Minggu, 20 Juni 2010

Rich Dad Poor Dad


“Formal education will make you a living, self-education will make you a fortune. – Pendidikan formal akan memberimu kehidupan, sedangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman akan memberimu keberuntungan.”
Jim Rohn 

Robert T. Kiyosaki saat ini semakin populer saja. Tulisannya berjudul Rich Dad Poor Dad, telah menjadi inspirasi banyak orang untuk mendapatkan kebebasan keuangan. Sementara dalam buku lainnya, Robert T. Kiyosaki mengungkapkan teori Cashflow Quadrant. Ia menyarankan dan mengungkapkan tips bagaimana berpindah kuadran, dari kuadran E (pegawai) dan kuadran S (pekerja lepas) ke kuadran B (pebisnis) dan kuadaran I (investor).

Dalam tulisannya Kiyosaki mengungkapkan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebebasan waktu dan keuangan. Sementara pendidikan bukanlah syarat mutlak untuk mendapatkan kebebasan waktu maupun keuangan. Inti pesan dalam buku-buku tersebut telah mengilhami optimisme banyak orang yang tidak berpendidikan dalam meraih kesuksesan.

Tetapi bagi sebagian orang, tulisan Robert T. Kiyosaki itu telah memicu pertanyaan. Bila pendidikan bukan faktor penentu kesuksesan atau mendapatkan kekayaan, lalu apakah pendidikan tidak penting? Saya sering mendapatkan pertanyaan seperti itu, di radio maupun dalam seminar (public talk).

Saya berpendapat bahwa kekayaan yang diungkapkan oleh Robert T. Kiyosaki tidak dapat diartikan dari segi materi saja. Kekayaan meliputi ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang. Saya sendiri mengapresiasikan ‘Ayah miskin’ dalam buku Kiyosaki sebenarnya adalah orang kaya dan sukses.

Memang ‘Ayah miskin’ dalam tulisan Kiyosaki tidak sekaya ‘ayah kaya’ dari segi materi. Namun dari segi ilmu pengetahuan dan karir, ‘ayah miskin’ tergolong orang kaya dan sukses. Gelar Ph.D yang telah diraih ‘ayah miskin’ menunjukkan bahwa ia kaya ilmu pengetahuan, sehingga mampu meraih gelar yang cukup tinggi di dunia pendidikan. Dengan ‘kekayaannya’ yaitu ilmu pengetahuan dan pendidikan, ‘ayah miskin’ berhasil meraih posisi sebagai kepala Departemen Pendidikan di negara bagian Hawaii. Prestasi ‘ayah miskin’ itu menunjukkan bahwa selain kaya ia juga sukses dalam karir.

Berdasarkan uraian diatas, saya bermaksud menegaskan bahwa pendidikan di sekolah sangat penting. Pendidikan sekolah memang tidak menjamin seseorang pasti berhasil meraih kesuksesan atau kekayaan. Tetapi sistem, kedisiplinan dan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah melatih para pembelajar bertindak disiplin dan bijaksana, bersikap positif, serta memiliki cara berpikir logis. Ketiga faktor itu sangat berpengaruh terhadap prospek kesuksesan seseorang dalam karir maupun keuangan. 
Salah satu contoh pendidikan yang hanya ada di sekolah adalah strategi belajar. Strategi yang diajarkan kepada siswa-siswi di sekolah tersebut sangat membantu mereka memperbaiki kualitas pemikiran dan sikap. Semakin baik kualitas pemikiran dan sikap seseorang mengindikasikan kualitas kehidupan yang baik juga. Tidak sedikit orang-orang yang telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan selama belajar di sekolah sangat bermanfaat untuk mengimplementasikan impian mereka kedalam kenyataan dan mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.

Tetapi bukan berarti pendidikan dari sekolah itu sudah mencukupi kebutuhan kita akan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Untuk seterusnya, kita harus aktif mencapai kemajuan dengan terus belajar. Belajar adalah cara yang paling produktif menggunakan waktu dengan cara yang bijaksana dan mendidik, serta mendukung upaya kita mengembangkan diri dan mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.

Belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Bisa jadi kita akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang luar biasa selama bergaul dengan orang-orang yang antusias dan penuh semangat, atau orang-orang yang mau berbagi nilai-nilai positif dengan kita. Kita dapat juga belajar dan memperbarui kehidupan lewat buku-buku, kaset, dan seminar. Dengan kata lain, kita harus senantiasa belajar dari universitas kehidupan ini atau sering disebut pula dengan School of HardKnocks. 
Alfin Toffler menegaskan tentang pentingnya melakukan pencarian ilmu pengetahuan, informasi dan pengalaman secara terus menerus. Ia mengatakan, “The illiterate of the year 2000 will not be the individual who cannot read and write, but the one who cannot learn, unlearn, relearn. – Orang buta huruf pada tahun 2000-an bukanlah orang yang tidak dapat membaca ataupun menulis, melainkan orang yang tidak mau belajar, tidak belajar, dan tidak belajar kembali. ” 

Di sekolah mungkin kita dapat belajar mengenai strategi berbisnis berdasarkan wilayah atau jenis bisnis secara umum. Tetapi untuk mengembangkan bisnis berdasarkan tempat dan jenisnya secara spesifik, kita harus belajar dari buku, pengalaman, orang lain dan lain sebagainya. Di sekolah mungkin kita belajar mengenai manajemen, ilmu keuangan, dan bisnis. Sedangkan dari universitas kehidupan ini kita dapat belajar dan menguasai ilmu pengetahuan bagaimana menciptakan kekayaan, salah satunya belajar dari buku tulisan Kiyosaki itu. 

Mungkin tidak pernah ada sekolah formal yang khusus memberi pelajaran supaya kita menjadi orang tua yang baik. Tetapi di sekolah kita pasti diajar bersikap disiplin dan bersopan santun. Bukan ide yang buruk seandainya kita juga punya kemauan untuk menggunakan apa yang sudah kita peroleh di sekolah sambil belajar dari kehidupan ini untuk menjadi orang tua yang lebih bijaksana. 

Menjadi bagian dari masyarakat L3 – life-long learning, atau belajar untuk seterusnya merupakan langkah efektif untuk memperkaya diri kita dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Pendidikan dari kehidupan dan sekolah merupakan paduan pendidikan yang paling ideal. Pendidikan dari keduanya menjadikan kita kaya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dapat kita manfaatkan untuk mengekspansi kualitas kehidupan, menjadi lebih bahagia dan kaya dari segi materi maupun ilmu pengetahuan, atau menjadi segala yang terindah. 

Lalu saya berkesimpulan bahwa ide-ide maupun personifikasi ‘ayah kaya’ dan ‘ayah miskin’ yang disampaikan oleh Kiyosaki bukan berarti kita dapat mengabaikan pendidikan formal ataupun pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kehidupan ini. ‘Ayah miskin’ dalam Rich Dad, Poor Dad sangatlah kaya ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pendidikan maupun kehidupannya. Menurut saya, ‘ayah miskin’ itu sesungguhnya tidak miskin.

* Andrew Ho adalah motivator Asia, pengusaha, dan penulis buku best seller Highway to Success.

Selasa, 08 Juni 2010

Menyeimbangkan Pendidikan




SEBAGAI salah seorang wakil presiden dari suatu organisasi pendidikan tingkat internasional, Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE), yang bermarkas di Tokyo, saya memiliki banyak teman yang mengelola sekolah dan perguruan tinggi di Jepang, khususnya Tokyo. Bukan itu saja, "dapur" beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jepang pernah saya kunjungi.

