Selasa, 23 April 2013

Perbedaan S1, S2, dan S3

Mahasiswa saya pernah bertanya, apa sebenarnya perbedaan antara S1 dan S2. Jika ditambah dengan perbedaan S2 dan S3, maka pertanyaan lengkapnya adalah seperti judul di atas: Apa perbedaan S1, S2, dan S3? Pertanyaan seperti ini wajar muncul sebab setelah melihat Tugas Akhir (skripsi) mahasiswa S1, tesis mahasiswa S2, dan disertasi mahasiswa S3 kok tidak terlihat perbedaan yang signifikan? Tesis S2 dilihat oleh mahasiswa saya sama seperti pekerjaan TA mahasiswa S1, bahkan mungkin lebih rendah kualitasnya daripada TA mahasiswa S1. Mungkin juga disertasi S3 kualitasnya sama seperti tesis S2, atau bahkan lebih rendah lagi.
Di ITB saya sering menguji tesis S1 dan S2, kalau menguji mahasiswa S3 baru sebatas ujian kualifikasi yaitu menguji proposal mahasiswa S3 tahun pertama. Pernah ketika menguji tesis mahasiswa S2 saya merasa heran, tesis semacam ini kok bisa maju sidang, kualitasnya jauh di bawah TA mahasiswa S1 yang saya bimbing. Ah, mungkin dosen pembimbingnya asal menerima topik saja dan tidak memperhatikan substansi tesis, begitu dugaan saya. Sebaliknya ketika menguji TA mahasiswa S1 saya pernah takjub karena kualitasnya melampaui tesis S2 atau bahkan sudah hampir menyamai disertasi S3.
Kalau begitu apa sebenarnya perbedaan program S1, S2, dan S3? Kalau hanya melihat dari kualitas TA dan tesis saja tentu belum mendapat gambaran bedanya apa, harus dilihat juga kurikulumnya. Kurikulum S1 sifatnya umum (general), karena mahasiswa S1 perlu mempelajari semua subjek dalam bidang ilmunya. Sedangkan kurikulum S2 lebih spesifik mendalami suatu sub-bidang di dalam bidang ilmu itu. Meminjam istilah Pak Armein, S1 itu cenderung generalis sedangkan S2 itu cenderung spesialis.
Ambil contoh pada Program Studi S1 Informatika ITB, semua subjek di dalam bidang informatika/computer science dipelajari oleh mahasiswa, yaitu algoritma dan pemrograman, struktur data, matematika diskrit, basisdata, rekayasa perangkat lunak, sistem informasi, jaringan komputer, inteligensia buatan, komputer grafika, sistem operasi, otomata dan teori bahasa. Mahasiswa yang ingin mendalami suatu subjek tertentu di Informatika dapat mengambil mata kuliah pilihan seperti kriptografi dan keamanan komputer, pemrosesan bahasa alami, teknik kompilasi, temu-balik informasi, sistem pakar, dan lain-lain.
Program S2 adalah kelanjutan program S1, oleh karena itu mata kuliah di S2 lebihadvance dan yang dipelajari adalah sub-bidang yang lebih spesifik. Pada program S2 Informatika ITB terdapat beberapa opsi atau pilihan, yaitu opsi computer science, opsi Sistem Informasi, opsi Rekayas Perangkat Lunak, opsi Teknologi Informasi, opsi Game, opsi Keamanan Informasi, dan lain-lain. Masing-masing opsi mempunyai kurikulum yang berbeda namun terdapat mata kuliah yang sama (common) untuk semua opsi tadi. Dengan tawaran berbagai opsi tadi mahasiswa dapat menekuni sub-bidang yang akan menjadi spesialisasinya nanti.
Program S3 jelas berbeda dengan S1 dan S2. Di S3 tidak ada kuliah kelas (kecuali kuliah filsafat ilmu), sebab kuliah S3 fokusnya adalah riset mandiri, mahasiswa melakukan riset selama bertahun-tahun untuk mengembangkan pengetahuan baru. Seringkali riset itu berangkat dari suatu hipotesis, dan melalui rangkaian metodologi penelitian ilmiah yang terstruktur hipotesis itu dibuktikan kebenarannya. Kebenaran hipotesis itu menjadi sebuah metode baru sebagai kontribusi bagi ilmu. pengetahuan.
Dalam bahasa saya yang sederhana, perbedaan antara S1, S2, dan S3 dapat dinyatakan dalam sebuah kalimat sebagai berikut: di S1 mahasiswa mempelajari (satu atau lebih) metode, di S2 mahasiswa mengembangkan metode, sedangkan di S3 mahasiswa menghasikan metode (baru). Oleh karena itu, Tugas Akhir mahasiswa S1 adalah mengaplikasikan suatu metode untuk menyelesaikan sebuah persoalan, Tesis S2 mengembangkan metode yang spesifik agar dapat diaplikasikan untuk persoalan yang lebih luas, sedangkan disertasi S3 menghasilkan metode baru yang lebih baik daripada metode yang sudah ada sebelumnya

