Guru di pedalaman Papua (dokumen FotoMedia)
Guru, bagaimanapun jeleknya sesungguhnya tetaplah pahlawan. Tentu dengan cara mereka sendiri.
Beliau guru saya waktu SMP. Namanya tak usah saya sebut. Saya sebut mata pelajarannya saja, PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Entah apa nama mata pelajaran itu sekarang, atau malah sudah dihapuskan?
Beliau ini lelaki tambun, rajin berkemeja safari dengan empat kantong di depan. Warnanya selalu sama, coklat muda. Pas dengan sebaris kumis lebat di atas bibirnya. Sekarang saya sadar, wajah dan tampilannya memang pas dengan mata pelajaran yang dia bawakan. Bersejarah dan kuno.
Beliau salah satu guru yang disegani, tentu karena tampilannya yang sepintas memang menakutkan itu. Kami anak-anak SMP yang separuhnya belum disunat, suara kami masih suara anak-anak. Pantaslah kalau kami segan pada si bapak.
Si bapak guru benar-benar guru sejarah jempolan. Maksud saya, cara mengajarnya harusnya memang tinggal sejarah. Aturannya selalu sama, masuk ke kelas, menunjuk satu murid untuk ke depan, menunjukkan buku pegangan, memberi instruksi dan mulailah si murid menulis di papan tulis. Yah, salah seorang dari kami harus menulis di papan tulis persis seperti yang ada di buku pegangan yang ditunjukkan oleh pak guru.
Setelah ada yang bertugas memindahkan tulisan dari buku ke papan tulis maka mulailah si bapak dengan aktifitasnya sendiri. Kadang diam membaca koran di mejanya, kadang berlalu entah ke mana dan kembali menjelang waktu mengajarnya selesai. Kami yang anak-anak ini tak boleh protes. Kami yang bahkan disunatpun belum hanya bisa patuh, memindahkan tulisan teman di papan tulis ke dalam buku catatan kami.
Dalam beberapa waktu si bapak guru akan memeriksa catatan kami. Kalau lengkap, sebuah tanda tangan akan hinggap di buku kami. Kalau tulisan kami bagus, angkanya 8. Sempurna! Kalau tidak lengkap apalagi tulisan tangan kami tak rapi maka sebilah penggaris kayu akan hinggap di atas tapak tangan yang dibuat tertelungkup. Perih! Tak heran kami selalu mencoba menulis sebaik mungkin apa yang ditulis kawan kami di papan tulis.
Kadang bapak guru kami sedang rajin. Dia akan berlama-lama di dalam kelas, mendiktekan buku yang ada di tangannya. Tugas kami tetap sama, menyalin apa yang keluar dari mulut si bapak. Begitu seterusnya.
Apa yang ada dalam buku hanya singgah ketika kami harus menghadapi suatu kejadian yang disebut ulangan. Hari-hari sebelumnya kami yang masih anak-anak ini harus membaca dan menghapalkan beberapa tanggal kejadian dalam buku itu. Begitu seterusnya.
Tak heran kalau pelajaran sejarah tak pernah jadi pelajaran yang menarik. Semua berlangsung kaku, sistematis dan tanpa kreatifitas.
Bapak guru tak perlu saya sebutkan namanya itu tentu tidak sendiri. Dia pasti banyak kawan, sesama guru yang tak punya ide lain untuk memindahkan ilmu kepada anak-anak didik. Mereka berhenti pada kata mengajar dan merasa kalau tidak ada cara lain untuk memberi ilmu selain fragmen-fragmen di atas.
John Keating dan realita pendidikan kita.
Bertahun-tahun kemudian saya jatuh cinta pada metode mengajar seorang guru rekaan bernama John Keating yang diperankan dengan sangat apik oleh Robin Williams. Seorang guru bahasa yang dengan gaya energik dan sangat tak biasa berhasil memikat hati murid-muridnya untuk jatuh cinta pada sebuah pelajaran yang awalnya dikenal membosankan.
Saya membayangkan seandainya saja guru PSPB saya dulu seperti pak John Keating, berani mengajarkan sejarah dengan gaya yang eksentrik, dengan metode yang tak biasa maka mungkin saja kami akan sangat mencintai pelajaran sejarah dari sejak pertama dia mengajar. Sekarang saya mencintai pelajaran sejarah, tapi saya yakin bukan karena bapak guru PSPB saya itu.
Negeri kita memang masih sangat tertinggal dari segi pendidikan. Menurut Education Development Index negeri kita berada di peringkat 69, masih termasuk tertinggal dari negara-negara maju. Fasilitas pendidikan masih belum merata. Pendidikan bagus masih mahal, susah dijangkau oleh orang Indonesia kebanyakan. Mau pendidikan berkualitas? Harus punya uang jutaan rupiah. Itupun hanya di kota besar.