Dari beberapa kali berinteraksi dengan masyarakat Jepang, khususnya masyarakat pendidikan, ada satu hal yang membedakan karakter kaum intelektual Jepang dengan kaum intelektual di negara-negara lainnya termasuk Indonesia, yaitu tentang sikap kesantunannya. Jangankan siswa dan mahasiswa, dosen berpredikat doktor dan profesor pun senantiasa bersikap santun terhadap orang lain. Profesor Hideo Moriyama dari Kyushu University dan Horikoshi dari Ichigaya-co adalah contoh konkretnya. Meskipun mereka adalah orang terkenal, memiliki kedudukan terhormat, dan disegani banyak orang, tetapi sikapnya senantiasa santun terhadap orang lain termasuk kepada mahasiswanya.

Kalau kita mau jujur, masalah kesantunan, yang kelihatannya sederhana, seperti itulah yang sekarang ini mulai menghilang dari khasanah pendidikan nasional kita. Secara historis kesantunan dan kejujuran sangat ditekankan oleh Kaisar Matsuhito atau yang lebih dikenal dengan sebutan Meiji Tenno. Meski pada 1868, ketika diangkat sebagai kaisar masih berusia belasan tahun, Sang Kaisar sudah bertekad akan merebut teknologi Barat dan mengkombinasikannya dengan kesantunan dan kejujuran yang dimiliki Jepang.

Di Jepang, kesantunan dan kejujuran merupakan buah pendidikan, sehingga berimplikasi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau di kereta api ada orang tua yang berdiri maka secara otomatis orang yang lebih muda akan memberikan tempat duduknya. Kalau dalam lift ada beberapa orang maka yang memencet tombol lift adalah orang yang lebih muda, sementara kalau mau keluar lift orang yang tua dipersilakan melangkah terlebih dulu; dan sebagainya. Hal-hal seperti ini merupakan implikasi sikap kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan kejujuran? Bangsa Jepang dikenal sangat jujur. Bila seseorang melakukan ketidakjujuran maka taruhannya adalah bunuh diri. Kesantunan dan kejujuran seperti itulah yang sekarang hilang atau seti-daknya makin menipis dalam pendidikan nasional kita. Di kota-kota besar sekarang, banyak siswa yang tidak mengenal gurunya; dan atas ketidak-kenalannya tersebut rasa kesantunan memudar. Jangankan mau menekankan tombol lift atau membukakan pintu, berpapasan di jalan pun sang siswa bersikap acuh tak acuh dan enggan bertegur sapa.

Bagaimana dengan kejujuran? Kalau kita amati para koruptor di negeri ini banyak kaum terpelajar yang notabene lulusan sekolah atau perguruan tinggi. Kebiasaan tidak jujur, ketika di sekolah dan perguruan tinggi, misalnya, menyontek dalam mengerjakan soal-soal ujian, ternyata dalam jangka panjang telah berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat yang adalah alumnus sekolah dan perguruan tinggi kita.

Perlu Diseimbangkan

Sekarang, banyak siswa kita bangga kalau mampu menembus sekolah berstandar internasional (SBI).

Orangtua beserta keluarganya pun sangat memberikan dorongan dan dukungan agar putra-putrinya berhasil meraih kursi di SBI. Hal itu sangat mudah dimaklumi, karena SBI memang sedang ngetrend meskipun untuk bisa memasukinya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Di tingkat perguruan tinggi, para mahasiswa sangat bangga kalau lem-baganya diakui oleh masyarakat dunia sebagai universitas berkelas dunia atau world class university (WTU). Apalagi, perguruan tinggi di Indonesia yang mampu meraih predikat WTU relatif sangat sedikit jumlahnya. Membanggakan SBI (yang benar-benar SBI) dan WTU (yang benar-benar WTU) tentunya sah dan tidak salah. Memutukan diri melalui lembaga yang berkualitas internasional tentu saja lebih banyak manfaatnya.

Masalahnya, pengembangan SBI dan WTU di Indonesia kurang memperhatikan kesantunan dan kejujuran. Jangan heran kalau banyak siswa SBI dan mahasiswa WTU yang sikapnya egois, kurang perhatian, tidak toleran, merasa pintar sendiri, mengabaikan keunggulan orang lain, dan sikap-sikap destruktif lainnya.

Menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan dengan kesantunan dan kejujuran mutlak diperlukan untuk mengembangkan pendidikan nasional Indonesia. Di tangan presiden terpilih, semuanya akan dapat direalisasikan kalau didasari dengan semangat yang tulus dan penuh kesungguhan.Nah, Bapak SBY, bersiaplah menjalankan amanah rakyat Indonesia untuk menyeimbangkan pendidikan nasional kita!

Ki Supriyoko, Direktur Program Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

Sumber: Suara Pembaruan,

Realitas Perbatasan: Indonesia yang Jauh


INDONESIA terasa jauh di desa-desa Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Warga di sana hidup dalam tatanan sendiri yang terpisah dari hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia yang jauh. Dalam beberapa aspek, mereka justru lebih dekat dengan negara tetangga, Malaysia, dibandingkan Indonesia.

Warga Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berjalan kaki membawa hasil bumi melewati perbatasan untuk dijual ke Malaysia, 19 Februari. Dari Malaysia mereka biasa membeli gula dan bahan makanan lainnya. (KOMPAS/AHMAD ARIF)

Di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, waktu berdetak lebih cepat satu jam dibandingkan dengan waktu Indonesia bagian barat. Warga di sana memilih mengikuti waktu di Negara Bagian Serawak, Malaysia. Mata uang yang dipakai di desa itu pun ringgit Malaysia.

Di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia.

Bertahun-tahun sebelumnya, jalan itu menjadi saksi jutaan kubik kayu gelondongan dari hutan Indonesia yang dibawa ke Malaysia dan diolah di sana. Sisa kejayaan industri kayu itu terlihat dari bekas kilang-kilang kayu di Kampung Biawak, Sarawak, yang hanya selangkah dari perbatasan Indonesia.

Setelah era kayu, jalan itu adalah urat nadi bagi warga desa yang tiap hari melangsir hasil buminya untuk dijual ke Malaysia dan menjadi jalan pulang setelah membeli kebutuhan sehari-hari dari negeri jiran itu. Lima tahun mendatang, jalan-jalan itu kemungkinan akan diramaikan oleh truk-truk sawit ke Malaysia. Hamparan perkebunan sawit di wilayah Indonesia, yang sebagian dimiliki taipan Malaysia, kini menunggu saat panen.

Ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga itulah yang menjadikan Indonesia semakin jauh dan asing di mata warga.

Ketika Indonesia menjadi jauh dan asing di mata warga, sebaliknya di mata pemerintah pusat dan daerah: wilayah perbatasan adalah kantong penyelundupan, gerbang perdagangan manusia dan masuknya tenaga kerja Indonesia tak berdokumen, penyelundupan barang, kayu, dan obat- obat terlarang, hingga daerah rawan penyerobotan wilayah.

Beberapa waktu lalu, media massa di Tanah Air juga meributkan tentang warga Indonesia yang menjadi anggota Askar Wataniyah, paramiliter Malaysia.

Citra negatif yang dilekatkan pada kawasan perbatasan itu sering kali menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan keamanan-politik, dan abai terhadap realitas sosial, budaya, dan ekonomi di belakangnya.

Budaya lintas batas

Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari pembagian teritori oleh para penguasa kolonial yang membagi wilayah kekuasaannya pada abad ke-19 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Akibatnya, batas-batas negara tidak pernah bersinggungan dengan batas-batas kultural.

Hal ini pula yang berlaku di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Awalnya adalah garis di atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan Inggris, pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari timur ke barat.

Masyarakat di kedua sisi batas itu, yang sebagian masih bertalian saudara, dipaksa untuk memiliki identitas bangsa yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates.

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia, dan Inggris di Malaysia, pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan, sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

Namun, garis batas itu tidak dapat menghapus realitas sosial yang ada sebelumnya. Hingga lebih dari 100 tahun kemudian, kelompok sosial yang berada di antara garis batas tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan penggarapan lahan.

