Jumat, 05 Maret 2010

FENOMENA SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA




A. Pendahuluan
Realitas pelaksanaan sertifikasi guru dan pendidikan di Indonesia. Pada saat ini merupakan fenomena yang harus dikaji kembali, bagaimana efisiensi dari sertifikasi, dampaknya bagi guru dan peserta didik serta bagaimana masa depan pendidikan di Indonesia.
Fenomena ini menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengulasnya, karena merupakan realita pendidikan kita dewasa ini. Sertifikasi menjadi buruan yang tak terelakkan bagi para guru. Dengan sertifikasi, para guru berlomba untuk mengumpulkan berbagai sertifikat dan piagam yang harus dimiliki oleh para guru dalam rangka memenuhi portofolio. Tapi hal ini tampaknya menyebabkan para pendidik lengah dan lupa akan perannya sebagai guru. Para pendidik kurang memperhatikan kualitas mengajarnya karena disibukkan dengan sertifikasi. Selain itu, sertifikasi juga membuat para pendidik kehilangan waktu bersama keluarganya, karena mengikuti berbagai seminar yang diadakan guna memperoleh sertifikat yang kebanyakan seminar tersebut diadakan pada hari Sabtu dan Minggu. Lainnya, sertifikasi juga membuat para pendidik melanggar aturan dan melakukan berbagai kecurangan dan pemalsuan ijazah hanya demi memperoleh sertifikasi. 



B.Permasalahan

Sejak tahun 2007, sertifikasi guru melalui portofolio mulai dilaksanakan di Indonesia. Tidak tebatas, apakah guru tersebut adalah berstatus guru swasta, atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), apakah Guru Tidak Tetap (GTT) ataupun Guru Tetap (GT), semua guru berhak dan memiliki kesempatan yang sama asalkan sesuai dengan yang disyaratkan.
Proses pelaksanaan sertifikasi tersebut, banyak dijumpai suatu kenyataan yang tidak seharusnya terjadi. Berikut adalah masalah-masalah yang seringkali muncul dan dialami oleh guru. Masalah yang terjadi menyangkut hal-hal sebagai berikut: Pertama, sosialisasi yang tidak sukses. Langkah awal proses sertifikasi ialah sosialisasi. Penyebarluasan informasi tentang sertifikasi ini merupakan “pintu gerbang pertama” agar kemudahan akses berikutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Selama ini, informasi tentang sertifikasi melalui dua jalur. Jalur pertama, dilaksanakan dalam Musyawarah Kepala Sekolah (MKS), dan kedua ialah mengakses internet.
Kendala yang kemudian hadir, kepala sekolah tidak melaksanakan fungsinya dengan baik dalam mensosialisasikan kembali, apa yang diperolehnya. Kesibukan sebagai kepala sekolah, dan atau sentimen negatif kepada anak buahnya, menyebabkan seringkalinya informasi tersebut tertahan pada guru-guru tertentu saja. Selanjutnya, melalui internet memiliki keterbatasan tersendiri. Selain guru yang malas belajar, ataupun tergolong “Gaptek” (gagap teknologi) atau “jahiliyah IT”, guru-guru di daerah terpelosok, bahkan tidak tahu-menahu bagaimana caranya mengoperasikan komputer, apalagi internet. Keadaan ini tidaklah terlalu mengagetkan, apabila, kemudian sosialisasi sertifikasi guru tidak sesuai harapan. 
Kedua, mentalitas terabas. Setelah dikeluarkannya ketetapan tentang sertifikasi guru dan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan, maka tahapan berikut adalah berhadapan dengan beberapa problema kultural masyarakat Indonesia. Koentjaraningrat pada tahun 1970-an mengingatkan, bahwa masyarakat Indonesia belum siap memasuki masyarakat moderen dunia. Alasannya, perilaku masyarakat yang suka menerabas, mulai dari menerabas jalan sampai menerabas aturan-aturan sosial.
