik kualitas pemikiran dan sikap seseorang mengindikasikan kualitas kehidupan yang baik juga. Tidak sedikit orang-orang yang telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan selama belajar di sekolah sangat bermanfaat untuk mengimplementasikan impian mereka kedalam kenyataan dan mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.

Tetapi bukan berarti pendidikan dari sekolah itu sudah mencukupi kebutuhan kita akan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Untuk seterusnya, kita harus aktif mencapai kemajuan dengan terus belajar. Belajar adalah cara yang paling produktif menggunakan waktu dengan cara yang bijaksana dan mendidik, serta mendukung upaya kita mengembangkan diri dan mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.

Belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Bisa jadi kita akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang luar biasa selama bergaul dengan orang-orang yang antusias dan penuh semangat, atau orang-orang yang mau berbagi nilai-nilai positif dengan kita. Kita dapat juga belajar dan memperbarui kehidupan lewat buku-buku, kaset, dan seminar. Dengan kata lain, kita harus senantiasa belajar dari universitas kehidupan ini atau sering disebut pula dengan School of HardKnocks. 
Alfin Toffler menegaskan tentang pentingnya melakukan pencarian ilmu pengetahuan, informasi dan pengalaman secara terus menerus. Ia mengatakan, “The illiterate of the year 2000 will not be the individual who cannot read and write, but the one who cannot learn, unlearn, relearn. – Orang buta huruf pada tahun 2000-an bukanlah orang yang tidak dapat membaca ataupun menulis, melainkan orang yang tidak mau belajar, tidak belajar, dan tidak belajar kembali. ” 

Di sekolah mungkin kita dapat belajar mengenai strategi berbisnis berdasarkan wilayah atau jenis bisnis secara umum. Tetapi untuk mengembangkan bisnis berdasarkan tempat dan jenisnya secara spesifik, kita harus belajar dari buku, pengalaman, orang lain dan lain sebagainya. Di sekolah mungkin kita belajar mengenai manajemen, ilmu keuangan, dan bisnis. Sedangkan dari universitas kehidupan ini kita dapat belajar dan menguasai ilmu pengetahuan bagaimana menciptakan kekayaan, salah satunya belajar dari buku tulisan Kiyosaki itu. 

Mungkin tidak pernah ada sekolah formal yang khusus memberi pelajaran supaya kita menjadi orang tua yang baik. Tetapi di sekolah kita pasti diajar bersikap disiplin dan bersopan santun. Bukan ide yang buruk seandainya kita juga punya kemauan untuk menggunakan apa yang sudah kita peroleh di sekolah sambil belajar dari kehidupan ini untuk menjadi orang tua yang lebih bijaksana. 

Menjadi bagian dari masyarakat L3 – life-long learning, atau belajar untuk seterusnya merupakan langkah efektif untuk memperkaya diri kita dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Pendidikan dari kehidupan dan sekolah merupakan paduan pendidikan yang paling ideal. Pendidikan dari keduanya menjadikan kita kaya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dapat kita manfaatkan untuk mengekspansi kualitas kehidupan, menjadi lebih bahagia dan kaya dari segi materi maupun ilmu pengetahuan, atau menjadi segala yang terindah. 

Lalu saya berkesimpulan bahwa ide-ide maupun personifikasi ‘ayah kaya’ dan ‘ayah miskin’ yang disampaikan oleh Kiyosaki bukan berarti kita dapat mengabaikan pendidikan formal ataupun pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kehidupan ini. ‘Ayah miskin’ dalam Rich Dad, Poor Dad sangatlah kaya ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pendidikan maupun kehidupannya. Menurut saya, ‘ayah miskin’ itu sesungguhnya tidak miskin.

* Andrew Ho adalah motivator Asia, pengusaha, dan penulis buku best seller Highway to Success.

Selasa, 08 Juni 2010

Menyeimbangkan Pendidikan




SEBAGAI salah seorang wakil presiden dari suatu organisasi pendidikan tingkat internasional, Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE), yang bermarkas di Tokyo, saya memiliki banyak teman yang mengelola sekolah dan perguruan tinggi di Jepang, khususnya Tokyo. Bukan itu saja, "dapur" beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jepang pernah saya kunjungi.