”Nenek moyang saya berasal dari Suruh Tembawang (wilayah Indonesia). Saya masih punya tanah garapan di sana dan masih saya usahakan sampai sekarang,” kata Duduh (80), Kepala Kampung Gun Sapit, Sarawak, Malaysia.

Sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di era Presiden Soekarno tak mampu memutus ikatan budaya dan sejarah masyarakat Dayak Bidayuh di wilayah ini. Konflik Indonesia dan Malaysia di masa lalu memang bukan konflik adat mereka.

Interaksi lintas batas ini mengingatkan pada catatan Anton W Niewenhuis dalam bukunya, In Central Borneo (1894), yang menyebutkan, pada tahun 1890-an telah terjadi interaksi sosial, budaya, dan ekonomi antarsuku Dayak dari berbagai macam subetnis di wilayah ini. Selain suku Dayak, juga terdapat etnis China dan Melayu yang berdagang dan sebagian mulai menetap di kawasan ini.

Di mata sebagian masyarakat tradisional Dayak, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas wilayah yang imajiner. Menjadi tidak aneh ketika kemudian sebagian warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke kampung di Malaysia.

Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, mengatakan bahwa perpindahan warga ke Malaysia lebih karena motif ekonomi. ”Selain karena melihat peluang ekonomi, juga akses pendidikan yang lebih baik kepada keluarga,” katanya.

Peleburan batas

Terputusnya ekonomi masyarakat perbatasan dengan ekonomi nasional adalah buah dari berpuluh tahun kebijakan pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Kebijakan itu menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang yang diabaikan.

Nasionalisme yang membabi buta, dan sentralisasi ekonomi yang menempatkan daerah di luar Jawa sebagai daerah modal untuk dieksploitasi, telah menutup mata terhadap realitas kesenjangan itu. Di ujung kekuasaan Orde Baru, kesenjangan itu membuahkan konflik etnis yang berdarah-darah di beberapa wilayah Kalimantan, juga di beberapa wilayah Indonesia.

Konflik itu membuka mata terhadap retasnya keindonesiaan, yang oleh Ben Anderson digambarkan sebagai bangsa imajiner. Bangsa yang seolah-olah ada, padahal tidak ada karena tidak ada irisan sejarah dan budaya dalam proses pembentukannya.

Konflik bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang beberapa waktu lalu merebak di berbagai wilayah itu juga membuka mata kegagalan pemerintah dalam membangun kebersamaan sebagai warga yang belajar menjadi satu bangsa. Tantangan terberat terjadi di wilayah perbatasan yang dicitrakan sebagai wilayah ”rentan”. Sudahkah kemudian kita belajar?

Nyatanya, perubahan sistem terpusat menuju desentralisasi yang terjadi pascaeuforia reformasi belum mampu mengubah wajah kesenjangan itu. Dalam kondisi masyarakat perbatasan yang secara sosial-ekonomi terputus dengan konsep ”nasional”, komunitas negara di wilayah ASEAN berencana membuka gerbang perbatasan lebar-lebar menuju integrasi ekonomi kawasan pada 2015.

Peleburan tapal batas ini ke depan akan menjadi tantangan baru bagi keindonesiaan, khususnya di wilayah perbatasan yang retas....