Berselang tiga dekade, tampaknya peringatan antropolog tersebut masih berlaku hingga sekarang. Mental guru terabas ini dapat dicontohkan dengan perilaku culas yang dilakukan guru dalam memalsukan piagam sebagai bagian dari kelengkapan portofolio, bahkan pada kasus sebuah sekolah di Jakarta, yakni guru yang diajukan oleh kepala sekolah untuk proses sertifikasi adalah guru lulusan D3, padahal syaratnya ialah harus lulusan S1.
Ketiga, pemalsuan dokumen. Keinginan guru untuk memperoleh sebuah sertifikat pendidik, sekaligus tunjangannya, melahirkan perilaku yang tidak layak bagi seorang pendidik. Mental terabas yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pada dasarnya amat mempengaruhi fenomena pemalsuan dokumen ini. 
Hampir seluruh wilayah di Indonesia, ditemui kasus pemalsuan dokumen. Adapun diantara kasus tersebut adalah sebagai berikut
1. Ijasah perguruan tinggi tidak tercatat di Depdiknas maupun Kopertis.
2. Legalitas piagam penghargaan diragukan karena nomor dan tanggal pengesahannya ternyata tidak berbeda jauh.
3. Legalitas piagam pelatihan terlihat bekas penghapusan informasi pemilik sebelumnya.
4. Upaya plagiat atau mengambil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) guru yang terdahulu dan mengganti dengan nama peserta yang bersangkutan.
5. Penelitian yang dilakukan 3 – 4 kali setahun, padahal maksimal guru hanya mampu melakukan PTK sekali dalam satu tahun. 
Terlihat jelas, bahwa pemalsuan yang dilakukan tidak terbatas hanya pada dokumen profil diri, seperti piagam, sertifikat, atau ijazah, akan tetapi menyangkut penjiplakan karya tulis ilmiah orang lain. Yang lebih parahnya lagi, penjiplakan demikian kerapkali tidak seizin dari pemilik aslinya, dan itu termasuk telah melanggar UU Hak Karya Intelektual (HaKi).
Selain yang berkaitan dengan masalah hukum, apa yang terjadi tersebut erat kaitannya dengan budaya tulis dan etos belajar (berpikir) yang berkembang didunia pendidikan, khususnya guru. Seringkali dijumpai pada sekolah-sekolah, guru tidak gemar dalam menulis, kecuali untuk kenaikan pangkat. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh motivasi belajar, tetapi juga karena budaya membacanya amat kurang. Pada umumnya, gemar membaca berkorelasi dengan kelihaian menulis, dan itu membutuhkan pembiasaan. Inilah yang miskin didunia para pendidik Indonesia. Sehingga dengan ketiadaan hasil menulis inilah, baik itu di koran, jurnal, atau hasil penelitian ilmiah, kemudian menyeret diri guru untuk membohongi dirinya sendiri untuk memenuhi tagihan portofolio dengan cara membajak karya orang lain.
Keempat, konflik horizontal. Sebelum berkas kelengkapan portofolio guru diberikan kepada pihak ditingkat kabupaten/kota, maka seleksi diberikan sepenuhnya pada pimpinan satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah yang diketahui oleh pengawas. Dengan standarisasi penilaian yang disajikan pada buku panduan penilaian, kepala sekolah memiliki wewenang penuh untuk menempatkan guru-guru yang akan diajukan, dan diberikan penilaian. Seringkali, aturan yang telah dibuat tidak diindahkan.
Dalam pembahasan sebelumnya, terlihat pelanggaran kualifikasi lulusan yang disyaratkan adalah S1, tapi lulusan D3 tetap diajukan oleh kepala sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi konflik antar sesama guru. Sesuai dengan kuota pengajuan, maka yang diprioritaskan adalah yang memiliki masa mengajarnya terbanyak. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi guru yang “dekat” dengan kepala sekolah meskipun masa mengajar jauh lebih pendek, dibanding guru yang sudah lama mengajar, ternyata diajukan sebagai peserta sertifikasi. Hal ini makin memicu konflik diantara guru. Dilain hal, potensi konflik horizontal antarguru dapat terjadi. Guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi, sementara sebagian lainnya belum, padahal kewajiban para guru untuk melaksanakan proses belajar mengajar adalah sama. 
