Selasa, 08 Januari 2013

Realita Kehidupan Rakyat Jelata di Negeri Sendiri



Mereka yang pernah hadir di kota - kota besar, tentu akan menemukan suatu realitas yang sangat memprihatinkan, yaitu tentang hidup dan kehidupan wong cilik. Mereka yang ada di lapisan terbawah dari struktur sosial. Yang kasat mata, mulai dari masalah makanan, air bersih, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan sampai dengan masalah lingkungan tempat tinggal. Apakah ini keadaan yang hanya di kota besar?


Kalau kita menuju angka statistik (resmi), maka tampak bahwa mereka yang miskin, atau wong cilik yang ada dibawah garis kemiskinan, justru lebih banyak (dalam jumlah) berada di pedesaan, ketimbang di kota. Keadaan mereka yang ada di desa, tidak jauh berbeda, yakni kualitas gizi yang buruk, akses air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan masalah - masalah lain. Mengapa hal ini terjadi?

Wajah wong cilik, sebagaimana aslinya justru muncul ketika musim kampanye tiba. Penguasa berusaha menutup realitas, dan menyodorkan realitas palsu, terutama melalui angka - angka statistik yang tidak berjiwa. Para pendatang baru, umumnya jeli dengan realitas, dan mengangkat realitas ke permukaan, sebagai kritik kepada penguasa, tentu dengan maksud mengambil hati rakyat, agar perubahan bergulir.

Wong cilik, dapat dikatakan berada dalam posisi pasif. kadang dihadirkan untuk suatu keperluan tertentu dan kadang dimangkirkan untuk urusan yang lain. Ada kesan, bahwa wong cilik di kondisikan dan diposisikan menjadi obyek pihak yang sekedar menerima apa saja yang akan terjadi. Kalaupun hendak dilibatkan, maka pelibatan wong cilik hanya sebatas pada pelibatan politik di TPS (tempat pemungutan suara).

Apakah gerakan pemberdayaan yang dimotori oleh lembaga - lembaga swadaya masyarakat tidak dimaksudkan untuk menjadikan rakyat sebagai subyek? kalau kita melihat dinamika yang berkembang, mulai dari masalah berkait dengan kemiskinan, pembangunan pedesaan sampai pada isu anti korupsi, maka sangat nampak bahwa wong cilik bukan pihak yang ada di barisan depan. Wong cilik hanya pelengkap dan atau sebagai alas kaki dari berbagai kekuatan yang ada diatasnya.

Mengapa demikian? Apakah keadaan ini memang yang sudah semestinya terjadi? Apakah rakyat memang hanya berhak untuk menjadi pihak yang pasif (sebagai obyek) ataukah wong cilik (sesungguhnya) punya hak mendapatkan posisi yang lebih sebagai subyek. Apakah politik hanya arena dari mereka yang ada di lapis atas? Apakah politik memiliki syarat yang tidak memungkinkan rakyat, wong cilik, ambil bagian secara aktif?

Sejauh ini kita menangkap ada dua isu utama yang dapat dikatakan berpotensi menghalang - halangi keterlibatan rakyat, yakni, pertama, isu dengan biaya politik yang mahal. Entah darimana sumber mulanya, namun kini sangat santer terdengar bahwa politik membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dibalik kasus - kasus hukum yang menimpa para politisi, termuat kabar bahwa politik mahal, dan karena itu pula para politisi membenarkan semua cara agar dapat memasuki area politik.

Akibatnya arena politik bukan menjadi arena perjuangan idealisme, melainkan sebagai medan transaksi. Politik tidak lebih sebagai lokasi 'dagang sapi'. Identik dengan urusan proyek dan jauh dari kepentingan rakyat. Kalaupun politik datang ke rakyat, maka hal itu tidak lebih sebagai suatu bentuk persuasi untuk mempertahankan kursi, atau sekedar merebut kursi. Politik belum menjadi arena rakyat, belum menjadi tempat dimana rakyat memperjuangkan seluruh kepentingannya dalam rangka mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna.

Kedua, isu yang berkaitan dengan kapasitas. Digambarkan bahwa politik adalah arena bagi mereka - mereka yang kapasitas tertentu, bukan arena bagi wong cilik. Pengkondisian sangat nampak ketika debat kandidat dalam pilkada atau pilpres. Mereka yang menjadi penguji bukan rakyat, tapi para akademisi.

Dengan demikian menjadi perspektif kepemimpinan, bukan perspektif rakyat, melainkan perspektif akademik. Realitas ini tentu akan sangat sulit ditembus oleh wong cilik yang dengan demikian sampai akhir zaman tidak mungkin wong cilik dapat meraih kepemimpinan politik.

Apakah berarti dalam politik dan soal kepemimpinan tidak dibutuhkan kapasitas? Tentu saja tidak. Namun dengan mengidentikan kapasitas sebagai kualitas akademik, tentu akan menjadi masalah yang kompleks. Syarat kapasitas, yang tidak lain adalah syarat akademik adalah untuk terbuka membatasi akses rakyat untuk ambil bagian secara aktif dalam arena politik. Kita membutuhkan dialog untuk mengkaji lebih jauh dan lebih dalam masalah ini, agar akses wong cilik terbuka lebar dan bermakna.

Bagi kita, berbagai masalah yang dihadapi wong cilik, sesungguhnya hanya akan dapat diatasi secara benar, manakala mereka terlibat, dalam makna yang sebenar - benarnya. Kesadaran politik wong cilik perlu dibangkitkan, diperkuat dan disisi lain, ruang akses dibuka selebar - lebarnya. Kita percaya kampus dan elemen yang punya kesadaran akan hal ini, akan bergerak ke arah sana. Dengan itu, kita percaya politik akan kembali ke pangkuan wong cilik, menjadi arena perubahan nasib, sebagaimana maksud dari kemerdekaan.

Senin, 07 Januari 2013

Selamat Datang Kurikulum 2013



Pagi itu empat tahun yang lalu anak saya pertama protes tidak mau berangkat ke sekolah dengan alasan sekolahnya tidak asyik. Saya kaget atas jawaban yang dia lontarkan. Saat itu anak saya baru satu minggu masuk sekolah sebagai siswa baru kelas 1 SD. Pertanyaan susulan saya lemparkan untuk lebih mengetahui akar permasalahan. Dia enteng anak saya menjawab, “mana asyik sekolah harus duduk di kursi dari pagi sampai siang, lebih asyik sekolah di TK”. Jawaban lanjutan dia lontarkan akan keinginan kembali ke TK lagi. Saya penasaran dan mengajukan pertanyaan lagi, kenapa di TK enak? Anak saya menjawab, “ya enak dong, banyak bermain dan boleh lari-lari dalam kelas”.
Ilustrasi di atas saya coba untuk berdiskusi tentang kurikulum baru atau dikenal dengan kurikulum 2013. Pro dan kontra bermunculan disana-sini. Perubahan kurikulum adalah pekerjaan besar. Berubahnya kurikulum akan merubah empat aspek yang terkait di dalamnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kelulusan, dan standar penilaian. Setelah berubah pun, kurikulum bukanlah hanya sebagai pajangan, tap harus diterjemahkan lagi dalam buku pengantar pelajaran yang akan disampaikan ke siswa. Tentang standar lulusan, perubahan akan tergambar dari soft skill dan hard skill yang diterjemahkan sebagai kompetensi para lulusan. Kedua kompetensi tersebut harus dinaikkan dan diseimbangkan dengan melibatkan tiga domain, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Dari sisi isi, ada kedudukan mata pelajaran dan pendekatannya. Kalau sekarang kompetensi itu diturunkan dari mata pelajaran, ke depan akan berubah menjadi mata pelajaran yang dikembangkan dari kompetensi. “Jadi mata pelajaran itu kendaraan saja. Kalau mau nyebrang lautan ya pakai kapal. Naik gunung pakai sepeda gunung,” kata Mendikbud M. Nuh.
Untuk standar proses, semula proses terpaku pada eksplorasi, terfokus. Sedang di kurikulum yang baru siswa menjadi lebih aktif dalam observasi. Dan untuk standar penilaian, akan dilakukan dengan berbasis kompetensi. Salah satu pendukung kompetensi itu adalah ekstrakulikuler Pramuka yang wajib diikuti semua siswa. Karena dalam pramuka terdapat leadership, kerja sama, keberanian, dan solidaritas.
Pendekatan kurikulum yang paling kritikal dan krusial berada pada pendidikan dasar SD dan SMP. Karena jika pendidikan di SD bagus, ke belakangnya juga akan bagus. Dan untuk SD-SMP digunakan pendekatan tematik integratif dalam semua mata pelajaran. Konsep ini merupakan metode pembelajaran yang didasarkan atas tema-tema. Dalam satu tema yang diangkat akan merambah ke mata pelajaran lain. “Misalkan pelajaran Bahasa Indonesia, guru mengambil tema sungai. Ada pendekatan observasi seperti apa sungai, apa isinya, kenapa bisa mengalir, dan sebagainya. Semua pendekatan tersebut akan mengarah kepada semua mata pelajaran. Baik bahasa indonesia, sains, agama, dan matematika,” jelas Menteri Nuh.
Pengalaman saya mengajar selama ini sangat jarang menemui anak yang kritis dan selalu mengajukan pertanyaan. Kegiatan belajar mengajar berlangsung monoton satu arah dengan sang guru yang aktif mendorong siswanya untuk belajar. Proses KBM seperti ini menurut Rhenald Kasali berpotensi menghasilkan ”penumpang” ketimbang ”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.
Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin memberatkan.
Datangnya kurikulum 2013 dengan Tematik Integratif patut kita apresiasi. Kurikulum berpikir siswa mendorong ke arah mutu pendidikan yang lebih baik. Selamat datang kurikulum baru menuju pendidikan yang lebih baik. Semoga.