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009

Selasa, 01 Juni 2010

Yang Terdepan, Yang Terbelakang

Ironis. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita di daerah perbatasan. Betapa tidak, ketimpangan kualitas pendidikan di kota dengan di daerah sudah terjadi sedemikian rupa sehingga cerita tentang sekolah rubuh di daerah perbatasan atau cerita tentang guru yang lari ke negara tetangga, bukan sekedar mitos belaka. Selanjutnya, untuk memperoleh pemahaman secara lebih mendalam, permasalahan inidapat kita tinjau dari sudut pandang hak dan kewajiban warga negara.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jika sekilas kita melihat pada sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin kita bisa berbangga dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Sekolah-sekolah tersebut sudah sangat mapan dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan guru dari sekolah sekolah elit selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan mutakhir. Segala proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan mudah sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Namun, ketika kita melihat kondisi pendidikan di daerah perbatasan, keadaan tersebut sungguh berbanding terbalik.
Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Banyak anak di perbatasan Nusantara yang bernasib malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu.Di beberapa perkampungan atau dusun di perbatasan Kalimantan misalnya, anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga 6 Km melintasi hutan dan menuruni bukit untuk mendapatkan pendidikan di sekolah setiap hari.
Potret umum siswa di perbatasan memang sangat memprihatinkan. Namun, nasib para gurunya pun tak kalah memprihatinkan, terutama para guru honorer yang kebanyakan honor komite. Para guru tersebut banyak yang harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Hal ini karena kekurangan tenaga guru di sekolah pedalaman. Guru yang hanya bergaji 100-300 ribu sebulan itu banyak yang dipaksa bekerja ekstra keras bahkan terdapat ‘tuntutan psikologis’ untuk bekerja lebih besar daripada guru PNS karena status tidak tetap sebagai guru honorer lebih rentan daripada guru berstatus PNS yang meskipun sebulan tak mengajar di sekolah masih akan tetap menerima gaji.
Daerah-daerah perbatasan yang pada hakikatnya merupakan daerah terdepan sebagai pintu gerbang untuk memasuki indonesia menjadi daerah yang paling terbelakang dalam hal pendidikan dan kesejahteraan guru.Kenyataan tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan konstitusi karena sesuai dengan pasal 34 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Artinya, baik anak-anak di daerah perkotaan maupun anak-anak di daerah perbatasan mempunyai hak yang sama, yaitu sama-sama mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki hak, warga negara juga mempunyai kewajiban, salah satu diantaranya adalah kewajiban untuk membela kedaulatan negara. Namun, ketika pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak warga negara, warga negara tersebut juga cenderung untuk mengabaikan kewajibannya. Contohnya adalah yang terjadi masyarakat yang berdomisili di sepanjang perbatasan. Mereka lebih ber-interaksi dan berorientasi kepada desa terdekat negara tetangga. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Inilah dampak buruk yang terjadi apabila pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan diabaikan, karena akan mengikis rasa nasionalisme yang bukan tidak mungkin akan mengancam kedaulatan bangsa.
Kenyataan-kenyataan yang telah dikemukakan di atas, membawa kita pada satu konsekuensi logis bahwa pemerintah harus lebih memperhatikan kondisi pendidikan dan kesejahteraan guru di daerah perbatasan. Untuk tujuan tersebut, setidaknya ada empat langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, membangun sarana dan prasarana pendukung pendidikan seperti gedung sekolah dan fasilitas belajar lainnya. Kedua, meningkatkan kesejahteraan guru di daerah perbatasan melalui gaji yang layak dan tunjangan hari tua. Ketiga, meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan-pelatihan dan keempat, mengembangkan kurikulum yang sesuai untuk diterapkan di daerah perbatasan.
Kesimpulannya, mendapat pendidikan dan pengajaran merupakan hak bagi setiap warga negara. Oleh karena itu, negara harus menjamin dan mengusahakan terselenggaranya pendidikan yang berkualiatas bagi seluruh warga negara baik yang berada di kota maupun di daerah perbatasan sehingga ketimpangan kondisi pendidikan di Indonesia dapat dihapuskan.
DAFTAR REFERENSI
Judul: “ Sekolah Kawasan dan Ketimpangan Mutu Pendidikan ”
Pengarang: Charolina Luthfiya
Data publikasi: diakses dari http://www.antara.co.id/seenws/?id=40616 Menggunakan google! Pada tanggal14 November,2008,20:30 oleh Najmu Laila.

Judul: “ Mengatasi Permasalahan di Daerah Perbatasan ”
Pengarang: Tri Poetranto, S.Sos.
Data publikasi: diakses dari http://www.buletinlitbang.dephan.go.id Menggunakan google! Pada tanggal 16 November,2008,16:30 oleh Najmu Laila.