Kamis, 19 Agustus 2010

KISAH SEEKOR BELALANG


Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak.
Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya
tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya.
Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain.
Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya,
“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh,
padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk
tubuh ?”.
Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan,
“Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang
yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang
aku lakukan”.
Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak
itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi
belalang lain yang hidup di alam bebas.
Renungan :
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah
juga mengalami hal yang sama dengan belalang.
Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan
yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga,
seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai
mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita
tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai
mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa
Anda bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau Anda
mau menyingkirkan “kotak” itu?
Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai
sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan
Anda?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan
untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa
yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai
apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang,
tapi bila Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan
itu pasti akan terbayar.
Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup
pilihan Anda. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan
untuk Anda.

Minggu, 08 Agustus 2010

Buku: Sekolah Bukan Pasar



Judul : Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru
Penulis : St. Kartono
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan I : Juni 2009
Tebal : 222 hlm.

"SEKOLAH ladang potensial mendulang keuntungan." Betapa tidak, mekanisme pasar lebih mendominasi irama sekolah sepanjang tahun ajaran berlangsung. Bahkan, dikatakan sekolah tidak beda dengan suasana pasar tradisional. Semua bentuk transaksi pelaku pasar terjadi di sekolah, mulai jual beli ijazah, tawar-menawar biaya sumbangan, promosi bagi anak pejabat dan konglomerat, hingga hitung-hitungan untung untuk satu kursi belajar.

Pejabat Departemen Pendidikan, kepala sekolah, guru lebih mengambil peran sebagai pedagang, calo, makelar, belantik, rentenir daripada sebagai agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan. Mereka malah menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birokrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru. Pada gilirannya sekolah menjadi pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan (hal 5).

Budaya semacam ini sudah saatnya ditinggalkan. Sekolah sudah saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan siapa pun terlebih oleh birokrat pendidikan nasional, kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apa pun. Karena menjadikan sekolah sebagai ladang mencari keuntungan lewat kain seragam, buku paket pelajaran, biro wisata, atau lembaga kursus, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan. Mekanisme demikian itu mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin.

Tepat apa yang dikatakan Friere, bahwa pendidikan pada tataran ini harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana yang sering terjadi pada dunia ketiga, yaitu pendidikan sering dijadikan alat untuk melegitimasi kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa. Untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk mengubah realitas yang menindas. (Friere : 2001).

Sebab itulah St. Kartono melalui bukunya yang berjudul Sekolah Bukan Pasar menyampaikan berbagai pesan brilian, wawasan dan penyadaran kepada kita semua, sekaligus memberikan nutrisi nalar kritis yang selama ini terpasung oleh mitologi birokrasi pendidikan negeri ini. Sebuah pesan yang terangkum indah dalam catatan otokritik seorang guru ini sungguh layak dibaca bagi orang tua, guru, kepala sekolah, pengambil kebijakan, pengamat pendidikan, birokrat, mahasiswa dan siapa pun yang ingin "membebaskan", mencerdaskan, dan memajukan pendidikan.

Sekolah Bukan Pasar mengajari kita kaya "perspektif" bagaimana menafsirkan realitas persoalan pendidikan di lapangan menjadi lebih berarti. Values atau nilai-nilai keutamaan disajikan dalam potret yang utuh dalam konteks pendidikan di zaman kini. Nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, kesahajaan, pengorbanan, kepedulian terhadap hak-hak anak, empati dan cinta kasih antarsesama menggerakkan para pembaca untuk menghidupkan kembali pendidikan negeri ini yang sedang mati suri.

Bagi guru jadilah manusia "pembebas". Tidak sekadar menjadi personifikasi intelektual an sich, tetapi mampu melakukan transinternalisasi nilai-nilai budi pekerti. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Caracter How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, transinternalisasi dapat dikembangkan melalui tiga dimensi secara terpadu yaitu: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).

Guru sebagai aktor utama dalam mengajarkan keutamaan tidak sekadar membebaskan dalam ranah pengetahuan saja. Lebih penting dari itu, yang mestinya dibekalkan adalah kebiasaan membentuk sikap hidup dan pilihan nilai-nilai keutamaan. Itu akan mungkin terjadi jika sejak dini guru membiasakan berfikir kritis-reflektif dari setiap persoalan dan pengalaman di lapangan. Pada gilirannya guru menjadi aktor utama memanusiakan manusia dan memberi suara lantang pada yang bisu.

Fakta yang tertuang dalam buku ini bisa dianggap sebagai penyemai benih kesadaran, bahwa sudah saatnya sekolah terbebas dari suasana "pasar". Pencampuradukan peran-peran pendidik dengan blantik akan merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat berjual-beli, termasuk jual beli gelar (hal 7).

Akhirnya, buku ini patut diapresiasi sebagai usaha kritis seorang guru yang menyuarakan yang bisu di lapangan agar bisa terdengar oleh para penguasa pengambil kebijakan. Sekaligus sebagai upaya membuka wawasan dan penyadaran bagi masyarakat luas, khususnya para guru, kepala sekolah, pejabat Departemen Pendidikan agar usaha-usaha peningkatan pendidikan tidak lepas dari konteks kekinian dan proyeksi masa depan.

Jika insan pendidik semakin kaya perspektif sebagaimana yang disumbangkan penulis buku ini, dengan sendirinya akan lahir pemikiran-pemikiran illuminatif yang mampu menjawab problem riil pendidikan di zamannya.

Pandi Kuswoyo, Guru SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Salsabila Al Muthi'in, Bantul, Yogyakarta

Sumber: Lampung Post