sumber : rinaldimunir.wordpress.com

Jumat, 12 April 2013

Cerita Dari Tapal Batas : sebuah arti dari masyarakat perbatasan





Sebuah cerita harus dikatakan
Sebuah cerita harus di dengarkan
Sebuah cerita harus dituliskan

Sajak pembuka sebuah film dokumenter berjudul “Cerita dari Tapal Batas” membuat saya tersentuh, begitu menggelorakan jiwa saya ketika menontonnya. Sebuah karya anak bangsa yang wajib di Apresiasikan dengan tinggi, wajib dicermati dengan seksama, wajib dihayati dengan sempurna.
Film karya Sutradara Wisnu Adi yang baru 5 menit yang lalu selesai saya tonton sepertinya sudah menggeser film yang menjadi “my best favorite film”. Ya tentu saja, selama ini saya hanya mencari hiburan semata dari menonton film. Tidak membuat saya berpikir, merasakan dan membangkitkan semangat diri saya akan hal yang urgent dilakukan oleh kita-sebagai orang Indonesia yang menjunjung persaudaraan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika- dari Film dokumenter ini.
Cerita dari Tapal Batas, cerita dari masyarakat Indonesia di perbatasan...
Entikong, sebuah wilayah di paling utara Indonesia yang seakan tak bertuan, secara yuridis masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun hanya sampai batas yuridis saja wilayahnya diakui. kenyataannya? Pemerintah sama sekali tak menjamah wilayah terpelosok tersebut.
Sungguh miris melihat secara langsung potret wilayah perbatasan kita, wilayah perbatasan Indonesia yang diagung-agungkan sebagai beranda negara, tak lebih dari sekedar sebuah julukan.
Awal film ini menceritakan seorang Martini, guru sekolah dasar di kabupaten Badat Baru, kecamatan Entikong yang sehari-harinya mengajar demi sebuah harapan supaya anak-anak memiliki ilmu yang nantinya kelak akan mengantarkan  ke Cita-cita mereka. Mungkin Sangat sulit bagi masyarakat sekarang khususnya yang tinggal di perkotaan bisa mengharapkan anak-anak memiliki cita-cita dengan tinggal di tempat dengan pendidikan jauh dari standar seperti di kebupaten Bandat Baru ini, namun mereka, anak-anak tak pernah kehilangan semangat untuk belajar walaupun minim prasarana.
Sangat salut dengan perjuangan seorang guru bernama Martini yang masih mau mengabdikan diri pada bangsa dengan menularkan ilmu yang ia punya kepada anak-anak di kecamatan Bandat Baru, Entikong. Semata-mata agar anak-anak mendapat pendidikan “saya ingin menunjukan kepada mereka (masyarakat) bahwasanya pemerintah itu masih memperdulikan mereka”.
Martini bekerja sendiri pada sekolah, merangkap sebagai kepala sekolah, guru, administrator dan pesuruh secara bersamaan dengan jumlah murid dari kelas 1 hingga kelas 6 sekitar 100 murid, memegang kendali atas semuanya setiap harinya.
Sarana pendidikan disana sangat miris kalau tidak bisa dikatakan mengenaskan, satu bangunan memanjang dibuat sebagai ruang kelas yang terbagi menjadi tiga ruangan. Papan tulis yang sudah patah, lantai kayu berlubang, meja kursi jauh dari kapasitas dan kenyamanan. Seolah tak masalah bagi Martini, ia hanya berharap muridnya mampu menyerap pelajaran dengan baik.
Wawasan kebangsaan menjadi suatu pelajaran wajib setiap harinya, semata-mata untuk mengingatkan kembali murid-muridnya mengenai identitas mereka, Warga Negara Indonesia yang berbendera Merah Putih, berlagu Indonesia Raya dan bermata uang Rupiah.
“Sejauh mana pemerintah mengerti pendidikan salah satu jalan untuk merubah pemikiran bahwa mereka adalah Indonesia, dan mengerti di batas mana mereka berdiri sekarang”
Namun seolah tak bisa dielakkan, kemiskinan menjadi faktor utama yang menghambat pendidikan anak-anak di Bandat Baru, mereka rata-rata bersekolah hanya sampai SD saja, setelahnya bekerja mencari kayu atau bercocok tanam untuk mencari pundi-pundi uang. SMP memang tidak ada di Bandat Baru, hanya ada di kecamatan Entikong yang memakan waktu 12 jam untuk perjalanan. Akhirnya masyarakatpun tak hanya miskin harta, namun juga miskin akan harapan. Harapan untuk sekolah.
Realita tak pernah berbicara, namun selalu berwujud bukti...
Masyarakat cenderung apatis dengan pemerintahan sendiri, memang bukan salah mereka karena selama ini memang pemerintah yang lebih dulu bersikap apatis terhadap masyarakat Entikong. Tak ada bantuan dari pemerintah yang masuk sampai ke wilayah ini, bahkan listrik yang menjadi kebutuhan vital belum pernah masuk ke daerah ini. Alhasil masyarakat tak lagi menganggap ada pemerintah, mereka hanya menggantungkan pada kemampuan mereka, melakukan sebisa mereka . Sungguh miris...
Kusnadi salah satu tokoh yang masih rela mengorbankan diri menjadi mantri kesehatan di Kabupaten Bandat Baru. Ya, hanya dia sattu-satunya.. setiap harinya kusnadi berjalan melewati sungai mendaki gunung untuk memberikan obat bagi masyarakat yang sakit. Hal tersebut dilakukannya setiap hari semata-mata agar masyarakat bisa memperoleh fasilitas kesehatan dengan memadai. Sejauh yang kusnadi mampu.
Bicara Nasionalisme, mereka telah melakukannya lewat kerja dengan cara mereka sendiri.

