Guru di kota mestinya bersyukur dengan kondisinya. Meskipun kadang mengeluhkan sarana-prasarana, mereka harusnya mau berpikir bahwa kondisi itu masih jauh lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Setidak-tidaknya guru di kota masih “dimanja” oleh ketersediaan sarana transportasi, jalanan beraspal, listrik selalu menyala, gedung sekolah berdiri kokoh, serta kemampuan anak yang di atas rata-rata. Dengan kondisi itu, mestinya mereka, guru-guru di kota itu, mampu menciptakan generasi yang tanggap, tangguh, dan berprestasi. Jika masih juga mengeluhkan kondisi, ada baiknya mereka berguru kepada guru-guru di pedalaman Kalimantan Timur.
Minggu (2 Desember 2012), saya memenuhi undangan dari Komunitas Pencinta Buku dan Perpustakaan ”BUKU ETAM” Kalimantan Timur. Terhitung mulai tanggal 1 – 4 Desember 2012, lembaga itu dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan Workshop Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) bagi Guru Bahasa Indonesia SMA se-Kalimantan Timur. Saya diminta untuk memberikan materi tentang Langkah dan Strategi Penyusunan LKS Bahasa Indonesia untuk SMA.
Sabtu malam (1 Desember 2012), saya berangkat menuju Bandara Sepinggan Balikpapan Kalimantan Timur dari Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta. Setelah menempuh perjalanan udara sekitar 1,5 jam, akhirnya pesawat mendarat sekitar jam 19.00 WITA. Perjalanan ke Kota Samarinda dilanjutkan dengan menyewa taksi. Perlu waktu sekitar 2 jam untuk tiba di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Sekitar jam 21.00 WITA, saya tiba di Hotel Grand Zamrud 1 Samarinda. Karena kelelahan setelah menempuh perjalanan udara dan darat, saya ingin langsung beristirahat. Namun, justru saya dikejutkan oleh beragam aktivitas di ruang lobi hotel.
Meskipun sudah larut malam, tiga orang panitia sedang memberikan pelayanan kepada bapak dan ibu yang baru datang. Saya dapat berpendapat demikian karena bapak dan ibu itu membawa koper dan atau tas-tas besar. Karena lobi hotel terletak agak tinggi dari tempat parkir, bapak dan ibu itu terlihat kerepotan menaikkan tas kopernya yang tentu saja berat. Sangat tampak wajah mereka yang kelelahan dan mengantuk. Namun, mereka tetap bersemangat meskipun jam dinding sudah menunjukkan angka 21.30 WITA.
Menyaksikan kondisi itu, tiba-tiba rasa ngantukku hilang. Naluriku sebagai guru dan penulis langsung menangkap sesuatu yang menarik untuk diketahui. Oleh karena itu, saya bergegas menemui mereka sambil ikut duduk di kursi tamu hotel. Satu demi satu, saya mengajaknya bersalaman. Melihat saya mengulurkan tangan, akhirnya para peserta pun mulai berani mengenalkan diri. Dari situlah, akhirnya keluar beragam cerita masing-masing guru.
Seorang peserta bercerita jika dirinya berasal dari salah satu pulau di Kalimantan Timur. Untuk menuju Kota Samarinda, ia harus naik kapal selama dua hari. Karena kegiatan dilaksanakan mulai Sabtu (1 Desember 2012), ia berangkat sejak hari Kamis-nya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi badai laut. Kapalnya sempat terombang-ambing karena diterpa angin yang teramat kencang. Demi keselamatan penumpang, nakhoda kapal menghentikan perjalanan dan mengistirahatkan kapalnya di pelabuhan terdekat sekitar setengah hari. Akibat peristiwa itu, ia baru tiba di Kota Samarinda Sabtu malam, hampir bersamaan dengan kedatanganku.
Seorang peserta lain bercerita jika dirinya berasal dan mengajar di SMA pedalaman. Transportasi menggunakan jalur udara. Secara otomatis, perjalanan ditempuh dengan naik pesawat perintis. Ia berangkat Jumat siang dengan harapan bisa tiba di lokasi kegiatan Sabtu pagi. Untung tak bisa diraih, nasib tak bisa ditolak. Tiba-tiba cuaca di bandara perintis hujan deras. Dengan kondisi alam demikian, pengelola bandara tak berani mengambil risiko. Seluruh penerbangan hari itu pun ditunda hingga esok hari. Akhirnya, ia mencari penginapan di sekitar bandara agar dapat melanjutkan perjalanan esok harinya. Praktis ia baru bisa berangkat Sabtu pagi dan tiba di hotel hampir bersamaan dengan kedatanganku.
Kisah lain disampaikan oleh seorang bapak guru. Dia berasal dari wilayah pedalaman Kalimantan Timur. Untuk menuju Kota Samarinda, dia menggunakan motor roda dua. Sungguh cerita tersebut teramat mencengangkan karena dia mulai berangkat dari rumah menuju Samarinda sejak Kamis-nya. Dia menerabas perjalanan darat dengan melewati beragam kondisi alam Kalimantan Timur. Karena waktu itu musim hujan, dia pun beberapa kali kehujanan. Dengan kondisi basah kuyup tersebut, dia kadang nekad menerabas hujan dan kadang beristirahat dengan mencari lokasi yang aman. Harap dimaklumi karena banyak kondisi alam dan hutan Kalimantan Timur masih terbilang lebat dan konon angker. Menjelang tengah malam, dia pun beristirahat di masjid. Setelah menempuh perjalanan dua malam tiga hari, tibalah ia di Kota Samarinda.
Kisah-kisah di atas benar-benar menusuk kalbuku. Maka, saya langsung memberikan apresiasi yang tinggi kepada 80 peserta Workshop Penulisan LKS Bahasa Indonesia SMA ketika mulai menyampaikan materi di hadapan mereka. Jika guru di kota bisa membimbing anak didiknya sehingga lulus dengan prestasi bagus, itu bukanlah berita bagus. Sangat wajar jika prestasi bagus itu berhasil diraih guru-guru kota karena mereka didukung oleh segala ketersediaan sarana-prasarana. Namun, sungguh seorang guru akan disebut guru hebat jika mampu memberikan prestasi bagus meskipun didera oleh beragam keterbatasan. Di akhir pertemuan itu, saya sempat berujar, “Keterbatasan tidak boleh dikeluhkan. Keterbatasan justru seharusnya disyukuri karena berguna untuk menempa kedewasaan berpikir. Dan saya menemukan semangat itu di wajah-wajah guru Kalimantan Timur.”