Dari beberapa kali berinteraksi dengan masyarakat Jepang, khususnya masyarakat pendidikan, ada satu hal yang membedakan karakter kaum intelektual Jepang dengan kaum intelektual di negara-negara lainnya termasuk Indonesia, yaitu tentang sikap kesantunannya. Jangankan siswa dan mahasiswa, dosen berpredikat doktor dan profesor pun senantiasa bersikap santun terhadap orang lain. Profesor Hideo Moriyama dari Kyushu University dan Horikoshi dari Ichigaya-co adalah contoh konkretnya. Meskipun mereka adalah orang terkenal, memiliki kedudukan terhormat, dan disegani banyak orang, tetapi sikapnya senantiasa santun terhadap orang lain termasuk kepada mahasiswanya.

Kalau kita mau jujur, masalah kesantunan, yang kelihatannya sederhana, seperti itulah yang sekarang ini mulai menghilang dari khasanah pendidikan nasional kita. Secara historis kesantunan dan kejujuran sangat ditekankan oleh Kaisar Matsuhito atau yang lebih dikenal dengan sebutan Meiji Tenno. Meski pada 1868, ketika diangkat sebagai kaisar masih berusia belasan tahun, Sang Kaisar sudah bertekad akan merebut teknologi Barat dan mengkombinasikannya dengan kesantunan dan kejujuran yang dimiliki Jepang.

Di Jepang, kesantunan dan kejujuran merupakan buah pendidikan, sehingga berimplikasi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau di kereta api ada orang tua yang berdiri maka secara otomatis orang yang lebih muda akan memberikan tempat duduknya. Kalau dalam lift ada beberapa orang maka yang memencet tombol lift adalah orang yang lebih muda, sementara kalau mau keluar lift orang yang tua dipersilakan melangkah terlebih dulu; dan sebagainya. Hal-hal seperti ini merupakan implikasi sikap kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan kejujuran? Bangsa Jepang dikenal sangat jujur. Bila seseorang melakukan ketidakjujuran maka taruhannya adalah bunuh diri. Kesantunan dan kejujuran seperti itulah yang sekarang hilang atau seti-daknya makin menipis dalam pendidikan nasional kita. Di kota-kota besar sekarang, banyak siswa yang tidak mengenal gurunya; dan atas ketidak-kenalannya tersebut rasa kesantunan memudar. Jangankan mau menekankan tombol lift atau membukakan pintu, berpapasan di jalan pun sang siswa bersikap acuh tak acuh dan enggan bertegur sapa.

Bagaimana dengan kejujuran? Kalau kita amati para koruptor di negeri ini banyak kaum terpelajar yang notabene lulusan sekolah atau perguruan tinggi. Kebiasaan tidak jujur, ketika di sekolah dan perguruan tinggi, misalnya, menyontek dalam mengerjakan soal-soal ujian, ternyata dalam jangka panjang telah berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat yang adalah alumnus sekolah dan perguruan tinggi kita.

Perlu Diseimbangkan

Sekarang, banyak siswa kita bangga kalau mampu menembus sekolah berstandar internasional (SBI).

Orangtua beserta keluarganya pun sangat memberikan dorongan dan dukungan agar putra-putrinya berhasil meraih kursi di SBI. Hal itu sangat mudah dimaklumi, karena SBI memang sedang ngetrend meskipun untuk bisa memasukinya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Di tingkat perguruan tinggi, para mahasiswa sangat bangga kalau lem-baganya diakui oleh masyarakat dunia sebagai universitas berkelas dunia atau world class university (WTU). Apalagi, perguruan tinggi di Indonesia yang mampu meraih predikat WTU relatif sangat sedikit jumlahnya. Membanggakan SBI (yang benar-benar SBI) dan WTU (yang benar-benar WTU) tentunya sah dan tidak salah. Memutukan diri melalui lembaga yang berkualitas internasional tentu saja lebih banyak manfaatnya.

