Kamis, 20 Desember 2012

Sertifikasi dan Profesionalisme Guru


Guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.


Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang maksimal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun profesional. Untuk menguji kompetensi tersebut, pemerintah menerapkan sertifikasi bagi guru khususnya guru dalam jabatan. Penilaian sertifikasi dilakukan secara portofolio.

Di Provinsi Lampung, penilaian sertifikasi guru dalam jabatan melalui berkas portofolio tersebut telah dilakukan oleh assessor di bawah koordinasi FKIP Unila untuk sebanyak 425 berkas (dari 425 orang guru). Hasilnya, mungkin anda sudah tahu. Bahkan, dalam waktu dekat akan dilakukan lagi penilaian portofolio sertifikasi guru untuk sekitar tujuh ribuan guru se-Provinsi Lampung yang diharapkan sampai akhir Desember 2007 nanti, assessor telah menyelesaikan penilaian untuk sebanyak tujuh ribu lebih berkas portofolio tersebut.

Nah, apakah dari tujuh ribu lebih guru tersebut dapat memenuhi standar skor minimal 850 untuk lulus sertifikasi? Kita tunggu saja hasilnya, yang pasti hasil penilaian portofolio tersebut mesti transparan/terbuka.

Bagi mereka (guru) yang dinyatakan belum lulus dan mereka yang belum mendapatkan kesempatan mengikuti sertifikasi jangan berkecil hati. Anda diberi kesempatan untuk lebih banyak berkarya dan berinovasi dalam pembelajaran, yang pada akhirnya Anda tidak saja akan mampu lulus sertifikasi tetapi Anda juga akan lebih berkembang secara profesional.

Bagi mereka yang lulus, tentu saja patut berbangga hati karena mereka telah dianggap memiliki kompetensi minimal yang dipersyaratkan sebagai guru yang profesional, dan akan mendapatkan tambahan tunjangan profesi yang katanya sebesar 100% dari gaji pokok.

Dengan tambahan tunjangan yang diterima guru tersebut diharapkan guru dapat lebih profesional, lebih inovatif, kreatif, dan produktif, serta mampu menjalankan perannya sebagai catalytic agent secara maksimal. Ingat...! Kompetensi guru bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pertanyaan yang muncul adalah "apakah dengan sertifikasi guru seperti ini mampu merubah guru kearah yang lebih profesional?" Mengingat, apa yang dinyatakan oleh Dedi Supriyadi (1999) dalam bukunya yang berjudul Mengangkat Citra dan Martabat Guru bahwa profesionalisme guru di Indonesia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya (seperti: dokter dan arsitek), sehingga guru sering dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semiprofesional.

Terlebih lagi, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.

Dengan demikian, guru sebagai profesi selain memiliki peran dan tugas sebagai pendidik, juga memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesionalnya adalah memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada masyarakat. Lebih khusus, guru dituntut memberikan layanan profesional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional halaman 15, menyatakan bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.

Terhadap pertanyaan di atas, tampaknya kita perlu membuktikannya terlebih dahulu, setelah mereka (guru) yang lulus sertifikasi menjalankan peran dan tugasnya di sekolah masing-masing. Apakah mereka menjadi lebih baik?, menjadi contoh guru lain?, atau stagnan tanpa ada perubahan apa pun pada guru tersebut baik dalam proses pembelajaran maupun dalam pengembangan diri secara profesional.

Tentu saja, sesuai uraian di atas, kata "sertifikasi" dan "profesionalisme" haruslah berkorelasi, artinya guru yang tersertifikasi adalah guru yang profesional, atau guru yang profesional sudah tentu akan tersertifikasi.

Jika korelasi tersebut cukup signifikan, dapat diprediksikan bahwa dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun mendatang mutu pendidikan kita tidak perlu diragukan lagi. Indikatornya dapat dilihat dari dua unsur, yaitu guru dan siswa. Dari unsur guru, indikator yang dapat dilihat adalah produktivitas dan kreativitas guru dalam pembelajaran.

Hal ini terkait dengan tuntutan terhadap guru untuk terus selalu berpikir kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pembelajaran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru yang kreatif adalah guru yang selalu mencari dan menemukan hal-hal yang baru dan mutakhir untuk kepentingan peningkatan kualitas pembelajaran.

Sedangkan dari unsur siswa, indikatornya adalah nilai ujian nasional (UN) yang tinggi, dan mampu bersaing pada lomba-lomba mulai tingkat kabupaten, propinsi, nasional, bahkan internasional. Guru yang profesional diharapkan mampu membina siswa dan menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing dalam setiap kompetisi.

Korelasi tersebut akan signifikan, jika berkas portofolio yang dikumpulkan benar-benar hasil karya dan prestasi yang dicapai oleh guru tersebut selama menjalankan tugasnya, bukan hasil duplikasi milik orang lain atau aspal (asli tapi palsu). Oleh sebab itu, agar sertifikasi yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan penilaiannya dapat memenuhi harapan di atas, semua pihak terkait terutama Dinas Pendidikan dan LPTK penyedia assessor perlu secara cermat memperhatikan kebenaran dan keaslian dari berkas portofolio dari guru sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Dengan demikian, untuk membuktikan ada tidaknya korelasi antara sertifikasi dengan profesionalisme guru, perlu ada pembuktian secara akurat dan akuntabel. Dalam hal ini, perlu dilakukan survei atau penelitian secara komprehensif terhadap guru-guru yang telah lulus sertifikasi untuk melihat pengaruh sertifikasi terhadap mutu pendidikan.

Jika hasil survei nantinya membuktikan adanya korelasi di atas, maka tujuan sertifikasi guru melalui portofolio untuk menguji kompetensi guru secara profesional dapat dicapai.

Sebaliknya, jika hasil survei menunjukkan tidak ada korelasi atau korelasinya tidak signifikan, maka sertifikasi guru yang dilakukan seperti sekarang adalah sia-sia, hanya mampu meningkatkan kesejahteraan guru tetapi tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mencari formula baru dalam melakukan sertifikasi guru. Sertifikasi ini sebenarnya merupakan upaya pemerintah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi guru sebagai pendidik, mediator dan fasilitator pendidikan, seniman antarhubungan manusia, petugas kesehatan mental, dan juga sebagai catalytic agent yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap pembaharuan pendidikan ke arah yang lebih kompetitif.