Kelima, asesor yang buruk. Pemahaman kata buruk bagi asesor adalah untuk mengkategorikan penguji sertifikasi yang meragukan. Keraguan akan kemampuannya, karena ditemui keburukan-keburukan yang dilakukan asesor, baik itu ketidakjelihan atau ketidaktelitian, maupun unsur penyogokan.
Tidak selamanya para asesor yang dipilih oleh LPTK memiliki kualifikasi yang dapat dipercaya. Beberapa kasus menunjukkan, asesor ternyata dapat bernegosiasi, bahkan sampai praktik penyogokan. Dengan memasukkan sejumlah uang ke dalam amplop kemudian menyelipkannya di lembaran portofolio, guru peserta akan memperoleh kelulusan. 
Di berbagai tempat proses sertifikasi memunculkan ketidakadilan, yakni asesor yang nota bene adalah dosen LPTK yang belum diuji keprofesionalannya di lapangan, harus menguji guru yang telah puluhan tahun mengajar. Selain itu, terdapat sebuah kasus yang menimbulkan pertanyaan kenapa guru yang hanya memiliki ijazah D3 dapat lulus dalam beberapa proses sertifikasi, sedangkan dalam peraturannya adalah harus S1, apakah ahal ini merupakan kesengajaan atau hanya kealpaan para asesor.
Keenam, sertifikasi guru tidak menyentuh masalah pendidikan. Sertifikasi guru secara ideal sepertinya hanya lebih memfokuskan pada tugas keprofesionalannya pada satuan pendidikan dimasing-masing tempat mereka bekerja. Dengan tunjangan yang diperolehnya dan ketentuan jam kerja harus 37, 5 jam dalam seminggu, akan dicapailah predikat “guru luar biasa” (=biasa di luar), artinya guru bersertifikat hanya bekerja pada satu tempat, tidak seperti dulu yang bekerja di luar sekolah demi mencukupi kebutuhan hidupnya. 
Pemerintah berharap, bahwa dengan mengeluarkan kebijakan berupa keharusan sertifikasi guru, semua persoalan dapat teratasi termasuk guru profesionalnya seorang guru, peningkatan mutu, dan kompetensi yang tinggi dalam dunia pendidikan. 
Akan tetapi, pemerintah seringkali lupa, kalau keprofesionalan harus dibangun dalam proses yang panjang. Yang meliputi banyak hal, dan tidak hanya dengan peyederhanaan melalui sertifikasi. Bagaimana mungkin guru yang ikut sertifikasi menjadi guru yang berkompeten, apabila dalam memenuhi tagihan portofolio kebanyakan bertindak culas. Selanjutnya bagaimana dunia pendidikan Indonesia bisa mengalami kemajuan, sedangkan calon gurunya terdiri dari mahasiswa yang gagal diterima pada jurusan favorit, dan belum lagi masalah sarana dan prasarana yang jauh tertinggal dengan negara tetangga.
Dengan kenyataan sekarang ini, banyak para pakar pendidikan menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional, karena sertifikasi guru cenderung pendekatan formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia.


C.Pembahasan Masalah
Gagasan yang akan dipaparkan tidak terbatas hanya kepada upaya menyiasati problema yang muncul seperti pada pembahasan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pembenahan sertifikasi guru dan itu menyangkut pendidikan di Indonesia, merupakan wilayah yang amat luas serta rumit. Boleh jadi pembahasan yang dilakukan akan tumpang tindih, namun demikian harapannya dapat dipahami, bahwa hal demikian merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan erat hubungannya. 
