KAPAL Perintis Meliku Nusa tiba di Pulau Miangas, Senin (3/8) pagi. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten Talaud, Melonguane, memakan waktu 30 jam, melewati sudut Samudra Pasifik yang bergelombang 4 meter.
Ini menyambung perjalanan 17 jam Manado-Melonguane. Hanya ada tiga kapal perintis sebagai sarana transportasi masyarakat di pulau-pulau di atas garis 4° Lintang Utara alias paling utara dari republik ini. Tak ada jadwal pasti karena angin dan gelombanglah yang menentukan.
Ombak 2 meter di perairan Miangas membuat kapal enggan bersandar. Biasanya ada perahu motor masyarakat yang menjemput manusia dan perbekalan, mulai dari bangku sekolah, semen, kasur, beras, hingga telur. Namun, sudah tiga jam tak ada tanda-tanda kedatangan perahu motor.
”Tidak ada bensin, solar, dan minyak tanah di Miangas ini. Sudah hampir setahun seperti itu. Penumpang kapal perintis dilarang bawa BBM (bahan bakar minyak), padahal tidak ada cara lain,” kata Agus Tege, Kepala Sekolah Dasar Negeri Miangas.
Pagi itu akhirnya beberapa warga patungan mengumpulkan 8 liter bensin agar keluarga dan perbekalan bisa diangkut ke darat.
Tidak ada perahu motor yang berani mengangkut BBM karena jarak dengan pusat kecamatan tetangga, Nanusa, sekitar 232 kilometer, sementara tinggi gelombang bisa mencapai 7 meter.
Akhirnya, cara satu-satunya adalah dengan menyembunyikan jeriken minyak ke dalam koper, dibungkus dengan baju-baju. Bensin dan minyak tanah ”selundupan” itu dijual dengan harga Rp 15.000 dan Rp 12.000 per liter.
”ABK (anak buah kapal) suka razia. Kalau ketahuan, yah jeriken ditinggal di pelabuhan,” cerita Kepala Desa Miangas DJ Namare.
Sekitar 790 jiwa warga Desa Miangas tinggal di pojok barat daya pulau ini.
Rumah-rumah di Desa Miangas terbagi di dua jalan utama yang sejajar, terbuat dari semen dengan lebar sekitar 4 meter.
Bagian pulau lainnya terdiri dari kebun kelapa dan rawa-rawa. Pulau berpantai pasir putih dengan bebatuan itu dapat ditelusuri dengan berjalan kaki dalam waktu sekitar tiga jam.
Kalau laut sedang todo alias teduh, nelayan yang mengail biasa pulang dengan ikan-ikan cakalang sepanjang 1 meter—yang ”terpaksa” dimakan sendiri atau dibagikan ke tetangga. Tak ada pasar di sana karena memang tak ada pembeli.
Kebutuhan air didapat dari sumur dan menampung hujan, sementara listrik mengalir pukul 17.30-23.30. Kalau mau menghitung jumlah motor, ya bisa dihitung dengan sebelah tangan saja.
Sementara soal bahasa, hanya orang-orang tua yang bisa berbicara Tagalog. Itulah sebabnya, walau bisa menangkap siaran radio Filipina—sementara sinyal RRI tak ada—sebagian warga masyarakat yang mampu lebih suka menonton televisi swasta nasional. Syaratnya harus membeli piringan penerima (antena) seharga Rp 3 juta.
Menjelang Hari Kemerdekaan RI bulan ini, setiap malam selama seminggu, ratusan warga berkumpul di Pendapa Miangas untuk menonton Miangas Idol dengan lagu wajib ”Sepasang Mata Bola”. Sorenya para siswa SD dan SMP setiap hari latihan baris-berbaris sejak pukul 15.00. ”Siaaaappppp...! Bisaaaaa...!” teriak anak-anak ini sekuat-kuatnya setiap diberi instruksi.