Ini memberikan pemahaman bahwa profesi guru di dalam masyarakat adalah suatu profesi yang kompetitif karena profesionalisme guru harus berhadapan dan bersaingan dengan profesi-profesi lainnya dalam kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pelaksanaan penilaiannya perlu ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian dari assessor.

Mustofa Abi Hamid ; FKIP Fisika Unila 
Physics Education
University of Lampung (Unila) 
Address : Jln. Soemantri Brojonegoro no.1 Gedung Meneng Bandarlampung Post Code : 35145

Minggu, 16 Desember 2012

kata-kata inspirasi untuk guru


Berikut ini adalah kata-kata inspirasi atau kata-kata bijakdari orang-orang bijak yang terkemuka untuk profesi guru.
  1. Seorang guru yang mencoba mengajar siswanya tanpa memberikan inspirasi agar mereka memiliki hasrat untuk belajar, adalah seolah memalu besi yang sudah dingin." (Horace Man).
  2. Siswa tidak peduli betapa pintarnya seorang guru, yang mereka pedulikan adalah apakah guru tersebut juga peduli terhadap dirinya. (Anonymous).
  3.  Berikan saya seekor ikan agar saya bisa makan hari ini. Ajarkan saya memancing ikan, agar saya bisa makan setiap hari." (Pepatah China). 
  4. "Pengajaran yang baik itu hakikatnya adalah memberikan pertanyaan yang benar lebih daripada memberikan jawaban yang benar." (Josef Albers berkata). 
  5. Ken Blanchard pernah berkata, "Peranmu sebagai pemimpin itu jauh lebih penting dari apa yang kau bayangkan. Kau (guru) memiliki kekuasaan untuk membantu orang menjadi sang juara. 
  6. Confucious pernah berkata, "Setiap kebenaran memiliki 4 sudut; sebagai seorang guru, saya memberimu 1 sudut, dan 3 sudut lainnya kau cari sendiri. 
  7. Maria Montessori berkata, "Tanda terbesar kesuksesan seorang guru adalah ia bisa mengatakan, 'Anak-anak sekarang bisa bekerja sendiri seolah-olah saya sudah tidak ada.' 
  8. "Seseorang pernah berkata lantang, "Guru yang baik tidak pernah bilang muridnya bodoh; tapi guru yang baik selalu bilang, 'Muridku belum bisa'".
  9. Aristoteles berkata, "Orang yang mendidik anak-anak itu lebih dihormati daripada orang tua; jika orang tua hanya memberikan nafkah hidup, maka pendidik memberikan seni kehidupan dengan baik."
  10. Pepatah Latin mengatakan, "Dengan belajar kau bisa mengajar, dengan mengajar kau bisa paham."
  11. Horace pernah berkata, "Apapun yang ingin kau ajarkan, jelaskan dengan jelas."  
  12. Josep Joubert pernah berkata, "Mengajar itu bermakna belajar lebih dari dua kali."
  13. Bill Gates, Pemilik Microsoft, pernah berkata, "Teknologi hanya sebuah alat. Dalam hal membuat siswa bekerja sama dan menjadikan mereka termotivasi, gurulah yang paling utama." 
  14. John Steinback berkata, "Saya percaya bahwa guru terhebat adalah seniman terhebat dan saya percaya hanya sedikit sekali seniman yang hebat. Mengajar mungkin adalah seni terhebat karena medianya adalah jiwa dan akal manusian."
  15. Henny Youngman berkata, "Orang yang belajar sendiri biasanya memiliki guru dan siswa yang buruk." 
  16. Bodhidharma pernah berkata, "Hanya satu di antara seribu orang yang bisa sukses tanpa bantuan guru."
  17. William Glasser berkata, "Kita bisa mengajar banyak hal; tapi jika seorang guru tidak bisa berbicara kepada sekumpulan siswa yang enak diajak bicara, ia tidak akan pernah menjadi guru yang kompeten."
  18. Elbert Hubbard pernah berkata, "Tujuan mengajar adalah agar siswa bisa terus berkarya tanpa seorang guru."
  19. Sebagai seorang guru (pendidik), bila murid-murid kita berasal dari keluarga yang harmonis dan bahagia, maka tugas kita akan semakin mudah.Tetapi bila murid kita tidak berasal dari keluarga yang harmonis dan bahagia, maka tugas kita menjadi semakin PENTING.(Walau lebih mudah mendidik anak-anak yang "sudah baik", tetapi tugas pendidik yang sejati adalah mendidik mereka yang masih "mencari jalannya" ini. (Barbara Colorose). 
  20. Mendidik bukanlah sebuah seni atau ketrampilan yang semakin menghilang, masih banyak orang yang mampu melakukannya sampai sekarang. Cuma masalahnya, semakin banyak orang yang kehilangan penghargaan akan peran sangat penting yang satu ini. (Jacques Barzun).
Cukup sekian dulu tentang kata-kata inspirasi untuk guru, semoga bermanfaat. Salam hormat untukmu guru

