Guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.
Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang maksimal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun profesional. Untuk menguji kompetensi tersebut, pemerintah menerapkan sertifikasi bagi guru khususnya guru dalam jabatan. Penilaian sertifikasi dilakukan secara portofolio.
Di Provinsi Lampung, penilaian sertifikasi guru dalam jabatan melalui berkas portofolio tersebut telah dilakukan oleh assessor di bawah koordinasi FKIP Unila untuk sebanyak 425 berkas (dari 425 orang guru). Hasilnya, mungkin anda sudah tahu. Bahkan, dalam waktu dekat akan dilakukan lagi penilaian portofolio sertifikasi guru untuk sekitar tujuh ribuan guru se-Provinsi Lampung yang diharapkan sampai akhir Desember 2007 nanti, assessor telah menyelesaikan penilaian untuk sebanyak tujuh ribu lebih berkas portofolio tersebut.
Nah, apakah dari tujuh ribu lebih guru tersebut dapat memenuhi standar skor minimal 850 untuk lulus sertifikasi? Kita tunggu saja hasilnya, yang pasti hasil penilaian portofolio tersebut mesti transparan/terbuka.
Bagi mereka (guru) yang dinyatakan belum lulus dan mereka yang belum mendapatkan kesempatan mengikuti sertifikasi jangan berkecil hati. Anda diberi kesempatan untuk lebih banyak berkarya dan berinovasi dalam pembelajaran, yang pada akhirnya Anda tidak saja akan mampu lulus sertifikasi tetapi Anda juga akan lebih berkembang secara profesional.
Bagi mereka yang lulus, tentu saja patut berbangga hati karena mereka telah dianggap memiliki kompetensi minimal yang dipersyaratkan sebagai guru yang profesional, dan akan mendapatkan tambahan tunjangan profesi yang katanya sebesar 100% dari gaji pokok.
Dengan tambahan tunjangan yang diterima guru tersebut diharapkan guru dapat lebih profesional, lebih inovatif, kreatif, dan produktif, serta mampu menjalankan perannya sebagai catalytic agent secara maksimal. Ingat...! Kompetensi guru bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertanyaan yang muncul adalah "apakah dengan sertifikasi guru seperti ini mampu merubah guru kearah yang lebih profesional?" Mengingat, apa yang dinyatakan oleh Dedi Supriyadi (1999) dalam bukunya yang berjudul Mengangkat Citra dan Martabat Guru bahwa profesionalisme guru di Indonesia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya (seperti: dokter dan arsitek), sehingga guru sering dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semiprofesional.
Terlebih lagi, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Dengan demikian, guru sebagai profesi selain memiliki peran dan tugas sebagai pendidik, juga memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesionalnya adalah memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada masyarakat. Lebih khusus, guru dituntut memberikan layanan profesional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional halaman 15, menyatakan bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.
Terhadap pertanyaan di atas, tampaknya kita perlu membuktikannya terlebih dahulu, setelah mereka (guru) yang lulus sertifikasi menjalankan peran dan tugasnya di sekolah masing-masing. Apakah mereka menjadi lebih baik?, menjadi contoh guru lain?, atau stagnan tanpa ada perubahan apa pun pada guru tersebut baik dalam proses pembelajaran maupun dalam pengembangan diri secara profesional.
Tentu saja, sesuai uraian di atas, kata "sertifikasi" dan "profesionalisme" haruslah berkorelasi, artinya guru yang tersertifikasi adalah guru yang profesional, atau guru yang profesional sudah tentu akan tersertifikasi.
Jika korelasi tersebut cukup signifikan, dapat diprediksikan bahwa dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun mendatang mutu pendidikan kita tidak perlu diragukan lagi. Indikatornya dapat dilihat dari dua unsur, yaitu guru dan siswa. Dari unsur guru, indikator yang dapat dilihat adalah produktivitas dan kreativitas guru dalam pembelajaran.
Hal ini terkait dengan tuntutan terhadap guru untuk terus selalu berpikir kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pembelajaran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru yang kreatif adalah guru yang selalu mencari dan menemukan hal-hal yang baru dan mutakhir untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran.
Sedangkan dari unsur siswa, indikatornya adalah nilai ujian nasional (UN) yang tinggi, dan mampu bersaing pada lomba-lomba mulai tingkat kabupaten, propinsi, nasional, bahkan internasional. Guru yang profesional diharapkan mampu membina siswa dan menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing dalam setiap kompetisi.