Masalahnya, pengembangan SBI dan WTU di Indonesia kurang memperhatikan kesantunan dan kejujuran. Jangan heran kalau banyak siswa SBI dan mahasiswa WTU yang sikapnya egois, kurang perhatian, tidak toleran, merasa pintar sendiri, mengabaikan keunggulan orang lain, dan sikap-sikap destruktif lainnya.

Menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan dengan kesantunan dan kejujuran mutlak diperlukan untuk mengembangkan pendidikan nasional Indonesia. Di tangan presiden terpilih, semuanya akan dapat direalisasikan kalau didasari dengan semangat yang tulus dan penuh kesungguhan.Nah, Bapak SBY, bersiaplah menjalankan amanah rakyat Indonesia untuk menyeimbangkan pendidikan nasional kita!

Ki Supriyoko, Direktur Program Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

Sumber: Suara Pembaruan,

Realitas Perbatasan: Indonesia yang Jauh


INDONESIA terasa jauh di desa-desa Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Warga di sana hidup dalam tatanan sendiri yang terpisah dari hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia yang jauh. Dalam beberapa aspek, mereka justru lebih dekat dengan negara tetangga, Malaysia, dibandingkan Indonesia.

Warga Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berjalan kaki membawa hasil bumi melewati perbatasan untuk dijual ke Malaysia, 19 Februari. Dari Malaysia mereka biasa membeli gula dan bahan makanan lainnya. (KOMPAS/AHMAD ARIF)

Di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, waktu berdetak lebih cepat satu jam dibandingkan dengan waktu Indonesia bagian barat. Warga di sana memilih mengikuti waktu di Negara Bagian Serawak, Malaysia. Mata uang yang dipakai di desa itu pun ringgit Malaysia.

Di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia.

Bertahun-tahun sebelumnya, jalan itu menjadi saksi jutaan kubik kayu gelondongan dari hutan Indonesia yang dibawa ke Malaysia dan diolah di sana. Sisa kejayaan industri kayu itu terlihat dari bekas kilang-kilang kayu di Kampung Biawak, Sarawak, yang hanya selangkah dari perbatasan Indonesia.

Setelah era kayu, jalan itu adalah urat nadi bagi warga desa yang tiap hari melangsir hasil buminya untuk dijual ke Malaysia dan menjadi jalan pulang setelah membeli kebutuhan sehari-hari dari negeri jiran itu. Lima tahun mendatang, jalan-jalan itu kemungkinan akan diramaikan oleh truk-truk sawit ke Malaysia. Hamparan perkebunan sawit di wilayah Indonesia, yang sebagian dimiliki taipan Malaysia, kini menunggu saat panen.

Ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga itulah yang menjadikan Indonesia semakin jauh dan asing di mata warga.

Ketika Indonesia menjadi jauh dan asing di mata warga, sebaliknya di mata pemerintah pusat dan daerah: wilayah perbatasan adalah kantong penyelundupan, gerbang perdagangan manusia dan masuknya tenaga kerja Indonesia tak berdokumen, penyelundupan barang, kayu, dan obat- obat terlarang, hingga daerah rawan penyerobotan wilayah.

Beberapa waktu lalu, media massa di Tanah Air juga meributkan tentang warga Indonesia yang menjadi anggota Askar Wataniyah, paramiliter Malaysia.

Citra negatif yang dilekatkan pada kawasan perbatasan itu sering kali menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan keamanan-politik, dan abai terhadap realitas sosial, budaya, dan ekonomi di belakangnya.

Budaya lintas batas

Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari pembagian teritori oleh para penguasa kolonial yang membagi wilayah kekuasaannya pada abad ke-19 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Akibatnya, batas-batas negara tidak pernah bersinggungan dengan batas-batas kultural.

Hal ini pula yang berlaku di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Awalnya adalah garis di atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan Inggris, pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari timur ke barat.

Masyarakat di kedua sisi batas itu, yang sebagian masih bertalian saudara, dipaksa untuk memiliki identitas bangsa yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates.