Sabtu, 24 November 2012

GURU, BUAT REVOLUSI CARA MENGAJAR



Melanjutkan tulisan saya kado ulang tahun guru mari kita belajar bagaimana menjadi guru yang menarik dan menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar. Saat minta maaf tulisan ini bukan bermaksud menggurui tetapi sekedar berbagi pengalaman.
Judul tulisan saya cukup bombamtis karena saya ingin mengubah paradigma guru dalam proses transfer ilmu pada anak didik. Menurut saya salah satu kunci kegiatan belajar mengajar yang menarik adalah :
  1. Menempatkan anak sebagai subyek (pelaku) dalam proses belajar bukan obyek.
    picture-016Karena pengalaman selama ini guru lebih dominan dalam proses belajar mengajar, guru sebagai sutradara sekaligus pemain, sementara murid hanya sekedar penonton. Dalam proses belajar anak, belajar dengan menemukan sendiri jauh lebih bermakna dibanding ditemukan oleh gurunya dan anak hanya menerima hasil temuan gurunya. Ibarat belajar naik sepeda, anak yang belajar sendiri dengan bantuan sekedarnya akan lebih cepat bisa mengendarai sepeda dibanding anak yang terus dipegangi sepedanya oleh gurunya. Contoh dalam KBM misalnya dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Satu kelas dibagi dalam 5 kelompok dan masing-masing kelompok ditugaskan untuk mencari dan memutar film tentang bencana alam di kelas. Ada siswa yang mempersiapkan peralatan seperti laptop dan LCD, ada siswa yang bertugas menjadi operator komputer, ada siswa yang menerangkan cerita film tersebut dan siswa yang menjadi moderator. Fungsi guru disini hanya sebagai fasilitator ketika ada materi yang tidak bisa dijawab oleh siswa.
  2. Guru harus menguasai teknologi
    img_0047Untuk mendapatkan materi yang menarik, guru perlu menguasai teknologi, katakan misalnya tugas IPA di atas, guru harus bisa memberi tahu akan dimana mendapatkan film tersebut. Katakan misalnya di www.youtube.com, bagaimana cara mendownloadnya ? Ini harus bisa dilakukan guru. Sebagai contoh misalkan guru PPKn hendak mengajarkan materi korupsi menggunakan video, guru tersebut harus bisa menguasai peralatan yang digunakan misalkan laptop dan LCD dan software untuk menjalankannya.
  3. Guru harus bisa membuat media pembelajaran
    p8210229Mengajar menggunakan media menjadi syarat mutlak kegiatan belajar mengajar yang menarik. Oleh karena itu harus bisa membuat media pembelajaran. Dengan media ilmu yang akan diberikan ke anak akan lebih efektif. Sebagai contoh ketika guru kimia hendak mengajar materi Hukum Guy Lussac dan Avogadro, maka guru tersebut membuat media menggunakan Macromedia Flash mulai dari kompetensi yang hendak dipelajari, materi, latihan soal dan evaluasi. Kemudian media tersebut ditempatkan di komputer dan anak akan menjalankan media tersebut secara individual. Sekali lagi tugas guru disini hanya menjadi fasilitator ketika anak mendapatkan kesulitan.
  4. Guru harus punya prestasi
    picture-010Guru yang berprestasi akan lebih dihargai muridnya dibanding guru biasa. Karena secara nyata guru tersebut dimata murid mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki guru lain.
  5. Guru harus melakukan PTK
    Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah salah satu cara untuk mengevaluasi kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan. Melalui PTK ini guru bisa tahu mana metode mengajar yang efektif dan disukai murid.
Intinya, untuk menjadikan pendidikan ini maju, maka guru adalah faktor kunci, guru yang bagus akan membuat KBM bergairah sehingga murid akan senang dalam belajar. Ketika rasa senang sudah bisa diciptakan maka transfer ilmu akan menjadi lebih mudah. Selamat berinovasi dan berkreasi demi kemajuan pendidikan negeri ini
sumber : https://ardansirodjuddin.wordpress.com

Senin, 05 November 2012

Bersama Kita Belajar

Guru di pedalaman Papua (dokumen FotoMedia)

Guru, bagaimanapun jeleknya sesungguhnya tetaplah pahlawan. Tentu dengan cara mereka sendiri.

Beliau guru saya waktu SMP. Namanya tak usah saya sebut. Saya sebut mata pelajarannya saja, PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Entah apa nama mata pelajaran itu sekarang, atau malah sudah dihapuskan?
Beliau ini lelaki tambun, rajin berkemeja safari dengan empat kantong di depan. Warnanya selalu sama, coklat muda. Pas dengan sebaris kumis lebat di atas bibirnya. Sekarang saya sadar, wajah dan tampilannya memang pas dengan mata pelajaran yang dia bawakan. Bersejarah dan kuno.
Beliau salah satu guru yang disegani, tentu karena tampilannya yang sepintas memang menakutkan itu. Kami anak-anak SMP yang separuhnya belum disunat, suara kami masih suara anak-anak. Pantaslah kalau kami segan pada si bapak.
Si bapak guru benar-benar guru sejarah jempolan. Maksud saya, cara mengajarnya harusnya memang tinggal sejarah. Aturannya selalu sama, masuk ke kelas, menunjuk satu murid untuk ke depan, menunjukkan buku pegangan, memberi instruksi dan mulailah si murid menulis di papan tulis. Yah, salah seorang dari kami harus menulis di papan tulis persis seperti yang ada di buku pegangan yang ditunjukkan oleh pak guru.
Setelah ada yang bertugas memindahkan tulisan dari buku ke papan tulis maka mulailah si bapak dengan aktifitasnya sendiri. Kadang diam membaca koran di mejanya, kadang berlalu entah ke mana dan kembali menjelang waktu mengajarnya selesai. Kami yang anak-anak ini tak boleh protes. Kami yang bahkan disunatpun belum hanya bisa patuh, memindahkan tulisan teman di papan tulis ke dalam buku catatan kami.
Dalam beberapa waktu si bapak guru akan memeriksa catatan kami. Kalau lengkap, sebuah tanda tangan akan hinggap di buku kami. Kalau tulisan kami bagus, angkanya 8. Sempurna! Kalau tidak lengkap apalagi tulisan tangan kami tak rapi maka sebilah penggaris kayu akan hinggap di atas tapak tangan yang dibuat tertelungkup. Perih! Tak heran kami selalu mencoba menulis sebaik mungkin apa yang ditulis kawan kami di papan tulis.
Kadang bapak guru kami sedang rajin. Dia akan berlama-lama di dalam kelas, mendiktekan buku yang ada di tangannya. Tugas kami tetap sama, menyalin apa yang keluar dari mulut si bapak. Begitu seterusnya.
Apa yang ada dalam buku hanya singgah ketika kami harus menghadapi suatu kejadian yang disebut ulangan. Hari-hari sebelumnya kami yang masih anak-anak ini harus membaca dan menghapalkan beberapa tanggal kejadian dalam buku itu. Begitu seterusnya.
Tak heran kalau pelajaran sejarah tak pernah jadi pelajaran yang menarik. Semua berlangsung kaku, sistematis dan tanpa kreatifitas.
Bapak guru tak perlu saya sebutkan namanya itu tentu tidak sendiri. Dia pasti banyak kawan, sesama guru yang tak punya ide lain untuk memindahkan ilmu kepada anak-anak didik. Mereka berhenti pada kata mengajar dan merasa kalau tidak ada cara lain untuk memberi ilmu selain fragmen-fragmen di atas.