Di daerah yang jauh dari jangkauan masih ada 66% sekolah yang kekurangan guru. Total masih ada 34% sekolah di Indonesia yang masih kekurangan guru. Bahkan 54% guru di Indonesia masih tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar. Deretan angka itu entah kenapa membuat saya miris. Segitu burukkah kualitas pendidikan negeri kita? Setelah 67 tahun merdeka?
Mencari kesalahan tentu bukan cara yang bijak. Siapa saja bisa dengan gampang menudingkan ujung jarinya pada mereka yang dianggap paling bertanggungjawab untuk kenyataan ini. Menuduh pemerintah salah sudah jadi kebiasaan kita. Tapi percuma, tak akan ada perbaikan jika kita terus melenakan diri pada upaya mencari kesalahan.
Berbuat sesuatu tentu lebih elok daripada hanya mencari siapa yang salah. Itu yang dilakukan beberapa orang di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang punya kegelisahan yang sama. Punya rasa prihatin yang sama melihat perkembangan pendidikan kita. Tapi mereka tidak berhenti hanya mencari siapa yang salah. Mereka bergerak untuk mencari apa yang bisa dilakukan untuk pendidikan kita. Sekecil apapun itu.
Mereka Yang Gelisah
Saya mengenal beberapa kawan yang selalu gelisah melihat realita pendidikan di tengah masyarakat. Mereka melihat ada banyak anak-anak pinggiran yang terpinggirkan dan terabaikan. Mereka tak sempat menyentuh bangku sekolah karena uang adalah kebutuhan utama bagi mereka. Akibatnya mereka turun ke jalan, meninggalkan bangku sekolah.
Kawan-kawan saya itu masih muda. Mereka gelisah, mereka prihatin. Mereka tidak tinggal diam mengutuki pemerintah, mereka melakukan sesuatu. Maka jadilah Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ) yang membantu anak-anak jalanan untuk tetap bisa belajar. Kalau bisa kembali ke bangku sekolah. Di sudut lain kota ini ada Sokola, isinya juga anak-anak dari daerah kumuh Mariso yang oleh beberapa anak muda diberi keterampilan khusus agar tak berakhir menjadi pengemis di jalanan.
website KPAJ Makassar
Minggu 28 oktober, sebuah gerakan baru diluncurkan. Namanya Gerakan Indonesia Berkibar. Berkibar ternyata adalah akronim dari Bersama Kita Belajar. Awalnya saya hanya meraba, apa gerangan Gerakan Indonesia ?Berkibar itu. Belakangan saya tahu kalau itu adalah sebuah gerakan independent yang berkutat pada masalah pendidikan dengan tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Pendidikan bermutu yang bisa dijangkau semua orang. Merata, bukan hanya di satu daerah atau satu pulau saja.
Dalam roadshow Gerakan Indonesia Berkibar di Makassar 13 September 2012 seorang guru sempat melontarkan sebuah harapan. Setelah mendengar semua uraian tentang Gerakan Indonesia Berkibar, sang guru berharap gerakan ini tak hanya berhenti di tataran konsep saja dan betul-betul bisa berperan dalam mengubah kualitas pendidikan negeri kita.
Website Gerakan Indonesia Berkibar
Semoga Gerakan Indonesia Berkibar ini memang tidak berhenti pada tataran konsep yang rupawan saja. Semoga semua yang terlibat di dalamnya mau betul-betul turun ke bawah melihat realita pendidikan di negeri kita, bukan hanya yang ada di kota tapi juga yang ada di daerah yang susah dijangkau yang kata orang disebut sebagai daerah terpencil. Tapi yang terpenting adalah, semoga ada banyak orang yang mau terlibat dalam gerakan seperti ini. Bukan hanya Gerakan Indonesia Berkibar, tapi semua gerakan yang tujuannya memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Sesungguhnya semua guru adalah pahlawan, dengan caranya masing-masing. Guru PSPB saya mungkin terlalu kaku dan tidak menarik, tapi saya yakin dia mengajarkan banyak hal pada kami muridnya. Dan itu cara dia untuk menjadi seorang pahlawan.
Mari bersama kita belajar. Untuk pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
[dG]
Catatan:
Untuk tahu lebih banyak tentang Gerakan Indonesia berkibar, bisa melihat aktifitas mereka di :
website GIB ?: http://bit.ly/UEMRvq (www.indonesiaberkibar.org)
Twitter GIB : http://bit.ly/RWUmsG (@idberkibar)
FB fan page GIB: http://on.fb.me/SvOXJx
Video GIB: http://bit.ly/RFCyCI