Sebagian besar penduduk asli yang terdiri dari 12 rumpun keluarga besar memiliki kebun kelapa. Ukurannya tidak terlalu besar karena telah dibagi-bagi sebagai warisan.
DJ Namere, misalnya, memiliki kebun kebun kelapa seluas 400 meter persegi. Dalam setahun ia bisa empat kali panen yang masing-masing menghasilkan 300 kilogram kopra seharga Rp 750.000. ”Padahal, semua mahal. Kalau angin sedang kencang, tidak ada ikan. Kami makan beras raskin dan telur, sebutir Rp 2.000,” katanya.
Karena tidak ada minyak, rumah-rumah kini memasak dengan tempurung dan kayu kelapa. Nelayan yang merupakan profesi 80 persen penduduk tidak bisa melaut karena angin selatan dan minim BBM.
Sebagian besar warga masyarakat pernah berhubungan dengan masyarakat atau produk Filipina, baik untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka sampai membeli Coca-Cola atau bekerja di perusahaan perikanan di Davao.
Namun, kondisi ekonomi bagian negara tetangga itu tidak dianggap masyarakat Miangas cukup menarik.
”Lebih parah di sana. Dan juga, di sinilah tanah kami,” kata Gusti Papea, tetua adat Mangkubumi I, yang juga menegaskan, pengibaran bendera Filipina tahun 2005 disebabkan emosi warga karena salah satu kerabat mereka tewas di tangan polisi.
Gagasan tentang keindonesia- an dibangun lewat simbol-simbol fisik. Di depan dermaga, Monumen Santiago—pahlawan setempat—yang beratnya lebih dari 1,5 ton sedang dibangun. Monumen yang rencananya akan diresmikan Panglima TNI ini akan menjadi tugu keempat setelah Tugu Perbatasan Negara yang diresmikan tahun 2008, Tugu NKRI yang ditandatangani LB Moerdani, dan sebuah tugu tak selesai yang disebut masyarakat Tugu Megawati.
Masalahnya, pengembangan nasionalisme lewat simbol-simbol monumen, tetapi tanpa dibarengi perhatian terhadap realitas sehari-hari, justru menimbulkan ironi. Dan masyarakat merasakan ironi seperti itu.
Sentuhan pada kebutuhan masyarakat oleh pemerintah mereka rasakan kesannya setengah hati. Lihat saja, selama 2004-2008 ada 10 motor tempel dan 7 perahu motor diberikan pemerintah ke kawasan itu. Namun, semuanya teronggok—sebab tanpa suplai BBM secara rutin ke kepulauan itu. Ironis, atau yang begini sudah jatuh menjadi tragis?
Tiga tangki minyak selalu kosong sejak dibangun setahun lalu. Demikian juga gudang Dolog (Depot Logistik) yang megah tetapi melompong sejak berdiri.
Pasar yang dibangun tanpa melihat budaya barter masyarakat kini tinggal reruntuhan. Satu lagi tambahan ironi....
SMK Kelautan Miangas sudah dibuat beberapa tahun lalu. Ideal sebenarnya, tetapi guru tak ada.
Bahkan, janji lima anggota DPR yang dipidatokan di Pendapa Miangas untuk mengangkat lima anak dan menyekolahkan mereka di Pulau Jawa lenyap ditelan angin.
Koneng Langu (20), yang tahun 2005 keluar dari SMA 1 Beo karena dipilih untuk program ini, bercerita, ia dan empat kawannya akhirnya hanya terkatung-katung tanpa kabar di Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe.
”Kami, masyarakat Miangas, mau percaya sama siapa lagi kalau terus dibohongi pemerintah,” kata Gusti Papea.
Hingga saat kami meninggalkan Miangas, gelombang laut masih tinggi di perairan itu. Kapal-kapal kecil takut masuk, melaut ke sana.... (Agus Susanto)
-- Jean Rizal Layuck dan Edna C Pattisina
Sumber: Kompas