Keterkaitan dalam meretas gagasan terhadap sertifikasi guru dan pendidikan di Indonesia, haruslah dibenahi pada tiga pilar, yakni pemerintah, LPTK, dan Guru. Pada pilar pemerintah mencakup kebijakan pemerintah, dari eksekutif sampai Dinas Dikmenti, sedangkam pilar LPTK meliputi strategi yang canggih dalam menjaring dan mengevaluasi hasil produknya. Untuk pilar ketiga, haruslah dibenahi guru, baik itu melahirkan budaya menghasilkan kajian akademis, maupun memupuk jiwa seorang guru yang profesional sekaligus mulia.
Anggaran negara untuk pendidikan sebesar 20% seharusnya direalisasikan secara penuh, dengan demikian sarana dan prasarana, serta alat pendukung pendidikan lainnya dapat terpenuhi sebagaimana mestinya, apabila belum mampu menyamai dengan negara maju, maka standar minimal harus terpenuhi. Harapannya tidak ditemui lagi sekolah yang roboh, rusak, tidak memiliki komputer, belum ada jaringan internet, buku minim, guru terbatas, dan tidak memiliki media pembelajaran.
Seiring dengan dilaksanakannya pemenuhan infrastruktur tersebut, regulasi yang menyangkut tentang sertifiksi guru haruslah disempurnakan. Menghasilkan standarisasi asesor yang berkualitas serta dapat dipercaya. Apabila asesor yang memenuhi syarat amat sedikit maka pemerintah tak perlu ragu untuk menyew asesor dari luar negeri demi tercapainya mutu pendidikan Indonesia. Hal demikian mengingat bahwa salahsatu kunci kemajuan pendidikan adalah guru yang telah memenuhi standar sertifikasi, pengalaman ini dapat dilihat dari Jepang yang memiliki pola sertifikasi sejak tahun 1974, Amerika Serikat tahun 1992, dan Cina tahun 2001.
Penambahan tunjangan profesi bagi guru yang memperoleh sertifikat dan portofolio, sudah cukup memadai. Hanya saja, realisasi pembayaran yang masih belum jelas akan ditunaikan, menjadi masalah. Terlepas dari kemungkinan “kebocoran” disana-sini, ketidakjelasan pengucuran hak guru tersebut, menunjukkan lemahnya pengolahan keuangan dan tentunya pemberi kebijakannya. 
Pada bagian portofolio, dimana banyak ditemui keculasan yang dilakukan guru, maka pemerintah harus berindak tegas. Tegas yang dimaksud adalah harus direalisasikan dengan pengawas yang juga tegas, artinya demi menuju perbaikan, penegasan bagi pelanggar harus dilaksanakan. Bagi semua guru, baik itu guru PNS atau swasta, yang melakukan keculasan dalam memalsukan dapat diperlakukan penundaan kenaikan jabatan, sampai diberhentikan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses hukum atas pemalsuan ijazah atau sejenisnya.
Proses tersebut pada dasarnya menyangkut pula kepada institusi pada tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini Dinas Dikmenti dan satuan pendidikan (sekolah). Kepala sekolah selaku pemimpin tertinggi di sekolah harus tegas dan berani mengadukan pemalsuan dokumen kepada Dikmenti, dan Dikmenti melanjutkan kepada asesor, dan asesor kepada ke kepolisian. Yang terjadi selama ini dalam proses sertifikasi, pemalsu dokumen, berkasnya dikembalikan ke Dikmenti dan si pemilik segera memperbaiki. Hak mengikuti sertifikasi masih melekat, harusnya dicabut sampai waktu yang tidak ditertentukan.