John Keating dan realita pendidikan kita.

Bertahun-tahun kemudian saya jatuh cinta pada metode mengajar seorang guru rekaan bernama John Keating yang diperankan dengan sangat apik oleh Robin Williams. Seorang guru bahasa yang dengan gaya energik dan sangat tak biasa berhasil memikat hati murid-muridnya untuk jatuh cinta pada sebuah pelajaran yang awalnya dikenal membosankan.
Saya membayangkan seandainya saja guru PSPB saya dulu seperti pak John Keating, berani mengajarkan sejarah dengan gaya yang eksentrik, dengan metode yang tak biasa maka mungkin saja kami akan sangat mencintai pelajaran sejarah dari sejak pertama dia mengajar. Sekarang saya mencintai pelajaran sejarah, tapi saya yakin bukan karena bapak guru PSPB saya itu.
Negeri kita memang masih sangat tertinggal dari segi pendidikan. Menurut Education Development Index negeri kita berada di peringkat 69, masih termasuk tertinggal dari negara-negara maju. Fasilitas pendidikan masih belum merata. Pendidikan bagus masih mahal, susah dijangkau oleh orang Indonesia kebanyakan. Mau pendidikan berkualitas? Harus punya uang jutaan rupiah. Itupun hanya di kota besar.
Di daerah yang jauh dari jangkauan masih ada 66% sekolah yang kekurangan guru. Total masih ada 34% sekolah di Indonesia yang masih kekurangan guru. Bahkan 54% guru di Indonesia masih tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar. Deretan angka itu entah kenapa membuat saya miris. Segitu burukkah kualitas pendidikan negeri kita? Setelah 67 tahun merdeka?
Mencari kesalahan tentu bukan cara yang bijak. Siapa saja bisa dengan gampang menudingkan ujung jarinya pada mereka yang dianggap paling bertanggungjawab untuk kenyataan ini. Menuduh pemerintah salah sudah jadi kebiasaan kita. Tapi percuma, tak akan ada perbaikan jika kita terus melenakan diri pada upaya mencari kesalahan.
Berbuat sesuatu tentu lebih elok daripada hanya mencari siapa yang salah. Itu yang dilakukan beberapa orang di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang punya kegelisahan yang sama. Punya rasa prihatin yang sama melihat perkembangan pendidikan kita. Tapi mereka tidak berhenti hanya mencari siapa yang salah. Mereka bergerak untuk mencari apa yang bisa dilakukan untuk pendidikan kita. Sekecil apapun itu.

Mereka Yang Gelisah

Saya mengenal beberapa kawan yang selalu gelisah melihat realita pendidikan di tengah masyarakat. Mereka melihat ada banyak anak-anak pinggiran yang terpinggirkan dan terabaikan. Mereka tak sempat menyentuh bangku sekolah karena uang adalah kebutuhan utama bagi mereka. Akibatnya mereka turun ke jalan, meninggalkan bangku sekolah.
Kawan-kawan saya itu masih muda. Mereka gelisah, mereka prihatin. Mereka tidak tinggal diam mengutuki pemerintah, mereka melakukan sesuatu. Maka jadilah Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ) yang membantu anak-anak jalanan untuk tetap bisa belajar. Kalau bisa kembali ke bangku sekolah. Di sudut lain kota ini ada Sokola, isinya juga anak-anak dari daerah kumuh Mariso yang oleh beberapa anak muda diberi keterampilan khusus agar tak berakhir menjadi pengemis di jalanan.
website KPAJ Makassar
Minggu 28 oktober, sebuah gerakan baru diluncurkan. Namanya Gerakan Indonesia Berkibar. Berkibar ternyata adalah akronim dari Bersama Kita Belajar. Awalnya saya hanya meraba, apa gerangan Gerakan Indonesia ?Berkibar itu. Belakangan saya tahu kalau itu adalah sebuah gerakan independent yang berkutat pada masalah pendidikan dengan tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Pendidikan bermutu yang bisa dijangkau semua orang. Merata, bukan hanya di satu daerah atau satu pulau saja.
Dalam roadshow Gerakan Indonesia Berkibar di Makassar 13 September 2012 seorang guru sempat melontarkan sebuah harapan. Setelah mendengar semua uraian tentang Gerakan Indonesia Berkibar, sang guru berharap gerakan ini tak hanya berhenti di tataran konsep saja dan betul-betul bisa berperan dalam mengubah kualitas pendidikan negeri kita.
Website Gerakan Indonesia Berkibar
Semoga Gerakan Indonesia Berkibar ini memang tidak berhenti pada tataran konsep yang rupawan saja. Semoga semua yang terlibat di dalamnya mau betul-betul turun ke bawah melihat realita pendidikan di negeri kita, bukan hanya yang ada di kota tapi juga yang ada di daerah yang susah dijangkau yang kata orang disebut sebagai daerah terpencil. Tapi yang terpenting adalah, semoga ada banyak orang yang mau terlibat dalam gerakan seperti ini. Bukan hanya Gerakan Indonesia Berkibar, tapi semua gerakan yang tujuannya memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Sesungguhnya semua guru adalah pahlawan, dengan caranya masing-masing. Guru PSPB saya mungkin terlalu kaku dan tidak menarik, tapi saya yakin dia mengajarkan banyak hal pada kami muridnya. Dan itu cara dia untuk menjadi seorang pahlawan.
Mari bersama kita belajar. Untuk pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
[dG]
Catatan:
Untuk tahu lebih banyak tentang Gerakan Indonesia berkibar, bisa melihat aktifitas mereka di :
website GIB ?: http://bit.ly/UEMRvq (www.indonesiaberkibar.org)
Twitter GIB : http://bit.ly/RWUmsG (@idberkibar)
FB fan page GIB: http://on.fb.me/SvOXJx
Video GIB: http://bit.ly/RFCyCI