Korelasi tersebut akan signifikan, jika berkas portofolio yang dikumpulkan benar-benar hasil karya dan prestasi yang dicapai oleh guru tersebut selama menjalankan tugasnya, bukan hasil duplikasi milik orang lain atau aspal (asli tapi palsu). Oleh sebab itu, agar sertifikasi yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan penilaiannya dapat memenuhi harapan di atas, semua pihak terkait terutama Dinas Pendidikan dan LPTK penyedia assessor perlu secara cermat memperhatikan kebenaran dan keaslian dari berkas portofolio dari guru sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Dengan demikian, untuk membuktikan ada tidaknya korelasi antara sertifikasi dengan profesionalisme guru, perlu ada pembuktian secara akurat dan akuntabel. Dalam hal ini, perlu dilakukan survei atau penelitian secara komprehensif terhadap guru-guru yang telah lulus sertifikasi untuk melihat pengaruh sertifikasi terhadap mutu pendidikan.
Jika hasil survei nantinya membuktikan adanya korelasi di atas, maka tujuan sertifikasi guru melalui portofolio untuk menguji kompetensi guru secara profesional dapat dicapai.
Sebaliknya, jika hasil survei menunjukkan tidak ada korelasi atau korelasinya tidak signifikan, maka sertifikasi guru yang dilakukan seperti sekarang adalah sia-sia, hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru tetapi tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mencari formula baru dalam melakukan sertifikasi guru. Sertifikasi ini sebenarnya merupakan upaya pemerintah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi guru sebagai pendidik, mediator dan fasilitator pendidikan, seniman antarhubungan manusia, petugas kesehatan mental, dan juga sebagai catalytic agent yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap pembaharuan pendidikan ke arah yang lebih kompetitif.
Ini memberikan pemahaman bahwa profesi guru di dalam masyarakat adalah suatu profesi yang kompetitif karena profesionalisme guru harus berhadapan dan bersaingan dengan profesi-profesi lainnya dalam kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pelaksanaan penilaiannya perlu ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian dari assessor.
Mustofa Abi Hamid ; FKIP Fisika Unila
Physics Education
University of Lampung (Unila)
Address : Jln. Soemantri Brojonegoro no.1 Gedung Meneng Bandarlampung Post Code : 35145
Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang maksimal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun profesional. Untuk menguji kompetensi tersebut, pemerintah menerapkan sertifikasi bagi guru khususnya guru dalam jabatan. Penilaian sertifikasi dilakukan secara portofolio.
Di Provinsi Lampung, penilaian sertifikasi guru dalam jabatan melalui berkas portofolio tersebut telah dilakukan oleh assessor di bawah koordinasi FKIP Unila untuk sebanyak 425 berkas (dari 425 orang guru). Hasilnya, mungkin anda sudah tahu. Bahkan, dalam waktu dekat akan dilakukan lagi penilaian portofolio sertifikasi guru untuk sekitar tujuh ribuan guru se-Provinsi Lampung yang diharapkan sampai akhir Desember 2007 nanti, assessor telah menyelesaikan penilaian untuk sebanyak tujuh ribu lebih berkas portofolio tersebut.
Nah, apakah dari tujuh ribu lebih guru tersebut dapat memenuhi standar skor minimal 850 untuk lulus sertifikasi? Kita tunggu saja hasilnya, yang pasti hasil penilaian portofolio tersebut mesti transparan/terbuka.
Bagi mereka (guru) yang dinyatakan belum lulus dan mereka yang belum mendapatkan kesempatan mengikuti sertifikasi jangan berkecil hati. Anda diberi kesempatan untuk lebih banyak berkarya dan berinovasi dalam pembelajaran, yang pada akhirnya Anda tidak saja akan mampu lulus sertifikasi tetapi Anda juga akan lebih berkembang secara profesional.
Bagi mereka yang lulus, tentu saja patut berbangga hati karena mereka telah dianggap memiliki kompetensi minimal yang dipersyaratkan sebagai guru yang profesional, dan akan mendapatkan tambahan tunjangan profesi yang katanya sebesar 100% dari gaji pokok.
Dengan tambahan tunjangan yang diterima guru tersebut diharapkan guru dapat lebih profesional, lebih inovatif, kreatif, dan produktif, serta mampu menjalankan perannya sebagai catalytic agent secara maksimal. Ingat...! Kompetensi guru bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertanyaan yang muncul adalah "apakah dengan sertifikasi guru seperti ini mampu merubah guru kearah yang lebih profesional?" Mengingat, apa yang dinyatakan oleh Dedi Supriyadi (1999) dalam bukunya yang berjudul Mengangkat Citra dan Martabat Guru bahwa profesionalisme guru di Indonesia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya (seperti: dokter dan arsitek), sehingga guru sering dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semiprofesional.
