Senin, 13 Agustus 2012

Tanah Surga..Katanya, Potret Kehidupan di Perbatasan


APA yang Anda rasakan jika tinggal di sebuah kampung kecil, di pelosok yang berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia?. Melihat negeri tetangga jauh lebih makmur dari kampung halaman sendiri.

Begitulah yang dirasakan seorang veteran perang konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1960-an, Hasyim (diperankan Fuad Idris). Dia harus bersitegang dengan anak sendiri, Haris (diperankan Ence Bagus), yang mengajaknya pindah ke Malaysia demi kehidupan yang lebih baik.

Tapi, Haris bersikeras, dia pun mengajak anak keduanya, Salina yang diperankan Tissa Biani Azzahra. Putranya, Salman yang diperankan Osa Aji Santoso, memilih tinggal bersama sang kakek.

Selama ditinggal anaknya ke Malaysia, Hasyim banyak mengajarkan mengenai kecintaan terhadap negeri kepada cucunya sendiri. Bahkan, sekalipun pemerintah tak memberikan apapun kepada dirinya.

Setting lokasi yang diambil di Desa Kedokok, Ngabang, Kalimantan Barat itu memang terlihat menyatu dengan cerita. Sangat pelosok dan jauh dari kemajuan pendidikan dan teknologi di Kota Jakarta. Anak-anak di pelosok ini tidak ada yang bisa menggambar bendera merah putih dan selalu menyanyikan lagu Koes Ploes “Kolam Susu”, yang dianggap sebagai lagu kebangsaan mereka.

Cerita semakin kuat dengan kehadiran guru dan dokter yang datang dari Jawa. Guru muda itu bernama Astuti (diperankan Astri Nurdin) dan dokter Anwar (diperankan Ringgo Agus Rahman).

Di akhir cerita, Astuti, Anwar, dan Salman mengantar Hasyim ke rumah sakit kota. Di tengah perjalanan sebelum meninggal, Hasyim berpesan kepada Salman agar tidak melupakan negerinya. Sangat berbeda dengan Haris yang berada di negeri seberang, tengah bersorak sorai atas kemenangan tim sepakbola Malaysia atas Indonesia.

Film ini seolah mengkritik pemerintah yang bersikap tidak adil terhadap masyarakat yang tinggal di perbatasan. Dalam sebuah dialog, Haris mengatakan kepada ayahnya, Hasyim bahwa Malaysia adalah negara yang makmur. Tapi langsung dibantah Hasyim bahwa Indonesia lebih makmur. “Tapi itu di Jakarta, bukan di sini, daerah pelosok Kalimantan. Siapa yang mau perduli”.

Sekalipun tersudut, Hasyim tetap meyakinkan anaknya bahwa suatu saat nanti kampung halamannya juga akan mendapat perhatian yang sama. Entah sampai kapan.

Rencananya film ini akan ditayangkan di bioskop mulai tanggal 15 Agustus 2012, dua hari menjelang hari kemerdekaan Indonesia.

Produser
Deddy Mizwar
Gatot Brajamusti
Bustal Nawawi

Sutradara: 
Herwin Novianto

Pemeran: 
Osa Aji Santoso
Fuad Idris
Ence Bagus
Astri Nurdin
Tissa Biani Azzahra
Ringgo Agus Rahman
 Andre Dimas Apri
(uky)