di Entikong, simbol-simbol negara jadi tak ada artinya
pun arti negara hanya sebuah ungkapan saja...
Malaysia yang menjadi negara terdekat mereka seakan menjadi harapan baru bagi masyarakat Entikong untuk mencari kesejahteraan hidup. Mereka berbondong-bondong mencari lapangan pekerjaan ke Malaysia dengan pemerintah mereka yang menyambut dengan hangat, tak jarang banyak yang berganti Kewarganegaraan Malaysia karena sudah nyaman dengan kehidupan yang menjanjikan.
Jauhnya kekuasaan dan dekatnya kemiskinan membuat mereka tak ada pilihan
Berganti menjadi WN Malaysia bukan hal yang memberatkan lagi bagi masyarakat Entikong, mereka mengerti batas negara hanya sebagai ungkapan saja itupun sosial, budaya bahkan ekonomi jauh melebihi dari arti yang sebenarnya.
Siapa sudi hidup dalam kemiskinan di daerah terpencil ?
Ya, memang masalah perbatasan ini seharusnya sudah dari lama diangkat, agar mereka-mereka yang tengah duduk manis di kursi kekuasaan melihat dengan jelas potret masyarakatnya yang tak pernah mereka sentuh, yang lebih memilih untuk menggantungkan hidup pada negara lain.
Masihkan pemerintah peduli? Masihkah pemerintah mempunyai malu? Ini kita, sebuah bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”

Ironis,Mengajar dengan sarana yang jauh dari standar

Badat Baru,desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia

"Saya ingin anak-anak punya ilmu ! "

Rupiah ? saya tidak mengenalnya

Martini,Sosok teladan seorang guru

Bendera hanya sebuah lambang di perbatasan


ini yang namanya IRONIS

ada yang sudi?

salah siapa?