Minggu, 21 Oktober 2012

Kualitas guru di Indonesia masih rendah



Kualitas guru di Indonesia masih rendah thumbnail
Ilustrasi

Dari data Kementerian Pendidikan Nasional, secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan.
Hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.
“Jadi baru ada 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi,” ujar Divisi Advokasi Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Hendrik Rosnidar, belum lama ini.
Hal ini selaras dengan survei yang dilakukan oleh Putera Sampoerna Foundation, dimana sebanyak 54 persen guru di Indonesia masih berkualitas rendah.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, menurut Hendrik bahwa dalam sidang kabinet terbatas di kantor Kementerian Pendidikan Kebudayaan terungkap fakta bahwa dari 285 ribu guru yang ikut uji kompetensi, ternyata 42,25% masih di bawah rata-rata.
“Padahal sebagian besar anggaran pendidikan nasional dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru bahkan setiap tahunnya selalu meningkat,” ungkap Hendrik.
Begitu pun dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional.
”Memang ada banyak hal yang masih harus dibenahi dalam persoalan guru,” kata Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta.
Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan. Tidak ada guru yang meraih nilai 80. Bahkan, ada guru yang meraih nilai terendah, 1.
Sumber: tribunews.com, kompas.com

Jumat, 05 Oktober 2012

Belajar dari Anies Baswedan tentang Indonesia Mengajar

Gambar di pinjam darihttp://twitpic.com/b4xoka
Saya telah menonton puluhan video Anies Baswedan melalui Youtube. Oleh karena itu, sejatinya tidak banyak hal baru yang bisa diperoleh saat menyimaknya langsung di Grha Sabha Pramana (GSP), UGM beberapa hari lalu. Meski begitu saya tak kalah terpana dibandingkan menyimak puluhan videonya. Meski telah lama mengikuti pemikirannya, saya memang baru pertama kali menyaksikan Anies Baswedan tampil langsung memberi inspirasi.
Seorang anak muda yang duduk di sebelah saya bertanya apa yang membuat saya datang ke acara Road Show Indonesia Mengajar (IM) di Jogja. Saya paham maksudnya karena 90% lebih dari ribuan pengunjung adalah anak muda duapuluhan tahun. Saya memang datang ke GSP sore itu bukan untuk mendapatkan informasi bagaimana caranya menjadi pengajar muda karena usia saya sudah kadaluarsa. Kedatangan saya adalah untuk belajar, menyimak gagasan besar dan menuai inspirasi dari orang-orah hebat. Dari Anies Baswedan tentu yang utama.
Saya tidak akan menceritakan apa itu IM karena sudah sangat banyak ulasan mengenai ini. Saya lebih tertarik menyimak gaya Anies Baswedan saat memukau ribuan orang itu. Anies adalah seorang pencerita. Dia sangat lihai mengemas ide besar dan seriusnya dalam bentuk pecahan cerita yang menggugah. Anies memulai ceritanya bahwa inspirasi IM datang dari UGM yang telah lebih dulu melakukan program serupa dengan nama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Lepas dari kenyataan bahwa cerita ini memang benar, Anies benar-benar tahu cara membuat audiensnya yang dominan orang UGM merasa ‘terlibat’ dan ‘terhormat’.
Anies mengisahkan PTM yang diawali tahun 1952 itu melibatkan nama-nama yang kemudian dikenal besar dan hebat seperti Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (mantan rektor UGM). Pak Koes ketika itu dikirim ke Kupang dan menjadi guru di tempat terpencil. Tidak hanya berhenti di situ, beliau berhasil membawa beberapa muridnya untuk bisa melanjutkan pendidikan di Jogja. Salah satunya ternyata adalah Adrianus Moi yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia. Satu orang lainnya kemudian menjadi Rektor Universitas Satya Wacana. Bagi saya, ini adalah fakta baru yang sangat menggugah. Dengan kisah ini Anies hendak menyampaikan betapa kerelaan menjadi guru di tempat terpencil itu bisa mengubah hidup seseorang dan terutama bisa berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban.
Jika Anda sama sekali tidak tahu apa itu IM, sebaiknya membaca website resminya di sini. Singkatnya, IM memberi kesempatan kepada anak muda terbaik Indonesia untuk mengabdi sebagai guru selama setahun di desa terpencil Indonesia. Informasi terkini, ada 8000 lebih pelamar untuk memperebutkan 70an kursi pengajar muda. Sangat mengejutkan sekaligus menyenangkan melihat begitu besarnya niat banyak anak muda Indonesia untuk mengabdi pada pendidikan. Dari segi persaingan, bisa dibayangkan betapa hebatnya mereka yang diterima menjadi pengajar muda.
Saat menceritakan perjuangan para pengajar muda, lagi-lagi Anies menyampaikannya dalam bentuk pecahan-pecahan cerita yang membuncah semangat dan menyentuh hati. Kisah anak-anak SD di Pualau Rupat yang karena bimbingan pengajar muda berhasil mengikuti olimpiade di Jakarta adalah yang peling mengharukan. Tidak saja karena ini adalah sejarah seumur hidup sekolah itu, perjuangan perjalanan yang mengharukan adalah kekuatan cerita itu. IM berhasil meyakinkan TNI AL untuk menjemput anak-anak di Pulau Rupat karena mereka mengalami kendala transportasi. Dengan gaya bahasa yang retorik, Anies menyampaikan bahwa peristiwa itu menyatukan banyak pihak dan memberikan kesempatan pada semua pihak untuk menunjukkan perannya bagi bangsa. Jawaban seorang petinggi TNI AL yang mengatakan “Harus bisa kan!?” ketika ditanya “apakah bisa membawa anak-anak itu ke Jakarta?” membuat kisah itu begitu inspiratif. Saya sesungguhnya sudah menyimak cerita ini lewat twitter beberapa bulan lalu. Saya meneteskan air mata haru saat duduk sendiri di sebuah coffee shop di Bandara Kingsford Smith di Sydney. Kisah itu menghadirkan suasana perjuangan dalam kesederhanaan di tengah kota megapolitan seperti Sydney. Saya terharu.
Tulisan ini bisa sangat panjang. Saya mencatat dengan baik segala pelajaran dari Anies Baswedan sore itu. Satu yang saya simpulkan, Anies benar bahwa para Ibu di Indonesia masih melahirkan pejuang melihat anak-anak muda terbaik itu semangat menjadi guru di tempat-tempat yang bahkan sulit ditemukan keberadaannya di peta. Seperti kata Anies, mereka adalah generasi yang memiliki kompetensi global dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan masyarakat akar rumput. Dalam bahasa lain, mereka memiliki international competence and grass-root understanding. Indonesia tersenyum memiliki orang-orang seperti Anies Baswedan yang telah membuat para muda masih percaya pada kebajikan dengan ‘mendonasikan’ setahun hidupnya menjadi inspirasi di desa-desa terpencil. Mereka adalah visualisasi mimpi bagi anak-anak Indonesia di berbagai pelosok negeri. Terima kasih Mas Anies dan para pengajar muda!

