Minggu, 21 Oktober 2012

Kualitas guru di Indonesia masih rendah



Kualitas guru di Indonesia masih rendah thumbnail
Ilustrasi

Dari data Kementerian Pendidikan Nasional, secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan.
Hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.
“Jadi baru ada 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi,” ujar Divisi Advokasi Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Hendrik Rosnidar, belum lama ini.
Hal ini selaras dengan survei yang dilakukan oleh Putera Sampoerna Foundation, dimana sebanyak 54 persen guru di Indonesia masih berkualitas rendah.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, menurut Hendrik bahwa dalam sidang kabinet terbatas di kantor Kementerian Pendidikan Kebudayaan terungkap fakta bahwa dari 285 ribu guru yang ikut uji kompetensi, ternyata 42,25% masih di bawah rata-rata.
“Padahal sebagian besar anggaran pendidikan nasional dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru bahkan setiap tahunnya selalu meningkat,” ungkap Hendrik.
Begitu pun dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional.
”Memang ada banyak hal yang masih harus dibenahi dalam persoalan guru,” kata Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta.
Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan. Tidak ada guru yang meraih nilai 80. Bahkan, ada guru yang meraih nilai terendah, 1.
Sumber: tribunews.com, kompas.com

Jumat, 05 Oktober 2012

Belajar dari Anies Baswedan tentang Indonesia Mengajar

Gambar di pinjam darihttp://twitpic.com/b4xoka
Saya telah menonton puluhan video Anies Baswedan melalui Youtube. Oleh karena itu, sejatinya tidak banyak hal baru yang bisa diperoleh saat menyimaknya langsung di Grha Sabha Pramana (GSP), UGM beberapa hari lalu. Meski begitu saya tak kalah terpana dibandingkan menyimak puluhan videonya. Meski telah lama mengikuti pemikirannya, saya memang baru pertama kali menyaksikan Anies Baswedan tampil langsung memberi inspirasi.
Seorang anak muda yang duduk di sebelah saya bertanya apa yang membuat saya datang ke acara Road Show Indonesia Mengajar (IM) di Jogja. Saya paham maksudnya karena 90% lebih dari ribuan pengunjung adalah anak muda duapuluhan tahun. Saya memang datang ke GSP sore itu bukan untuk mendapatkan informasi bagaimana caranya menjadi pengajar muda karena usia saya sudah kadaluarsa. Kedatangan saya adalah untuk belajar, menyimak gagasan besar dan menuai inspirasi dari orang-orah hebat. Dari Anies Baswedan tentu yang utama.
Saya tidak akan menceritakan apa itu IM karena sudah sangat banyak ulasan mengenai ini. Saya lebih tertarik menyimak gaya Anies Baswedan saat memukau ribuan orang itu. Anies adalah seorang pencerita. Dia sangat lihai mengemas ide besar dan seriusnya dalam bentuk pecahan cerita yang menggugah. Anies memulai ceritanya bahwa inspirasi IM datang dari UGM yang telah lebih dulu melakukan program serupa dengan nama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Lepas dari kenyataan bahwa cerita ini memang benar, Anies benar-benar tahu cara membuat audiensnya yang dominan orang UGM merasa ‘terlibat’ dan ‘terhormat’.
Anies mengisahkan PTM yang diawali tahun 1952 itu melibatkan nama-nama yang kemudian dikenal besar dan hebat seperti Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (mantan rektor UGM). Pak Koes ketika itu dikirim ke Kupang dan menjadi guru di tempat terpencil. Tidak hanya berhenti di situ, beliau berhasil membawa beberapa muridnya untuk bisa melanjutkan pendidikan di Jogja. Salah satunya ternyata adalah Adrianus Moi yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia. Satu orang lainnya kemudian menjadi Rektor Universitas Satya Wacana. Bagi saya, ini adalah fakta baru yang sangat menggugah. Dengan kisah ini Anies hendak menyampaikan betapa kerelaan menjadi guru di tempat terpencil itu bisa mengubah hidup seseorang dan terutama bisa berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban.
Jika Anda sama sekali tidak tahu apa itu IM, sebaiknya membaca website resminya di sini. Singkatnya, IM memberi kesempatan kepada anak muda terbaik Indonesia untuk mengabdi sebagai guru selama setahun di desa terpencil Indonesia. Informasi terkini, ada 8000 lebih pelamar untuk memperebutkan 70an kursi pengajar muda. Sangat mengejutkan sekaligus menyenangkan melihat begitu besarnya niat banyak anak muda Indonesia untuk mengabdi pada pendidikan. Dari segi persaingan, bisa dibayangkan betapa hebatnya mereka yang diterima menjadi pengajar muda.
Saat menceritakan perjuangan para pengajar muda, lagi-lagi Anies menyampaikannya dalam bentuk pecahan-pecahan cerita yang membuncah semangat dan menyentuh hati. Kisah anak-anak SD di Pualau Rupat yang karena bimbingan pengajar muda berhasil mengikuti olimpiade di Jakarta adalah yang peling mengharukan. Tidak saja karena ini adalah sejarah seumur hidup sekolah itu, perjuangan perjalanan yang mengharukan adalah kekuatan cerita itu. IM berhasil meyakinkan TNI AL untuk menjemput anak-anak di Pulau Rupat karena mereka mengalami kendala transportasi. Dengan gaya bahasa yang retorik, Anies menyampaikan bahwa peristiwa itu menyatukan banyak pihak dan memberikan kesempatan pada semua pihak untuk menunjukkan perannya bagi bangsa. Jawaban seorang petinggi TNI AL yang mengatakan “Harus bisa kan!?” ketika ditanya “apakah bisa membawa anak-anak itu ke Jakarta?” membuat kisah itu begitu inspiratif. Saya sesungguhnya sudah menyimak cerita ini lewat twitter beberapa bulan lalu. Saya meneteskan air mata haru saat duduk sendiri di sebuah coffee shop di Bandara Kingsford Smith di Sydney. Kisah itu menghadirkan suasana perjuangan dalam kesederhanaan di tengah kota megapolitan seperti Sydney. Saya terharu.
Tulisan ini bisa sangat panjang. Saya mencatat dengan baik segala pelajaran dari Anies Baswedan sore itu. Satu yang saya simpulkan, Anies benar bahwa para Ibu di Indonesia masih melahirkan pejuang melihat anak-anak muda terbaik itu semangat menjadi guru di tempat-tempat yang bahkan sulit ditemukan keberadaannya di peta. Seperti kata Anies, mereka adalah generasi yang memiliki kompetensi global dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan masyarakat akar rumput. Dalam bahasa lain, mereka memiliki international competence and grass-root understanding. Indonesia tersenyum memiliki orang-orang seperti Anies Baswedan yang telah membuat para muda masih percaya pada kebajikan dengan ‘mendonasikan’ setahun hidupnya menjadi inspirasi di desa-desa terpencil. Mereka adalah visualisasi mimpi bagi anak-anak Indonesia di berbagai pelosok negeri. Terima kasih Mas Anies dan para pengajar muda!