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia, dan Inggris di Malaysia, pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan, sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

Namun, garis batas itu tidak dapat menghapus realitas sosial yang ada sebelumnya. Hingga lebih dari 100 tahun kemudian, kelompok sosial yang berada di antara garis batas tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan penggarapan lahan.

”Nenek moyang saya berasal dari Suruh Tembawang (wilayah Indonesia). Saya masih punya tanah garapan di sana dan masih saya usahakan sampai sekarang,” kata Duduh (80), Kepala Kampung Gun Sapit, Sarawak, Malaysia.

Sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di era Presiden Soekarno tak mampu memutus ikatan budaya dan sejarah masyarakat Dayak Bidayuh di wilayah ini. Konflik Indonesia dan Malaysia di masa lalu memang bukan konflik adat mereka.

Interaksi lintas batas ini mengingatkan pada catatan Anton W Niewenhuis dalam bukunya, In Central Borneo (1894), yang menyebutkan, pada tahun 1890-an telah terjadi interaksi sosial, budaya, dan ekonomi antarsuku Dayak dari berbagai macam subetnis di wilayah ini. Selain suku Dayak, juga terdapat etnis China dan Melayu yang berdagang dan sebagian mulai menetap di kawasan ini.

Di mata sebagian masyarakat tradisional Dayak, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas wilayah yang imajiner. Menjadi tidak aneh ketika kemudian sebagian warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke kampung di Malaysia.

Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, mengatakan bahwa perpindahan warga ke Malaysia lebih karena motif ekonomi. ”Selain karena melihat peluang ekonomi, juga akses pendidikan yang lebih baik kepada keluarga,” katanya.

Peleburan batas

Terputusnya ekonomi masyarakat perbatasan dengan ekonomi nasional adalah buah dari berpuluh tahun kebijakan pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Kebijakan itu menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang yang diabaikan.

Nasionalisme yang membabi buta, dan sentralisasi ekonomi yang menempatkan daerah di luar Jawa sebagai daerah modal untuk dieksploitasi, telah menutup mata terhadap realitas kesenjangan itu. Di ujung kekuasaan Orde Baru, kesenjangan itu membuahkan konflik etnis yang berdarah-darah di beberapa wilayah Kalimantan, juga di beberapa wilayah Indonesia.

Konflik itu membuka mata terhadap retasnya keindonesiaan, yang oleh Ben Anderson digambarkan sebagai bangsa imajiner. Bangsa yang seolah-olah ada, padahal tidak ada karena tidak ada irisan sejarah dan budaya dalam proses pembentukannya.

Konflik bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang beberapa waktu lalu merebak di berbagai wilayah itu juga membuka mata kegagalan pemerintah dalam membangun kebersamaan sebagai warga yang belajar menjadi satu bangsa. Tantangan terberat terjadi di wilayah perbatasan yang dicitrakan sebagai wilayah ”rentan”. Sudahkah kemudian kita belajar?

Nyatanya, perubahan sistem terpusat menuju desentralisasi yang terjadi pascaeuforia reformasi belum mampu mengubah wajah kesenjangan itu. Dalam kondisi masyarakat perbatasan yang secara sosial-ekonomi terputus dengan konsep ”nasional”, komunitas negara di wilayah ASEAN berencana membuka gerbang perbatasan lebar-lebar menuju integrasi ekonomi kawasan pada 2015.

Peleburan tapal batas ini ke depan akan menjadi tantangan baru bagi keindonesiaan, khususnya di wilayah perbatasan yang retas....