Senin, 13 Agustus 2012

Tanah Surga..Katanya, Potret Kehidupan di Perbatasan


APA yang Anda rasakan jika tinggal di sebuah kampung kecil, di pelosok yang berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia?. Melihat negeri tetangga jauh lebih makmur dari kampung halaman sendiri.

Begitulah yang dirasakan seorang veteran perang konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1960-an, Hasyim (diperankan Fuad Idris). Dia harus bersitegang dengan anak sendiri, Haris (diperankan Ence Bagus), yang mengajaknya pindah ke Malaysia demi kehidupan yang lebih baik.

Tapi, Haris bersikeras, dia pun mengajak anak keduanya, Salina yang diperankan Tissa Biani Azzahra. Putranya, Salman yang diperankan Osa Aji Santoso, memilih tinggal bersama sang kakek.

Selama ditinggal anaknya ke Malaysia, Hasyim banyak mengajarkan mengenai kecintaan terhadap negeri kepada cucunya sendiri. Bahkan, sekalipun pemerintah tak memberikan apapun kepada dirinya.

Setting lokasi yang diambil di Desa Kedokok, Ngabang, Kalimantan Barat itu memang terlihat menyatu dengan cerita. Sangat pelosok dan jauh dari kemajuan pendidikan dan teknologi di Kota Jakarta. Anak-anak di pelosok ini tidak ada yang bisa menggambar bendera merah putih dan selalu menyanyikan lagu Koes Ploes “Kolam Susu”, yang dianggap sebagai lagu kebangsaan mereka.

Cerita semakin kuat dengan kehadiran guru dan dokter yang datang dari Jawa. Guru muda itu bernama Astuti (diperankan Astri Nurdin) dan dokter Anwar (diperankan Ringgo Agus Rahman).

Di akhir cerita, Astuti, Anwar, dan Salman mengantar Hasyim ke rumah sakit kota. Di tengah perjalanan sebelum meninggal, Hasyim berpesan kepada Salman agar tidak melupakan negerinya. Sangat berbeda dengan Haris yang berada di negeri seberang, tengah bersorak sorai atas kemenangan tim sepakbola Malaysia atas Indonesia.

Film ini seolah mengkritik pemerintah yang bersikap tidak adil terhadap masyarakat yang tinggal di perbatasan. Dalam sebuah dialog, Haris mengatakan kepada ayahnya, Hasyim bahwa Malaysia adalah negara yang makmur. Tapi langsung dibantah Hasyim bahwa Indonesia lebih makmur. “Tapi itu di Jakarta, bukan di sini, daerah pelosok Kalimantan. Siapa yang mau perduli”.

Sekalipun tersudut, Hasyim tetap meyakinkan anaknya bahwa suatu saat nanti kampung halamannya juga akan mendapat perhatian yang sama. Entah sampai kapan.

Rencananya film ini akan ditayangkan di bioskop mulai tanggal 15 Agustus 2012, dua hari menjelang hari kemerdekaan Indonesia.

Produser
Deddy Mizwar
Gatot Brajamusti
Bustal Nawawi

Sutradara: 
Herwin Novianto

Pemeran: 
Osa Aji Santoso
Fuad Idris
Ence Bagus
Astri Nurdin
Tissa Biani Azzahra
Ringgo Agus Rahman
 Andre Dimas Apri
(uky)