Senin, 06 Agustus 2012

Curhat Anak Perbatasan


Anak-anak dari suku Dayak dan suku Melayu itu begitu antusias menulis. Andri Hermanto dari suku Dayak Kanayatn, remaja berumur 17 tahun, siswa kelas XI TAV, menulis begini, “… Di mataku Entikong adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mengadu nasib ke Malaysia.
Sebelum ke Malaysia mereka pasti melewati Entikong sehingga Entikong disebut juga kota perbatasan. Jangan menyerah, terus maju demi membangun Entikong ciey… Entikong forever”.
Wandi, juga kelas XI TAV, dari suku Melayu, mengarang, “Entikong di mataku begitu asyik dan enak. Tapi bangunan-bangunan besar belum ada.
Saya pengen melihat Desa Entikong dibangunin gedung-gedung seperti kota-kota yang lain. Karena di Entikong ini para pemudanya belum punya pekerjaan, saya pengen pemuda-pemuda di Entikong ini memiliki pekerjaan seperti yang lain…”.
Anak-anak muda lainnya bertanya dengan kritis: apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan lingkungan? Karena ada pendekatan hukum yang tebang pilih, kami harus bagaimana? Bagaimana cara mengatasi perusahaan yang membuang limbahnya di sungai?
Bagaimana cara mengatasi penebangan liar?
Curhat, harapan, dan pertanyaan itu mereka tumpahkan pada secarik kertas. Padahal setahun lalu, ketika diminta menulis cerita dengan topik yang sama, “Entikong Bagiku”, tidak ada yang ingin mengembangkan lingkungan atau hutan di sekitar mereka. Sebagian malah ingin menjadi selebritas dan bintang film.
Kini, sekitar 75 murid SMA dan SMKN di Sekayam dan Entikong asal Suku Dayak dan Melayu, serta tokoh-tokoh masyarakat Sekayam dan Entikong kembali belajar menuliskan apa saja yang mengganjal di hati mereka terkait persoalan lingkungan sekitar. Suatu saat nanti hasil tulisan itu akan diramu, disempurnakan, kemudian disampaikan kepada pemerintah supaya ditindaklanjuti.
Andai saja gerakan ini menjadi bola salju yang terus bergulir, niscaya aspirasi rakyat akan perbaikan kualitas hidup dapat terwujud.
Untuk memulainya, Mekar Pribadi–lembaga training dan event organizer (EO) khusus pendidikan dan budaya–bersama Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengadakan acara “Sosialisasi Pelestarian Lingkungan Hidup melalui Jurnalisme Warga” di Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat, baru-baru ini.
Oetari Noor Permadi dari Mekar Pribadi menjelaskan kepada SH baru-baru ini, bahwa acara tersebut memberi kesempatan bersuara bagi anak-anak muda di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia. Acara ini melibatkan para siswa SMA, guru, orang tua, serta Ketua Dewan Adat Dayak Entikong, dan Ketua Dewan Adat Sekayam.
Karena mengenai lingkungan hidup, para tokoh adat Dayak dan Melayu berbicara tentang nilai-nilai budaya yang menjadi kekuatan bagi pelestarian lingkungan hidup. “Ternyata cara berpikir kita banyak yang keliru, termasuk tentang ladang berpindah yang dilakukan oleh suku Dayak. Dayak itu penjaga hutan, Melayu itu penjaga budaya. Mereka mengambil dari alam secukupnya,” ungkapnya.
Seperti kata Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sekayam, Pinjamin Yordanus, banyak nilai di suku-suku di Entikong dan Sekayam yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai itu adalah mengambil dari alam secukupnya dan tidak untuk kemaruk.