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009

Selasa, 01 Juni 2010

Yang Terdepan, Yang Terbelakang

Ironis. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita di daerah perbatasan. Betapa tidak, ketimpangan kualitas pendidikan di kota dengan di daerah sudah terjadi sedemikian rupa sehingga cerita tentang sekolah rubuh di daerah perbatasan atau cerita tentang guru yang lari ke negara tetangga, bukan sekedar mitos belaka. Selanjutnya, untuk memperoleh pemahaman secara lebih mendalam, permasalahan inidapat kita tinjau dari sudut pandang hak dan kewajiban warga negara.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jika sekilas kita melihat pada sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin kita bisa berbangga dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Sekolah-sekolah tersebut sudah sangat mapan dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan guru dari sekolah sekolah elit selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan mutakhir. Segala proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan mudah sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Namun, ketika kita melihat kondisi pendidikan di daerah perbatasan, keadaan tersebut sungguh berbanding terbalik.
Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Banyak anak di perbatasan Nusantara yang bernasib malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu.Di beberapa perkampungan atau dusun di perbatasan Kalimantan misalnya, anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga 6 Km melintasi hutan dan menuruni bukit untuk mendapatkan pendidikan di sekolah setiap hari.
Potret umum siswa di perbatasan memang sangat memprihatinkan. Namun, nasib para gurunya pun tak kalah memprihatinkan, terutama para guru honorer yang kebanyakan honor komite. Para guru tersebut banyak yang harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Hal ini karena kekurangan tenaga guru di sekolah pedalaman. Guru yang hanya bergaji 100-300 ribu sebulan itu banyak yang dipaksa bekerja ekstra keras bahkan terdapat ‘tuntutan psikologis’ untuk bekerja lebih besar daripada guru PNS karena status tidak tetap sebagai guru honorer lebih rentan daripada guru berstatus PNS yang meskipun sebulan tak mengajar di sekolah masih akan tetap menerima gaji.
Daerah-daerah perbatasan yang pada hakikatnya merupakan daerah terdepan sebagai pintu gerbang untuk memasuki indonesia menjadi daerah yang paling terbelakang dalam hal pendidikan dan kesejahteraan guru.Kenyataan tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan konstitusi karena sesuai dengan pasal 34 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Artinya, baik anak-anak di daerah perkotaan maupun anak-anak di daerah perbatasan mempunyai hak yang sama, yaitu sama-sama mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki hak, warga negara juga mempunyai kewajiban, salah satu diantaranya adalah kewajiban untuk membela kedaulatan negara. Namun, ketika pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak warga negara, warga negara tersebut juga cenderung untuk mengabaikan kewajibannya. Contohnya adalah yang terjadi masyarakat yang berdomisili di sepanjang perbatasan. Mereka lebih ber-interaksi dan berorientasi kepada desa terdekat negara tetangga. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Inilah dampak buruk yang terjadi apabila pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan diabaikan, karena akan mengikis rasa nasionalisme yang bukan tidak mungkin akan mengancam kedaulatan bangsa.
Kenyataan-kenyataan yang telah dikemukakan di atas, membawa kita pada satu konsekuensi logis bahwa pemerintah harus lebih memperhatikan kondisi pendidikan dan kesejahteraan guru di daerah perbatasan. Untuk tujuan tersebut, setidaknya ada empat langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, membangun sarana dan prasarana pendukung pendidikan seperti gedung sekolah dan fasilitas belajar lainnya. Kedua, meningkatkan kesejahteraan guru di daerah perbatasan melalui gaji yang layak dan tunjangan hari tua. Ketiga, meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan-pelatihan dan keempat, mengembangkan kurikulum yang sesuai untuk diterapkan di daerah perbatasan.
Kesimpulannya, mendapat pendidikan dan pengajaran merupakan hak bagi setiap warga negara. Oleh karena itu, negara harus menjamin dan mengusahakan terselenggaranya pendidikan yang berkualiatas bagi seluruh warga negara baik yang berada di kota maupun di daerah perbatasan sehingga ketimpangan kondisi pendidikan di Indonesia dapat dihapuskan.
DAFTAR REFERENSI
Judul: “ Sekolah Kawasan dan Ketimpangan Mutu Pendidikan ”
Pengarang: Charolina Luthfiya
Data publikasi: diakses dari http://www.antara.co.id/seenws/?id=40616 Menggunakan google! Pada tanggal14 November,2008,20:30 oleh Najmu Laila.

Judul: “ Mengatasi Permasalahan di Daerah Perbatasan ”
Pengarang: Tri Poetranto, S.Sos.
Data publikasi: diakses dari http://www.buletinlitbang.dephan.go.id Menggunakan google! Pada tanggal 16 November,2008,16:30 oleh Najmu Laila.