Jauh sebelum akhir sertifikasi tersebut, masalah sosialisasi yang tidak sempurna harus diperbaiki, perubahan segera dilakukan. Pihak pemerintah, terutama Dikmenti harus menanggalkan dikhotomi antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, sehingga pelayanannya tidak setengah-setengah. Hal ini diakui banyak guru, bilamana meminta informasi terkait sertifikasi. Selain itu, saluran sosialisasi jangan terbatas melalui MKS, dan internet, akan tetapi diperluas melalui surat kabar, dan televisi. Apabila memungkinkan setiap guru di sekolah memperoleh buku sosialisasi yang memuat panduan sertifikasi guru. Sebagai penutup pada pilar pemerintah, portofolio yang dikumpulkan jangan terbatas kepada fotokopinya saja, akan tetapi berkas yang asli ikut disertakan dengan catatan, pemerintah menjamin tidak akan ada kerusakan, apalagi kehilangan.
Dalam mengatasi asesor yang buruk, dan guru yang tidak kompeten. LPTK harus menyusun standarisasi yang menuju kepada kriteria asesor dengan standar internasional. Setelah itu, diumumkan secara publik, persis yang dilakukan beberapa universitas belakangan ini dalam menjaring rektor dan dekan. Bilamana tidak ada yang mumpuni memenuhi kriteria tersebut, dengan sadar diri, LPTK harus membuka lowongan lebih luas, bahkan sampai ke dunia internasional. Sumpah jabatan dan tunjangan yang sepadan harus dikedepankan juga. 
Dengan dilatarbelakangi keyakinan bahwa suatu hasil tidak dapat dipisahkan dari proses dan inputnya. Artinya, sistem penerimaan bagi yang berkeinginan menjadi guru, proses yang digulirkan, dan evaluasi yang dilakukan secara simultan harus benar-benar dibenahi.
Tunjangan profesi sebagai guru cukup menjanjikan profesi guru dimasa depan, dengan demikian jurusan kependidikan akan naik tingkat, minimal tidak lagi menjadi “jurusan sisa” karena seringnya mahasiswa yang memilih menjadi calon guru, karena gagal dalam memperoleh predikat lulus pada fakultas favorit. Untuk menjaring calon guru ini, haruslah dimiliki standar yang tinggi, antara lain adalah kemampuan bahasa asing, ilmu hitung-menghitung, nasionalis, dan kepribadian nyaris tanpa cela yang layak sebagai seorang guru. Proses pendidikan sudah seharusnya diperbaiki, selain dosennya harus direformasi agar benar-benar berkualitas, kurikulum pendidikan juga harus up to date dan futuristik.
Terkait dengan evaluasi, LPTK seyogyanya dapat melakukan langkah konkrit sebagai berikut:
1. Adakan analisis kebutuhan tentang pemicu atau penyebab ketidakberesan guru di lapangan.
2. Himpunlah prioritas dan susunlah langkah perbaikan. Lakukan pengujian secara berkala.
3. Apabila terjadi ketidakberesan, bahkan cela bagi guru, maka kembali kepada langkah 1 dan 2.
4. Jika masih terjadi ketidakberesan, bahkan cela, cabut ijin mendidiknya. Ini berarti, guru tersebut tergolong sebagai produk salah rancang. Dalam keempat langkah ini, LPTK harus bersinerji dengan sekolah.
5. Evaluasi program LPTK secara berkala, dan sepertinya sebuah badan evaluasi independen dapat diundang untuk bekerjasama
Disamping pihak pemerintah memperluas dan memperbanyak intensitas pelatihan, dengan langkah-langkah di atas, LPTK juga ikut serta mengontrol “perawatan standarisasi kualitas” kompetensi guru. Guru merupakan ujung tombak pendidikan, hal ini karenakeberhasilan siswa disebabkan oleh campurtangan guru. Gurulah yang terdepan dalam agen pembelajaran, dan pendidikan dipengaruhi oleh kualitas kompetensi guru. Dalam banyak kasus yang ditemui, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru.