Senin, 06 Agustus 2012

Curhat Anak Perbatasan


Anak-anak dari suku Dayak dan suku Melayu itu begitu antusias menulis. Andri Hermanto dari suku Dayak Kanayatn, remaja berumur 17 tahun, siswa kelas XI TAV, menulis begini, “… Di mataku Entikong adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mengadu nasib ke Malaysia.
Sebelum ke Malaysia mereka pasti melewati Entikong sehingga Entikong disebut juga kota perbatasan. Jangan menyerah, terus maju demi membangun Entikong ciey… Entikong forever”.
Wandi, juga kelas XI TAV, dari suku Melayu, mengarang, “Entikong di mataku begitu asyik dan enak. Tapi bangunan-bangunan besar belum ada.
Saya pengen melihat Desa Entikong dibangunin gedung-gedung seperti kota-kota yang lain. Karena di Entikong ini para pemudanya belum punya pekerjaan, saya pengen pemuda-pemuda di Entikong ini memiliki pekerjaan seperti yang lain…”.
Anak-anak muda lainnya bertanya dengan kritis: apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan lingkungan? Karena ada pendekatan hukum yang tebang pilih, kami harus bagaimana? Bagaimana cara mengatasi perusahaan yang membuang limbahnya di sungai?
Bagaimana cara mengatasi penebangan liar?
Curhat, harapan, dan pertanyaan itu mereka tumpahkan pada secarik kertas. Padahal setahun lalu, ketika diminta menulis cerita dengan topik yang sama, “Entikong Bagiku”, tidak ada yang ingin mengembangkan lingkungan atau hutan di sekitar mereka. Sebagian malah ingin menjadi selebritas dan bintang film.
Kini, sekitar 75 murid SMA dan SMKN di Sekayam dan Entikong asal Suku Dayak dan Melayu, serta tokoh-tokoh masyarakat Sekayam dan Entikong kembali belajar menuliskan apa saja yang mengganjal di hati mereka terkait persoalan lingkungan sekitar. Suatu saat nanti hasil tulisan itu akan diramu, disempurnakan, kemudian disampaikan kepada pemerintah supaya ditindaklanjuti.
Andai saja gerakan ini menjadi bola salju yang terus bergulir, niscaya aspirasi rakyat akan perbaikan kualitas hidup dapat terwujud.
Untuk memulainya, Mekar Pribadi–lembaga training dan event organizer (EO) khusus pendidikan dan budaya–bersama Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengadakan acara “Sosialisasi Pelestarian Lingkungan Hidup melalui Jurnalisme Warga” di Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat, baru-baru ini.
Oetari Noor Permadi dari Mekar Pribadi menjelaskan kepada SH baru-baru ini, bahwa acara tersebut memberi kesempatan bersuara bagi anak-anak muda di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia. Acara ini melibatkan para siswa SMA, guru, orang tua, serta Ketua Dewan Adat Dayak Entikong, dan Ketua Dewan Adat Sekayam.
Karena mengenai lingkungan hidup, para tokoh adat Dayak dan Melayu berbicara tentang nilai-nilai budaya yang menjadi kekuatan bagi pelestarian lingkungan hidup. “Ternyata cara berpikir kita banyak yang keliru, termasuk tentang ladang berpindah yang dilakukan oleh suku Dayak. Dayak itu penjaga hutan, Melayu itu penjaga budaya. Mereka mengambil dari alam secukupnya,” ungkapnya.
Seperti kata Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sekayam, Pinjamin Yordanus, banyak nilai di suku-suku di Entikong dan Sekayam yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai itu adalah mengambil dari alam secukupnya dan tidak untuk kemaruk.
Suatu wilayah yang sudah dijadikan lahan akan dikelola lalu saat ditinggalkan akan ditanami pohon durian dan lain-lain. Kebun itu disebut tembawang yang artinya kebun milik bersama sehingga siapa pun orang yang lewat boleh mengambil hasil kebun yang terjatuh, asalkan tidak sengaja menunggui buah jatuh atau naik ke atas pohon.
“Ambillah hanya apa yang diberikan oleh alam kepadamu saat itu,” kata Pinjamin. Bagi yang masuk hutan dengan membawa keranjang pun diperbolehkan, asalkan mengikuti aturan adat setempat. Setiap hal yang tidak sesuai aturan akan dikenai sanksi oleh tumenggung.
Jadi kepedulian terhadap lingkungan itu ada. Hanya antara tua dan muda ada perbedaan persepsi, karena pendidikan yang diterima tidak menjelaskan situasi sekitar. “Mereka itu beradab, tapi kok bisa ya mereka disalahkan karena pakaian mereka berbeda?” Oetari mempertanyakan.
Mengimbangi Teknologi
Rasa cinta tanah air masyarakat dipompa lewat jurnalisme warga karena penetrasi ponsel atau telepon genggam yang masuk hingga wilayah perbatasan. Dengan ponsel para penduduk di perbatasan senang bercerita dan narsis menunjukkan foto diri masing-masing. Maka Mekar Pribadi mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi dan memadukan masalah teknologi dengan pembangunan.
“Kenapa tidak pakai itu seperti yang sudah dilakukan Radio Elshinta? Berarti rakyat kita yang ber-HP atau anak sekolah punya sarana untuk menyampaikan suara mereka,” sambung Oetari.
Dia melihat infrastruktur jalan di Entikong masih buruk. Jumlah bangunan memang lebih banyak dibadingkan tahun lalu, tetapi kondisi jalannya masih saja buruk. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia, di mana dari Kuching menuju wilayah perbatasan tidak terlihat adanya bangunan dari jalanan, melainkan hanya hutan yang menghijau.
Rumah-rumah kayu yang ada pun dipertahankan dan tampak bersih. Sungai juga bersih dan bangunan di sisinya dibuat menghadap ke sungai sehingga menjadi pemandangan indah.
Saat ini proses jurnalisme warga itu masih pada tahap sosialisasi lalu September 2012 memasuki tahap workshop dengan Kemenkominfo.
Pada tahapannya juga harus dilakukan pelatihan reporter. Adapun untuk menampung hasil reportase dan menyiarkannya, sudah ada ancang-ancang kerja sama dengan RRI, kata Manajer Pemberitaan RRI Entikong, Kasmawati. Untuk foto dan video bisa juga dirilis ke LKBN Antara dan Youtube.
“Bayangan kami, mereka bisa melaporkan ke RRI atau website kami. Maklum, internet di sana tempo-tempo bisa, tempo-tempo tidak bisa. Begitu sampai Entikong, kira-kira 15 menit menjelang sampai perbatasan, sinyal bersaing antara Digi milik Malaysia dengan Indosat. Jadi kalau sudah di situ kami SMS-an aja, nggak usah telepon,” kata Oetari sambil tertawa.
Menurutnya, ide jurnalisme warga adalah membalikkan cara berpikir anak-anak yang kecanduan internet tak sehat. Daripada kita ngunduh, lebih baik ngunggah. Staf Ahli bidang Hukum KLH Nadjib Dahlan menyatakan sangat mendukung para tokoh masyarakat dan pelajar SMA yang memiliki semangat memelihara bumi agar tetap lestari.
Jurnalisme warga itu diharapkan mengantarkan generasi muda untuk memelihara bumi dengan mengacu pada filosofi Dayak. Seperti filosofi Dayak Kanayatn, adil ka’talino, bacuramin ka’ surga, basengat ka’ jubata, yang artinya berkehidupan adil di dunia, tindak tanduk bercermin ke surga, bernapaskan pada Tuhan.