Suatu wilayah yang sudah dijadikan lahan akan dikelola lalu saat ditinggalkan akan ditanami pohon durian dan lain-lain. Kebun itu disebut tembawang yang artinya kebun milik bersama sehingga siapa pun orang yang lewat boleh mengambil hasil kebun yang terjatuh, asalkan tidak sengaja menunggui buah jatuh atau naik ke atas pohon.
“Ambillah hanya apa yang diberikan oleh alam kepadamu saat itu,” kata Pinjamin. Bagi yang masuk hutan dengan membawa keranjang pun diperbolehkan, asalkan mengikuti aturan adat setempat. Setiap hal yang tidak sesuai aturan akan dikenai sanksi oleh tumenggung.
Jadi kepedulian terhadap lingkungan itu ada. Hanya antara tua dan muda ada perbedaan persepsi, karena pendidikan yang diterima tidak menjelaskan situasi sekitar. “Mereka itu beradab, tapi kok bisa ya mereka disalahkan karena pakaian mereka berbeda?” Oetari mempertanyakan.
Mengimbangi Teknologi
Rasa cinta tanah air masyarakat dipompa lewat jurnalisme warga karena penetrasi ponsel atau telepon genggam yang masuk hingga wilayah perbatasan. Dengan ponsel para penduduk di perbatasan senang bercerita dan narsis menunjukkan foto diri masing-masing. Maka Mekar Pribadi mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi dan memadukan masalah teknologi dengan pembangunan.
“Kenapa tidak pakai itu seperti yang sudah dilakukan Radio Elshinta? Berarti rakyat kita yang ber-HP atau anak sekolah punya sarana untuk menyampaikan suara mereka,” sambung Oetari.
Dia melihat infrastruktur jalan di Entikong masih buruk. Jumlah bangunan memang lebih banyak dibadingkan tahun lalu, tetapi kondisi jalannya masih saja buruk. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia, di mana dari Kuching menuju wilayah perbatasan tidak terlihat adanya bangunan dari jalanan, melainkan hanya hutan yang menghijau.
Rumah-rumah kayu yang ada pun dipertahankan dan tampak bersih. Sungai juga bersih dan bangunan di sisinya dibuat menghadap ke sungai sehingga menjadi pemandangan indah.
Saat ini proses jurnalisme warga itu masih pada tahap sosialisasi lalu September 2012 memasuki tahap workshop dengan Kemenkominfo.
Pada tahapannya juga harus dilakukan pelatihan reporter. Adapun untuk menampung hasil reportase dan menyiarkannya, sudah ada ancang-ancang kerja sama dengan RRI, kata Manajer Pemberitaan RRI Entikong, Kasmawati. Untuk foto dan video bisa juga dirilis ke LKBN Antara dan Youtube.
“Bayangan kami, mereka bisa melaporkan ke RRI atau website kami. Maklum, internet di sana tempo-tempo bisa, tempo-tempo tidak bisa. Begitu sampai Entikong, kira-kira 15 menit menjelang sampai perbatasan, sinyal bersaing antara Digi milik Malaysia dengan Indosat. Jadi kalau sudah di situ kami SMS-an aja, nggak usah telepon,” kata Oetari sambil tertawa.
Menurutnya, ide jurnalisme warga adalah membalikkan cara berpikir anak-anak yang kecanduan internet tak sehat. Daripada kita ngunduh, lebih baik ngunggah. Staf Ahli bidang Hukum KLH Nadjib Dahlan menyatakan sangat mendukung para tokoh masyarakat dan pelajar SMA yang memiliki semangat memelihara bumi agar tetap lestari.
Jurnalisme warga itu diharapkan mengantarkan generasi muda untuk memelihara bumi dengan mengacu pada filosofi Dayak. Seperti filosofi Dayak Kanayatn, adil ka’talino, bacuramin ka’ surga, basengat ka’ jubata, yang artinya berkehidupan adil di dunia, tindak tanduk bercermin ke surga, bernapaskan pada Tuhan.

Curhat Anak Perbatasan


Anak-anak dari suku Dayak dan suku Melayu itu begitu antusias menulis. Andri Hermanto dari suku Dayak Kanayatn, remaja berumur 17 tahun, siswa kelas XI TAV, menulis begini, “… Di mataku Entikong adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mengadu nasib ke Malaysia.
Sebelum ke Malaysia mereka pasti melewati Entikong sehingga Entikong disebut juga kota perbatasan. Jangan menyerah, terus maju demi membangun Entikong ciey… Entikong forever”.
Wandi, juga kelas XI TAV, dari suku Melayu, mengarang, “Entikong di mataku begitu asyik dan enak. Tapi bangunan-bangunan besar belum ada.
Saya pengen melihat Desa Entikong dibangunin gedung-gedung seperti kota-kota yang lain. Karena di Entikong ini para pemudanya belum punya pekerjaan, saya pengen pemuda-pemuda di Entikong ini memiliki pekerjaan seperti yang lain…”.
Anak-anak muda lainnya bertanya dengan kritis: apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan lingkungan? Karena ada pendekatan hukum yang tebang pilih, kami harus bagaimana? Bagaimana cara mengatasi perusahaan yang membuang limbahnya di sungai?
Bagaimana cara mengatasi penebangan liar?
Curhat, harapan, dan pertanyaan itu mereka tumpahkan pada secarik kertas. Padahal setahun lalu, ketika diminta menulis cerita dengan topik yang sama, “Entikong Bagiku”, tidak ada yang ingin mengembangkan lingkungan atau hutan di sekitar mereka. Sebagian malah ingin menjadi selebritas dan bintang film.
Kini, sekitar 75 murid SMA dan SMKN di Sekayam dan Entikong asal Suku Dayak dan Melayu, serta tokoh-tokoh masyarakat Sekayam dan Entikong kembali belajar menuliskan apa saja yang mengganjal di hati mereka terkait persoalan lingkungan sekitar. Suatu saat nanti hasil tulisan itu akan diramu, disempurnakan, kemudian disampaikan kepada pemerintah supaya ditindaklanjuti.
Andai saja gerakan ini menjadi bola salju yang terus bergulir, niscaya aspirasi rakyat akan perbaikan kualitas hidup dapat terwujud.
Untuk memulainya, Mekar Pribadi–lembaga training dan event organizer (EO) khusus pendidikan dan budaya–bersama Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengadakan acara “Sosialisasi Pelestarian Lingkungan Hidup melalui Jurnalisme Warga” di Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat, baru-baru ini.
Oetari Noor Permadi dari Mekar Pribadi menjelaskan kepada SH baru-baru ini, bahwa acara tersebut memberi kesempatan bersuara bagi anak-anak muda di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia. Acara ini melibatkan para siswa SMA, guru, orang tua, serta Ketua Dewan Adat Dayak Entikong, dan Ketua Dewan Adat Sekayam.
Karena mengenai lingkungan hidup, para tokoh adat Dayak dan Melayu berbicara tentang nilai-nilai budaya yang menjadi kekuatan bagi pelestarian lingkungan hidup. “Ternyata cara berpikir kita banyak yang keliru, termasuk tentang ladang berpindah yang dilakukan oleh suku Dayak. Dayak itu penjaga hutan, Melayu itu penjaga budaya. Mereka mengambil dari alam secukupnya,” ungkapnya.
Seperti kata Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sekayam, Pinjamin Yordanus, banyak nilai di suku-suku di Entikong dan Sekayam yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai itu adalah mengambil dari alam secukupnya dan tidak untuk kemaruk.
Suatu wilayah yang sudah dijadikan lahan akan dikelola lalu saat ditinggalkan akan ditanami pohon durian dan lain-lain. Kebun itu disebut tembawang yang artinya kebun milik bersama sehingga siapa pun orang yang lewat boleh mengambil hasil kebun yang terjatuh, asalkan tidak sengaja menunggui buah jatuh atau naik ke atas pohon.
“Ambillah hanya apa yang diberikan oleh alam kepadamu saat itu,” kata Pinjamin. Bagi yang masuk hutan dengan membawa keranjang pun diperbolehkan, asalkan mengikuti aturan adat setempat. Setiap hal yang tidak sesuai aturan akan dikenai sanksi oleh tumenggung.
Jadi kepedulian terhadap lingkungan itu ada. Hanya antara tua dan muda ada perbedaan persepsi, karena pendidikan yang diterima tidak menjelaskan situasi sekitar. “Mereka itu beradab, tapi kok bisa ya mereka disalahkan karena pakaian mereka berbeda?” Oetari mempertanyakan.
Mengimbangi Teknologi
Rasa cinta tanah air masyarakat dipompa lewat jurnalisme warga karena penetrasi ponsel atau telepon genggam yang masuk hingga wilayah perbatasan. Dengan ponsel para penduduk di perbatasan senang bercerita dan narsis menunjukkan foto diri masing-masing. Maka Mekar Pribadi mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi dan memadukan masalah teknologi dengan pembangunan.
“Kenapa tidak pakai itu seperti yang sudah dilakukan Radio Elshinta? Berarti rakyat kita yang ber-HP atau anak sekolah punya sarana untuk menyampaikan suara mereka,” sambung Oetari.
Dia melihat infrastruktur jalan di Entikong masih buruk. Jumlah bangunan memang lebih banyak dibadingkan tahun lalu, tetapi kondisi jalannya masih saja buruk. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia, di mana dari Kuching menuju wilayah perbatasan tidak terlihat adanya bangunan dari jalanan, melainkan hanya hutan yang menghijau.
Rumah-rumah kayu yang ada pun dipertahankan dan tampak bersih. Sungai juga bersih dan bangunan di sisinya dibuat menghadap ke sungai sehingga menjadi pemandangan indah.
Saat ini proses jurnalisme warga itu masih pada tahap sosialisasi lalu September 2012 memasuki tahap workshop dengan Kemenkominfo.
Pada tahapannya juga harus dilakukan pelatihan reporter. Adapun untuk menampung hasil reportase dan menyiarkannya, sudah ada ancang-ancang kerja sama dengan RRI, kata Manajer Pemberitaan RRI Entikong, Kasmawati. Untuk foto dan video bisa juga dirilis ke LKBN Antara dan Youtube.
“Bayangan kami, mereka bisa melaporkan ke RRI atau website kami. Maklum, internet di sana tempo-tempo bisa, tempo-tempo tidak bisa. Begitu sampai Entikong, kira-kira 15 menit menjelang sampai perbatasan, sinyal bersaing antara Digi milik Malaysia dengan Indosat. Jadi kalau sudah di situ kami SMS-an aja, nggak usah telepon,” kata Oetari sambil tertawa.
Menurutnya, ide jurnalisme warga adalah membalikkan cara berpikir anak-anak yang kecanduan internet tak sehat. Daripada kita ngunduh, lebih baik ngunggah. Staf Ahli bidang Hukum KLH Nadjib Dahlan menyatakan sangat mendukung para tokoh masyarakat dan pelajar SMA yang memiliki semangat memelihara bumi agar tetap lestari.
Jurnalisme warga itu diharapkan mengantarkan generasi muda untuk memelihara bumi dengan mengacu pada filosofi Dayak. Seperti filosofi Dayak Kanayatn, adil ka’talino, bacuramin ka’ surga, basengat ka’ jubata, yang artinya berkehidupan adil di dunia, tindak tanduk bercermin ke surga, bernapaskan pada Tuhan.