Terlebih lagi, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Dengan demikian, guru sebagai profesi selain memiliki peran dan tugas sebagai pendidik, juga memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesionalnya adalah memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada masyarakat. Lebih khusus, guru dituntut memberikan layanan profesional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional halaman 15, menyatakan bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.
Terhadap pertanyaan di atas, tampaknya kita perlu membuktikannya terlebih dahulu, setelah mereka (guru) yang lulus sertifikasi menjalankan peran dan tugasnya di sekolah masing-masing. Apakah mereka menjadi lebih baik?, menjadi contoh guru lain?, atau stagnan tanpa ada perubahan apa pun pada guru tersebut baik dalam proses pembelajaran maupun dalam pengembangan diri secara profesional.
Tentu saja, sesuai uraian di atas, kata "sertifikasi" dan "profesionalisme" haruslah berkorelasi, artinya guru yang tersertifikasi adalah guru yang profesional, atau guru yang profesional sudah tentu akan tersertifikasi.
Jika korelasi tersebut cukup signifikan, dapat diprediksikan bahwa dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun mendatang mutu pendidikan kita tidak perlu diragukan lagi. Indikatornya dapat dilihat dari dua unsur, yaitu guru dan siswa. Dari unsur guru, indikator yang dapat dilihat adalah produktivitas dan kreativitas guru dalam pembelajaran.
Hal ini terkait dengan tuntutan terhadap guru untuk terus selalu berpikir kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pembelajaran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru yang kreatif adalah guru yang selalu mencari dan menemukan hal-hal yang baru dan mutakhir untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran.
Sedangkan dari unsur siswa, indikatornya adalah nilai ujian nasional (UN) yang tinggi, dan mampu bersaing pada lomba-lomba mulai tingkat kabupaten, propinsi, nasional, bahkan internasional. Guru yang profesional diharapkan mampu membina siswa dan menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing dalam setiap kompetisi.
Korelasi tersebut akan signifikan, jika berkas portofolio yang dikumpulkan benar-benar hasil karya dan prestasi yang dicapai oleh guru tersebut selama menjalankan tugasnya, bukan hasil duplikasi milik orang lain atau aspal (asli tapi palsu). Oleh sebab itu, agar sertifikasi yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan penilaiannya dapat memenuhi harapan di atas, semua pihak terkait terutama Dinas Pendidikan dan LPTK penyedia assessor perlu secara cermat memperhatikan kebenaran dan keaslian dari berkas portofolio dari guru sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Dengan demikian, untuk membuktikan ada tidaknya korelasi antara sertifikasi dengan profesionalisme guru, perlu ada pembuktian secara akurat dan akuntabel. Dalam hal ini, perlu dilakukan survei atau penelitian secara komprehensif terhadap guru-guru yang telah lulus sertifikasi untuk melihat pengaruh sertifikasi terhadap mutu pendidikan.
Jika hasil survei nantinya membuktikan adanya korelasi di atas, maka tujuan sertifikasi guru melalui portofolio untuk menguji kompetensi guru secara profesional dapat dicapai.
Sebaliknya, jika hasil survei menunjukkan tidak ada korelasi atau korelasinya tidak signifikan, maka sertifikasi guru yang dilakukan seperti sekarang adalah sia-sia, hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru tetapi tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mencari formula baru dalam melakukan sertifikasi guru. Sertifikasi ini sebenarnya merupakan upaya pemerintah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi guru sebagai pendidik, mediator dan fasilitator pendidikan, seniman antarhubungan manusia, petugas kesehatan mental, dan juga sebagai catalytic agent yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap pembaharuan pendidikan ke arah yang lebih kompetitif.
Ini memberikan pemahaman bahwa profesi guru di dalam masyarakat adalah suatu profesi yang kompetitif karena profesionalisme guru harus berhadapan dan bersaingan dengan profesi-profesi lainnya dalam kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pelaksanaan penilaiannya perlu ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian dari assessor.
Mustofa Abi Hamid ; FKIP Fisika Unila
Physics Education
University of Lampung (Unila)
Address : Jln. Soemantri Brojonegoro no.1 Gedung Meneng Bandarlampung Post Code : 35145