Curhat Anak Perbatasan


Anak-anak dari suku Dayak dan suku Melayu itu begitu antusias menulis. Andri Hermanto dari suku Dayak Kanayatn, remaja berumur 17 tahun, siswa kelas XI TAV, menulis begini, “… Di mataku Entikong adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mengadu nasib ke Malaysia.
Sebelum ke Malaysia mereka pasti melewati Entikong sehingga Entikong disebut juga kota perbatasan. Jangan menyerah, terus maju demi membangun Entikong ciey… Entikong forever”.
Wandi, juga kelas XI TAV, dari suku Melayu, mengarang, “Entikong di mataku begitu asyik dan enak. Tapi bangunan-bangunan besar belum ada.
Saya pengen melihat Desa Entikong dibangunin gedung-gedung seperti kota-kota yang lain. Karena di Entikong ini para pemudanya belum punya pekerjaan, saya pengen pemuda-pemuda di Entikong ini memiliki pekerjaan seperti yang lain…”.
Anak-anak muda lainnya bertanya dengan kritis: apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan lingkungan? Karena ada pendekatan hukum yang tebang pilih, kami harus bagaimana? Bagaimana cara mengatasi perusahaan yang membuang limbahnya di sungai?
Bagaimana cara mengatasi penebangan liar?
Curhat, harapan, dan pertanyaan itu mereka tumpahkan pada secarik kertas. Padahal setahun lalu, ketika diminta menulis cerita dengan topik yang sama, “Entikong Bagiku”, tidak ada yang ingin mengembangkan lingkungan atau hutan di sekitar mereka. Sebagian malah ingin menjadi selebritas dan bintang film.
Kini, sekitar 75 murid SMA dan SMKN di Sekayam dan Entikong asal Suku Dayak dan Melayu, serta tokoh-tokoh masyarakat Sekayam dan Entikong kembali belajar menuliskan apa saja yang mengganjal di hati mereka terkait persoalan lingkungan sekitar. Suatu saat nanti hasil tulisan itu akan diramu, disempurnakan, kemudian disampaikan kepada pemerintah supaya ditindaklanjuti.
Andai saja gerakan ini menjadi bola salju yang terus bergulir, niscaya aspirasi rakyat akan perbaikan kualitas hidup dapat terwujud.
Untuk memulainya, Mekar Pribadi–lembaga training dan event organizer (EO) khusus pendidikan dan budaya–bersama Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengadakan acara “Sosialisasi Pelestarian Lingkungan Hidup melalui Jurnalisme Warga” di Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat, baru-baru ini.
Oetari Noor Permadi dari Mekar Pribadi menjelaskan kepada SH baru-baru ini, bahwa acara tersebut memberi kesempatan bersuara bagi anak-anak muda di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia. Acara ini melibatkan para siswa SMA, guru, orang tua, serta Ketua Dewan Adat Dayak Entikong, dan Ketua Dewan Adat Sekayam.
Karena mengenai lingkungan hidup, para tokoh adat Dayak dan Melayu berbicara tentang nilai-nilai budaya yang menjadi kekuatan bagi pelestarian lingkungan hidup. “Ternyata cara berpikir kita banyak yang keliru, termasuk tentang ladang berpindah yang dilakukan oleh suku Dayak. Dayak itu penjaga hutan, Melayu itu penjaga budaya. Mereka mengambil dari alam secukupnya,” ungkapnya.
Seperti kata Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sekayam, Pinjamin Yordanus, banyak nilai di suku-suku di Entikong dan Sekayam yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai itu adalah mengambil dari alam secukupnya dan tidak untuk kemaruk.
Suatu wilayah yang sudah dijadikan lahan akan dikelola lalu saat ditinggalkan akan ditanami pohon durian dan lain-lain. Kebun itu disebut tembawang yang artinya kebun milik bersama sehingga siapa pun orang yang lewat boleh mengambil hasil kebun yang terjatuh, asalkan tidak sengaja menunggui buah jatuh atau naik ke atas pohon.
“Ambillah hanya apa yang diberikan oleh alam kepadamu saat itu,” kata Pinjamin. Bagi yang masuk hutan dengan membawa keranjang pun diperbolehkan, asalkan mengikuti aturan adat setempat. Setiap hal yang tidak sesuai aturan akan dikenai sanksi oleh tumenggung.
Jadi kepedulian terhadap lingkungan itu ada. Hanya antara tua dan muda ada perbedaan persepsi, karena pendidikan yang diterima tidak menjelaskan situasi sekitar. “Mereka itu beradab, tapi kok bisa ya mereka disalahkan karena pakaian mereka berbeda?” Oetari mempertanyakan.
Mengimbangi Teknologi
Rasa cinta tanah air masyarakat dipompa lewat jurnalisme warga karena penetrasi ponsel atau telepon genggam yang masuk hingga wilayah perbatasan. Dengan ponsel para penduduk di perbatasan senang bercerita dan narsis menunjukkan foto diri masing-masing. Maka Mekar Pribadi mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi dan memadukan masalah teknologi dengan pembangunan.
“Kenapa tidak pakai itu seperti yang sudah dilakukan Radio Elshinta? Berarti rakyat kita yang ber-HP atau anak sekolah punya sarana untuk menyampaikan suara mereka,” sambung Oetari.
Dia melihat infrastruktur jalan di Entikong masih buruk. Jumlah bangunan memang lebih banyak dibadingkan tahun lalu, tetapi kondisi jalannya masih saja buruk. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia, di mana dari Kuching menuju wilayah perbatasan tidak terlihat adanya bangunan dari jalanan, melainkan hanya hutan yang menghijau.
Rumah-rumah kayu yang ada pun dipertahankan dan tampak bersih. Sungai juga bersih dan bangunan di sisinya dibuat menghadap ke sungai sehingga menjadi pemandangan indah.
Saat ini proses jurnalisme warga itu masih pada tahap sosialisasi lalu September 2012 memasuki tahap workshop dengan Kemenkominfo.
Pada tahapannya juga harus dilakukan pelatihan reporter. Adapun untuk menampung hasil reportase dan menyiarkannya, sudah ada ancang-ancang kerja sama dengan RRI, kata Manajer Pemberitaan RRI Entikong, Kasmawati. Untuk foto dan video bisa juga dirilis ke LKBN Antara dan Youtube.
“Bayangan kami, mereka bisa melaporkan ke RRI atau website kami. Maklum, internet di sana tempo-tempo bisa, tempo-tempo tidak bisa. Begitu sampai Entikong, kira-kira 15 menit menjelang sampai perbatasan, sinyal bersaing antara Digi milik Malaysia dengan Indosat. Jadi kalau sudah di situ kami SMS-an aja, nggak usah telepon,” kata Oetari sambil tertawa.
Menurutnya, ide jurnalisme warga adalah membalikkan cara berpikir anak-anak yang kecanduan internet tak sehat. Daripada kita ngunduh, lebih baik ngunggah. Staf Ahli bidang Hukum KLH Nadjib Dahlan menyatakan sangat mendukung para tokoh masyarakat dan pelajar SMA yang memiliki semangat memelihara bumi agar tetap lestari.
Jurnalisme warga itu diharapkan mengantarkan generasi muda untuk memelihara bumi dengan mengacu pada filosofi Dayak. Seperti filosofi Dayak Kanayatn, adil ka’talino, bacuramin ka’ surga, basengat ka’ jubata, yang artinya berkehidupan adil di dunia, tindak tanduk bercermin ke surga, bernapaskan pada Tuhan.