Pembenahan input, proses, dan evaluasi yang dilakukan LPTK tersebut, tidak berhenti begitu saja. Bagi guru yang sudah memperoleh sertifikasi haruslah dipindahtugaskan ke sekolah yang lain, ada semacam rotasi guru selama satu tahun pelajaran. Hal ini dilatarbelakangi oleh kinerja guru PNS yang terhitung malas dan terkesan sebagai “guru asal”, yaitu “asal masuk”, “asal ‘ngajar”, dan “asal nilai”. Tujuan rotasi guru ini untuk menumbuhkan sistem dan etos kerja yang rasional dengan mengembangkan “budaya malu”. Artinya, kinerja akan meningkat karena guru membawa nama baik sekolah asal dan memegang predikat selaku guru profesional.
Seiring dengan ini, pada tahap regulasi positif bagi pengembangan guru seharusnya dikenakan sebagai kewajiban. Penumbuhkembangan kesadaran sebagai civitas akademi intelektual, dilakukan secara bertahap melalui penyadaran dalam berbagai bentuk pelatihan manajemen diri, mengikuti penulisan ilmiah, sampai dengan menghasilkan buku teks atau sejenisnya. 
Usaha tersebut tidak dilepaskan begitu saja. Kekurangan selama ini, di sekolah dan Dikmenti tidak memiliki suatu sistem pengawasan yang benar-benar berkualitas, tidak hanya melulu terkait dengan administrasi dan formalitas. Sudah saatnya diajak bekerjasama pihak non-pemerintah yang independen, non-profit, semisal KPK, untuk menjadi pengawas dalam proses pendidikan. 
Guru yang masih memiliki sikap cela, seperti korupsi, tindakan kekerasan, pencabulan, harus ditangani secara serius, dan tidak hanya sekedar terapi kejut saja. Hal ini amat dianjurkan, mengingat biaya yang besar dikeluarkan rakyat melalui pemerintah untuk pendidikan, dan keinginan untuk tetap melestarikan pandangan positif masyarakat terhadap guru. 
Moral buruk yang dimunculkan beberapa guru yang belakangan ini tertampilkan di media massa dan elektronik, sudah seharusnya posisi kepribadian guru dikembalikan kepada makna mulia, seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Tentunya menjadi guru Indonesia yang ideal , yakni guru yang berwawasan internasional, profesional, sekaligus berkepribadian mulia.




D.Kesimpulan dan Saran

Dari permasalahan dan pembahasan diatas, sudah saatnya guru tidak lagi dipinggirkan dalam menentukan kebijakan. Guru hendaknya tidak lagi terkungkung sebagai “guru birokratif” yang hanya mengikuti apa yang diinstruksikan atasan, akan tetapi haruslah menjadi “guru profesional”, yakni guru yang menentukan, berpikir kreatif, dan kontekstual. 
Keputusan yang menyangkut kepentingan tentang pendidikan, sudah seharusnya guru mengambil bagian untuk mempengaruhi kebijakan, jangan lagi menjadi “penonton di rumah sendiri” guna melangkah menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik, bukan hanya pemerintah berpihak kepada dunia pendidikan, ataupun LPTK yang bonafit, akan tetapi guru itu sendiri yang harus berkompeten, profesional, dan berkepribadian mulia.
Kesenjangan yang hadir, seyogyanya sudah tidak perlu lagi mengolok-olok guru yang melakukan berbagai tindakan tercela, selain karena tidak mewakili guru secara keseluruhan, sistem proses pelaksanaan sertifikasi melalui portofolio harus pula dibenahi. Pembenahan inilah yang menjadi fokus utama, disamping kebijakan pemerintah yang sudah seharusnya dilaksanakan, seperti realisasi 20% anggaran negara untuk pendidikan, pembayaran tunjangan profesi, dan kesejahteraan lainnya dalam bentuk rupiah ataupun beasiswa. Semoga.

BUTET MANURUNG "Gak Keren Mati Tanpa Dikenang"

sumber :
http://mbaheman.blogspot.com/

Tidak ada komentar: