Rabu, 25 November 2015

Selamat Ultah, Guruku..



Satu kali istri saya pernah bertanya kepada saya, “Tahukah bang, siapa yang paling berjasa dalam kehidupan kita selain ayah dan bunda?”.
Saya terdiam dan mulai berfikir. “Kau.. istriku tercinta..”
Istriku tertawa, “Salah..”, jawabnya.
“Lantas siapa?” Tanya saya lagi.
“Semua guru-guru sedari kita ber-Sekolah Dasar”, jawabnya singkat.
Lama saya tercenung memikirkan jawabannya. Teringat kembali akan nakalnya saya sewaktu kecil dahulu dan betapa guru-guru yang sangat sabar itu –yang bahkan tak pernah ringan tangan dengan kelakuan kita yang mungkin sangat mengganggu mereka. Guru-guru sekolah dasarku, mereka-mereka yang saya bahkan hampir lupa akan raut mukanya. Hampir genap delapan belas tahun sudah saya terakhir bersua dengan semua guru-guru di sekolah dasarku itu.
Ayahku kebetulan adalah seorang guru Sekolah Dasar juga. Dalam detik-detik terakhir kematiannya, beliau masih tercatat sebagai pengajar aktif di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang bernama MIN Lhong Raya. Saya tak tahu dengan pasti, seberapa banyak murid-murid yang telah ia didik untuk bisa membaca dan menulis. Beliau sendiri bahkan tak pernah berusaha menghitung seberapa banyak sudah murid-murid yang telah diajarinya membaca doa, melafadz ayat Al-Quran, dan mengajar bagaimana bertatakrama dalam kehidupan keluarga dan lingkungan. Satu kali ayah pernah berkata kepadaku, “Ilmu yang telah ayah ajarkan pada murid-murid adalah pundi-pundi pahala bagi ayah pada saat ayah telah berada di liang lahat. Dan kita.. tak layak menghitung seberapa banyak amal baik yang telah pernah kita lakukan”.
Hari ini, ada begitu banyak profesi yang bisa kita pilih di negeri ini. Tapi hari ini juga, ada begitu banyak pula orang tua yang masih memaksa anak-anaknya untuk berprofesi seperti yang mereka inginkan. Banyak orang tua yang hari ini memaksa anak-anak mereka untuk menjadi seorang dokter, ada banyak pula orang tua yang ingin anaknya kelak menjadi insinyur seperti dirinya, bahkan ada lebih banyak lagi anak-anak yang dengan sendirinya bercita-cita untuk menjadi seorang presiden atau astronot. Tapi.. seberapa banyak anak kecil yang hari ini begitu terinspirasi oleh kecintaan guru-gurunya kepada mereka? Hanya sedikit anak-anak di negeri ini yang bisa menjawab dengan lantang, jika mereka kelak ingin menjadi seorang “guru”. Dan jika kita mau jujur dengan diri kita sendiri, kita bahkan tidak ingin anak kita kelak menjadi seorang guru, pun keinginan itu datang, itu pada saat kemampuan anak-anak kita sangat terbatas, atau pada saat mereka tidak bisa melewati ujian untuk menjadi seorang sarjana hukum atau sarjana ekonomi.
Harus saya akui, orang tua saya mungkin termasuk dalam kategori orang tua yang memaksa anak-anaknya untuk berprofesi seperti yang mereka inginkan. Sedari saya kecil, ayah telah memimpikan jika saya kelak akan menjadi seorang dokter. Dengan gaji beliau yang minim, beliau tetap memaksa saya mengikuti les tambahan ataupun kegiatan ekstrakurikuler lain yang berhubungan dengan ilmu eksakta. Beliau juga menaruh minat dan perhatian yang besar akan nilai-nilai biologi saya –sejak saya di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Pernah saya berontak dan terlibat pertikaian yang panjang sewaktu ayah memaksa saya untuk memilih Fakultas Kedokteran sebagai pilihan utama saya –pada saat itu saya baru saja menamatkan Sekolah Menengah Umum. Tapi lagi-lagi saya harus menurut dengan keinginannya, dan masih terngiang jelas ditelinga saya sewaktu beliau berkata, “Nak.. Ayah hanya seorang guru biasa yang -karena ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dulunya- hanya bisa menamatkan SMU. Tak ada yang bisa membagiakan hati dari seorang ayah selain melihat anak-anaknya bisa bersekolah lebih tinggi darinya dan memiliki derajat hidup yang lebih baik darinya. Percayalah nak, ayah tahu benar apa yang kamu butuhkan. Dan menjadi seorang dokter adalah yang terbaik untuk masa depanmu”.
Saya tidak menyalahkan pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh seorang ayah kepada saya waktu itu, saya juga tidak menyalahkan kehidupan yang “terlalu sederhana” yang kami jalani. Saya tidak sedang berbicara tentang penyesalan ataupun kemiskinan, tapi saya berbicara tentang profesi yang ayah saya jalani yang membuatnya melarang anak-anaknya untuk menjalani hal yang sama. Nasib ayah dan ribuan guru yang ada di negeri ini masihlah jauh dari mapan, dan mereka yang telah memilih untuk menjalaninya adalah mereka-mereka yang menurut saya sangat rendah hati, tak silau akan materi dan memiliki kemauan untuk terus bisa memberi.
Teringat ayah, saya menjadi teringat nasib ribuan guru-guruku yang sampai hari ini masih berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak untuk mereka serta anak-anak mereka. pastinya masih banyak guru-guru yang saya yakin masih berpikir yang sama seperti ayahku, bahwa untuk mendapat kehidupan yang lebih menjanjikan adalah dengan tidak memilih berprofesi sebagai guru. Saya tak pernah bisa membayangkan apa jadinya nasib bangsa ini jika guru tak pernah ada, jika semua orang menghindar untuk menjadi seorang pengajar, dan jika guru hanyalah menjadi profesi terakhir yang akan dipilih oleh setiap anak-anak setelah mereka gagal meraih cita-cita yang mereka harapkan.
Hari ini.. dan semoga selama-lamanya.. saya masih sangat takjub dengan ayah saya dan ribuan orang lainnya yang telah memilih garis hidup mereka untuk mengabdi dengan menjadi seorang pengajar. Bukanlah hal yang mudah untuk bersikap sabar dengan seorang anak kecil yang nakal –yang mungkin kelak ia akan menjadi seorang presiden. Bukan hal yang mudah untuk terus mengajar dan mewariskan ilmu bagi jutaan anak-anak jika pada saat yang sama keringat mereka dihargai dengan sangat minim, dan bukan hal yang mudah pula untuk ribuan guru-guru bakti yang sampai hari ini masih berjuang di pedalaman dan seluruk pelosok negri, membuat anak-anak desa terpencil menjadi melek huruf, dan meminjamkan bakat imaginasinya untuk mengambarkan betapa hebatnya dunia di luar sana.
Guruku..
Kami meminta maaf, untuk semua bentuk kealpaan yang telah kami perbuat. Untuk ilmu yang bermanfaat, untuk pengalaman hidup yang hebat, dan untuk semua kesabaran dalam mendidik kami, seharusnya kami datang ke rumahmu saat lebaran tiba untuk mencium kaki kalian. Tapi jangankan di hari raya, saat kalian telah tiadapun kami lupa mengucap belasungkawa.
Guruku..
Kami meminta maaf untuk semua bentuk kekurangajaran yang telah kami lakukan. Untuk semua doa agar kami bisa menggapai mimpi kami, untuk semua tahajud yang bermunajat untuk keberhasilan kami, dan untuk semua harapan agar kami kelak menjadi orang berguna, kami bahkan tak pernah berdoa sekalipun untuk kebahagiaan kalian, apalagi duduk dengan takzim sembari melafadz ayat-ayat Al-Quran di pusara kalian.
Guruku..
Berkat doa dan sikap yang kalian tunjukkan, sedikit banyak saya telah mengerti akan makna kehidupan. Bahwa hidup bukanlah selalu diukur dari seberapa jauh kita telah berjalan dan seberapa banyak materi yang telah berhasil kita kumpulkan, tapi keberhasilan hidup seseorang itu diukur dari kualitas apa yang telah kita lakukan dan seberapa banyak orang yang telah tersenyum bahagia oleh pengabdian serta uluran tangan kita.
Terimakasih guru-guruku, kalian semua adalah pahlawan-pahlawanku...
Selamat berulang tahun di hari ini  25 November 2015..
Dan semoga nikmat surga slalu menaungi hidup kalian semua..
Amien…

sumber : http://www.kompasiana.com/munawar.ali

Tidak ada komentar: