Mereka yang pernah hadir di kota - kota besar, tentu akan menemukan suatu realitas yang sangat memprihatinkan, yaitu tentang hidup dan kehidupan wong cilik. Mereka yang ada di lapisan terbawah dari struktur sosial. Yang kasat mata, mulai dari masalah makanan, air bersih, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan sampai dengan masalah lingkungan tempat tinggal. Apakah ini keadaan yang hanya di kota besar?
Kalau kita menuju angka statistik (resmi), maka tampak bahwa mereka yang miskin, atau wong cilik yang ada dibawah garis kemiskinan, justru lebih banyak (dalam jumlah) berada di pedesaan, ketimbang di kota. Keadaan mereka yang ada di desa, tidak jauh berbeda, yakni kualitas gizi yang buruk, akses air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan masalah - masalah lain. Mengapa hal ini terjadi?
Wajah wong cilik, sebagaimana aslinya justru muncul ketika musim kampanye tiba. Penguasa berusaha menutup realitas, dan menyodorkan realitas palsu, terutama melalui angka - angka statistik yang tidak berjiwa. Para pendatang baru, umumnya jeli dengan realitas, dan mengangkat realitas ke permukaan, sebagai kritik kepada penguasa, tentu dengan maksud mengambil hati rakyat, agar perubahan bergulir.
Wong cilik, dapat dikatakan berada dalam posisi pasif. kadang dihadirkan untuk suatu keperluan tertentu dan kadang dimangkirkan untuk urusan yang lain. Ada kesan, bahwa wong cilik di kondisikan dan diposisikan menjadi obyek pihak yang sekedar menerima apa saja yang akan terjadi. Kalaupun hendak dilibatkan, maka pelibatan wong cilik hanya sebatas pada pelibatan politik di TPS (tempat pemungutan suara).
Apakah gerakan pemberdayaan yang dimotori oleh lembaga - lembaga swadaya masyarakat tidak dimaksudkan untuk menjadikan rakyat sebagai subyek? kalau kita melihat dinamika yang berkembang, mulai dari masalah berkait dengan kemiskinan, pembangunan pedesaan sampai pada isu anti korupsi, maka sangat nampak bahwa wong cilik bukan pihak yang ada di barisan depan. Wong cilik hanya pelengkap dan atau sebagai alas kaki dari berbagai kekuatan yang ada diatasnya.
Mengapa demikian? Apakah keadaan ini memang yang sudah semestinya terjadi? Apakah rakyat memang hanya berhak untuk menjadi pihak yang pasif (sebagai obyek) ataukah wong cilik (sesungguhnya) punya hak mendapatkan posisi yang lebih sebagai subyek. Apakah politik hanya arena dari mereka yang ada di lapis atas? Apakah politik memiliki syarat yang tidak memungkinkan rakyat, wong cilik, ambil bagian secara aktif?
Sejauh ini kita menangkap ada dua isu utama yang dapat dikatakan berpotensi menghalang - halangi keterlibatan rakyat, yakni, pertama, isu dengan biaya politik yang mahal. Entah darimana sumber mulanya, namun kini sangat santer terdengar bahwa politik membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dibalik kasus - kasus hukum yang menimpa para politisi, termuat kabar bahwa politik mahal, dan karena itu pula para politisi membenarkan semua cara agar dapat memasuki area politik.
Akibatnya arena politik bukan menjadi arena perjuangan idealisme, melainkan sebagai medan transaksi. Politik tidak lebih sebagai lokasi 'dagang sapi'. Identik dengan urusan proyek dan jauh dari kepentingan rakyat. Kalaupun politik datang ke rakyat, maka hal itu tidak lebih sebagai suatu bentuk persuasi untuk mempertahankan kursi, atau sekedar merebut kursi. Politik belum menjadi arena rakyat, belum menjadi tempat dimana rakyat memperjuangkan seluruh kepentingannya dalam rangka mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna.
Kedua, isu yang berkaitan dengan kapasitas. Digambarkan bahwa politik adalah arena bagi mereka - mereka yang kapasitas tertentu, bukan arena bagi wong cilik. Pengkondisian sangat nampak ketika debat kandidat dalam pilkada atau pilpres. Mereka yang menjadi penguji bukan rakyat, tapi para akademisi.
Dengan demikian menjadi perspektif kepemimpinan, bukan perspektif rakyat, melainkan perspektif akademik. Realitas ini tentu akan sangat sulit ditembus oleh wong cilik yang dengan demikian sampai akhir zaman tidak mungkin wong cilik dapat meraih kepemimpinan politik.
Apakah berarti dalam politik dan soal kepemimpinan tidak dibutuhkan kapasitas? Tentu saja tidak. Namun dengan mengidentikan kapasitas sebagai kualitas akademik, tentu akan menjadi masalah yang kompleks. Syarat kapasitas, yang tidak lain adalah syarat akademik adalah untuk terbuka membatasi akses rakyat untuk ambil bagian secara aktif dalam arena politik. Kita membutuhkan dialog untuk mengkaji lebih jauh dan lebih dalam masalah ini, agar akses wong cilik terbuka lebar dan bermakna.
Bagi kita, berbagai masalah yang dihadapi wong cilik, sesungguhnya hanya akan dapat diatasi secara benar, manakala mereka terlibat, dalam makna yang sebenar - benarnya. Kesadaran politik wong cilik perlu dibangkitkan, diperkuat dan disisi lain, ruang akses dibuka selebar - lebarnya. Kita percaya kampus dan elemen yang punya kesadaran akan hal ini, akan bergerak ke arah sana. Dengan itu, kita percaya politik akan kembali ke pangkuan wong cilik, menjadi arena perubahan nasib, sebagaimana maksud dari kemerdekaan.