DALAM berbagai kesempatan, sejarawan Taufik Abdullah kerap mengkritik seruan yang sudah berubah jadi jargon Orde Baru: ”kepribadian nasional” dan ”jati diri bangsa”!
Tanpa disadari, seruan itu membawa alam pikiran kita sebagai bangsa ke saat ketika kerajaan tradisional masih berkuasa, di mana keraton atau pusat kekuasaan adalah segala-galanya. Semakin jauh dari pusat akan semakin tidak penting tempatnya dalam tatanan kenegaraan. Daerah yang jauh adalah wilayah pinggiran, bukan yang utama, dan tak pantas mendapat perhatian.
Merujuk ke alam pikir semacam ini, tidaklah terlalu sulit memahami kenyataan mengapa daerah-daerah perbatasan terus terabaikan. Sebutan wilayah perbatasan, atau istilah pulau-pulau terluar, itu sendiri secara tidak langsung juga semacam representasi alam pikiran kekuasaan yang memperlihatkan hubungan hierarkis: pusat-pinggiran.
Baru tatkala muncul bencana, atau ketika terjadi ketegangan dengan negara tetangga—termasuk saat nilai-nilai nasionalisme mereka mulai dipertanyakan lantaran (meminjam ungkapan Taufik Abdullah) ”rumput di seberang pagar kelihatan lebih hijau”—masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan sedikit mendapat perhatian. Itu pun kerap sebatas wacana.
Tak jarang ”perhatian” itu malah dirasakan sebagai gangguan. Masuknya peran negara dengan mengedepankan pendekatan keamanan justru dianggap menambah kompleksitas persoalan. Apalagi bila kehadiran negara, pertama-tama, atas nama integritas kedaulatan wilayah dan bukan demi kesejahteraan mereka.
”Kalau kami bisa menjual sebutir kelapa setara Rp 5.000 kepada orang-orang di seberang parit sana (baca: Malaysia), sementara di dalam negeri cuma dihargai Rp 2.000, lalu apa urusannya dengan nasionalisme kami?” kata Al Azhar, budayawan dari Riau, terkait adanya tudingan melunturnya rasa kebangsaan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.
Realitas sosial-budaya
Dalam Koentjaraningrat Memorial Lectures VI/2009, beberapa waktu lalu, realitas sosial-budaya di wilayah perbatasan menjadi isu sentral dalam diskusi. Muncul gugatan, sudah pahamkah pengambil kebijakan di negeri ini bahwa persoalan perbatasan memiliki kekhususan dari segi kemasyarakatan dan budaya? Sudahkah perencanaan pembangunan daerah perbatasan menghasilkan kebijakan yang memerhatikan kepentingan warga di sana, yang sudah hidup dengan realitas sosial di mana akses kultural maupun ekonomi dengan negara tetangga adalah suatu keniscayaan?
”Perbatasan bukan wilayah seragam. Juga bukan wilayah kosong,” ujar Dave Lumenta, peneliti pada Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia.
”Apa yang terjadi pada penduduk di wilayah perbatasan Sumatera bisa berbeda dengan pengalaman mereka yang ada di perbatasan Kalimantan, Kepulauan Sangir Talaud dan Miangas, juga yang saat ini bermukim di Papua atau Pulau Timor,” kata Riwanto Tirosudarmo dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menambahkan.
Memang tak bisa dimungkiri, dalam beberapa aspek kondisi wilayah perbatasan di negara tetangga jauh lebih mapan dalam hal pembangunan peradaban dan infrastruktur dasarnya. Sebaliknya, wilayah perbatasan di Indonesia pada umumnya masih tertinggal.
Tidak bisa dihindarkan bila kemudian tradisi pelintas batas marak kembali. Memanfaatkan jalur kultural dan sejarah, yang sudah tercipta jauh sebelum RI dan Malaysia menjadi negara berdaulat, masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan pun mencari penghidupan yang lebih baik ke negeri tetangga.
Di sinilah pentingnya memahami karakteristik suatu kawasan secara utuh, termasuk dari sudut pandang kebudayaan, sehingga tidak lahir pemahaman yang bersifat parsial.
Kepentingan warga sekitar perbatasan yang sudah hidup dengan realitas sosial mereka, di mana akses kultural dan ekonomi dengan negara tetangga adalah suatu keniscayaan, mestinya ikut dipertimbangkan dalam pengelolaan daerah perbatasan.
Karena perbatasan bukanlah wilayah kosong, juga tak seragam, forum Koentjaraningrat Memorial Lectures VI/2009 merekomendasikan agar pengelolaannya memerhatikan aspirasi lokal dan kebijakan negara tetangga.
Bagaimanapun, di balik selubung putih setelah garis merah di atas peta nasional kita, sesungguhnya terhampar daerah perbatasan negara tetangga yang sudah membangun peradaban dan infrastruktur yang mapan.
Ketika nasib mereka terus terpinggirkan dan kita sebagai bangsa masih saja abai, pantaskah rasa kebangsaan dan nasionalisme mereka digugat? Padahal, seperti dikemukakan antropolog Iwan Meulia Pirous, ”Justru mereka adalah pendekar yang menjaga dan berkorban agar Indonesia tetap ada.”(ken)
Sumber: Kompas